Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Pertama
Pasar malam Nurendah kembali riuh. Lampion-lampion yang sebelumnya bergoyang karena serangan pembunuh bayaran kini menyorot pedagang dan rakyat yang berusaha menata dagangan mereka kembali. Suara tawa dan teriakan perlahan terdengar, namun hati semua orang tetap tegang. Rasa takut masih menggantung di udara, bercampur aroma rempah dan asap sate yang menggoda.
Al Fariz berdiri di tengah lorong, tubuhnya berdarah, namun tegap. Tubuh Bajanya masih memancar, aura keteguhan yang baru ditempa di hutan membuatnya tampak lebih besar, lebih kuat, lebih tak tergoyahkan. Mata rakyat tertuju padanya, beberapa anak menatap dengan mata berbinar, orang dewasa menahan napas, menyadari kehadiran Sultan mereka tidak lagi lemah.
Tiba-tiba, dari sudut pasar yang lebih gelap, terdengar suara langkah cepat, berat, dan presisi. Raut wajah Al Fariz mengeras. Bayangan melesat di antara kios, tubuh lincah namun besar, bersenjata lengkap. Seorang pembunuh elit muncul—musuh yang tidak seperti sebelumnya. Ia bergerak seperti bayangan, serangannya cepat dan mematikan.
Ini bukan sekadar ujian fisik… ini ujian seberapa jauh aku telah menempah Tubuh Baja.
Pembunuh itu menyerang, belatinya menyambar udara, menciptakan bunyi “swish” yang menusuk telinga. Al Fariz menunduk tepat waktu, menghindari serangan, namun belati itu hampir mengenai pundaknya. Dentuman kayu terdengar ketika salah satu gerobak pasar tertimpa kaki pembunuh. Pedagang menjerit, anak-anak menunduk di balik tumpukan barang.
“Jangan… jangan sentuh mereka!” teriak Al Fariz, suaranya memecah kepanikan.
Pembunuh elit itu tersenyum di balik topengnya, gerakannya licik, menguji setiap celah. Al Fariz menatapnya dengan serius, tubuhnya gemetar sedikit karena luka lama, tapi kekuatan Tubuh Baja menahan tekanan. Ia mengambil napas dalam, merasakan energi yang mengalir dari otot ke urat, dari darah ke kesadaran.
Sekarang… aku harus mengingat jurus yang hampir terlupakan. Jurus lama… percikan kekuatan leluhurku.
Dengan gerakan cepat, Al Fariz memutar tubuhnya, tangannya menangkis serangan lawan dengan presisi sempurna. Suara benturan logam terdengar, belati dan tongkat kayu bertemu, “clang!”—pedagang dan rakyat menahan napas. Percikan cahaya kecil muncul saat tubuhnya bergerak, seperti energi yang menyala di ujung gerakan. Jurus itu bukan sulap, bukan sihir, tapi hasil latihan panjang dan kesadaran Tubuh Baja yang menyatu dengan intuisi pertempuran.
Pembunuh elit itu mencoba menyerang lagi, kali ini dari samping. Al Fariz melompat, memutar tubuh, kaki menendang, dan dengan satu gerakan cepat, belati lawan terpental ke udara. “Swish!” terdengar, lalu jatuh dengan dentuman ke tumpukan sayur. Pedagang menjerit kaget, beberapa menunduk, sementara anak-anak menatap dengan mata membesar.
Aku bisa melakukannya… aku masih bisa melindungi mereka.
Pertarungan semakin sengit. Dentuman kaki, benturan logam, suara teriakan, dan pecahan barang mengisi lorong pasar. Al Fariz bergerak cepat, menangkis serangan demi serangan, memanfaatkan setiap celah. Tubuhnya berdarah, napas tersengal, tapi matanya bersinar. Ia menyalurkan setiap rasa sakit, setiap luka, setiap tekanan ke dalam gerakannya.
Seorang pedagang tua berteriak dari samping:
“Yang Mulia… kau… kau benar-benar melawan mereka!”
Al Fariz menoleh sebentar, menatapnya dengan mata yang menyala:
“Berlindunglah… jangan biarkan mereka ketakutan!”
Suara langkah kaki pembunuh semakin cepat. Ia melompat ke depan, menyerang dengan kecepatan yang memaksa Al Fariz menunduk, menangkis, dan menendang. “Bang!” terdengar ketika kaki Al Fariz menumbuk meja pedagang, membuat gerobak buah terbalik. Aroma buah yang jatuh, bau asap, dan debu beterbangan.
Rakyat yang sebelumnya ketakutan kini mulai bersorak. Suara mereka, meski kecil, terdengar nyaring:
“Lihat! Sultan kita masih hidup!”
“Kita aman! Kita aman karena dia ada!”
Banyak yang mulai menolong. Seorang gadis kecil menendang kaki salah satu pembunuh, seorang pria menahan senjata dengan tongkat, dan beberapa anak melempar batu ke arah lawan. Keberanian mereka menular, membentuk semacam gelombang perlawanan yang mengalir bersamaan dengan gerakan Al Fariz.
Aku bukan hanya bertarung… aku menginspirasi. Ini kekuatan yang lebih besar daripada otot atau darah. Ini adalah kepercayaan rakyat.
Di satu momen epik, pembunuh elit itu mencoba menyerang dari atas gerobak yang roboh. Al Fariz meloncat, menangkis serangan dengan siku, dan tubuh lawan terpental ke tumpukan kain. Dentuman keras terdengar, “Bam!” beberapa pedagang menjerit kaget. Tapi Al Fariz berdiri tegap, tubuhnya bersinar dengan aura kekuatan yang baru.
Percikan kekuatan… jurus lama… aku mengingatnya. Ini baru awal.
Rakyat mulai bersorak lebih keras. Suara teriakan mereka, gabungan antara kagum dan takut, terdengar seperti gelombang yang menembus malam:
“Sultan… Sultan kita!”
“Dia masih berdiri!”
Al Fariz tersenyum tipis, walau darah menetes di wajah dan tangannya gemetar. Ia menatap pembunuh elit itu, yang kini menyadari bahwa lawannya bukan manusia biasa. Setiap gerakan Al Fariz tepat, setiap serangan tertahan, setiap celah ditutup dengan sempurna.
“Ini… ini bukan sekadar tubuh… ini… kekuatan!” batin pembunuh itu bergemuruh, merasakan aura yang menakutkan.
Pertarungan terus berlangsung. Dentuman logam, benturan kayu, langkah kaki, dan suara rakyat bersorak memenuhi pasar. Al Fariz menahan tubuhnya, menyalurkan energi Tubuh Baja ke setiap gerakan. Ia memutar, menendang, menangkis, setiap gerakan seirama dengan napas dan kesadaran penuh.
Akhirnya, dengan satu gerakan sempurna, Al Fariz menahan serangan pamungkas pembunuh elit itu—serangan yang mungkin mematikan jika mengenai tubuhnya. Tubuh lawan terpental, jatuh ke gerobak kosong, suara “crash!” terdengar saat kayu pecah. Pembunuh itu terdiam, menyadari kekalahan untuk pertama kalinya, sementara rakyat bersorak, menangis, dan bertepuk tangan.
Mereka melihat… mereka melihat kekuatan Sultan mereka kembali.
Al Fariz berdiri di tengah pasar, napas berat, tubuh berdarah, tapi mata bersinar. Lampion-lampion berayun pelan, menciptakan cahaya lembut yang menyorot tubuhnya yang tegap. Pedagang dan rakyat menatap dengan kagum, beberapa meneteskan air mata, karena untuk pertama kalinya mereka melihat secercah kekuatan, kepercayaan, dan harapan yang kembali.
“Ini baru permulaan,” bisik Al Fariz di batin, suaranya mantap, penuh tekad. “Mereka melihatku… sekarang aku harus membuktikan lebih banyak. Aku harus berdiri untuk mereka… untuk Nurendah. Dan setiap langkah selanjutnya, aku akan lebih kuat.”
Suara pasar yang mulai tenang, langkah kaki rakyat yang kembali menata dagangan, dan bisikan angin malam di antara lampion menjadi latar yang sempurna untuk momen epik itu. Al Fariz berdiri, tubuh berdarah tapi tegap, menatap langit malam, dan aura Tubuh Baja memancar ke sekelilingnya.
Pertarungan pertama… sudah kuhadapi. Dan rakyat… mereka mulai percaya. Kini, jalan kebangkitan benar-benar dimulai.