"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 18 kehadiran arya
“Berarti kamu udah nggak tinggal di rumah mbakmu lagi?” suara Arya terdengar dari telepon, agak lega.
“Ya nggak lah… aku pengen mandiri,” jawab Lita pelan sambil menggulung rambutnya yang tergerai.
“Besok aku ke sana, ya? Aku udah kangen banget sama kamu,” ucap Arya, nada suaranya penuh rindu.
“Emang urusan kamu di sana udah selesai?” tanya Lita ingin memastikan.
“Udah hampir selesai.”
“Bagus kalau gitu.”
“Sayang…” panggil Arya lembut.
Lita mengernyit. “Apa?”
“Entahlah… aku cuma lega kamu udah nggak tinggal di rumah mbak Meli.” Nada Arya berubah serius. Ia menyembunyikan kegelisahan yang sejak lama ia rasakan. Dari gerak-gerik Roni, suami Meli, Arya tahu ada sesuatu yang tidak beres—ketertarikan aneh pada Lita yang tidak semestinya.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Lita curiga.
“Enggak, nggak usah dipikirin. Udah, lupakan aja,” jawab Arya cepat, berusaha menutupi rasa khawatirnya.
Lita mengganti topik. “Amel sama Rian kabarnya gimana?”
“Amel kesepian, katanya kangen kamu. Kalau Rian, dia lagi sibuk cari kerja di sekitar sini.”
“Oh gitu… ya udah, aku matiin dulu ya. Mau mandi.”
“Iya, sayang.”
Sambungan telepon terputus. Lita meletakkan ponselnya, lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyegarkan badan. Ia tak tahu, saat itu pintu kontrakannya sempat terbuka pelan. Seseorang masuk diam-diam. Dengan cekatan, orang itu menempelkan kamera kecil di sudut kamar, tepat menghadap ranjang dan lemari pakaian. Setelah memastikan semuanya terpasang, ia menghilang tanpa suara.
Tak lama, Lita keluar hanya berbalut handuk. Uap hangat masih mengepul dari kulitnya. Ia membuka lemari, mencari baju. Handuknya dibiarkan tergantung di tubuhnya tanpa curiga—karena yang ia tahu, di dalam kamar itu hanya ada dirinya seorang, lalu menghela napas.
“Laper nih… bahan makanan juga belum ada,” gumamnya sendiri.
Dengan santai, ia mengambil dompet dan berjalan ke toko. Sepanjang jalan, beberapa laki-laki menoleh, bahkan ada yang berani menawarkan tumpangan. Lita hanya tersenyum sopan, lalu menolak dengan halus. Tatapannya lurus ke depan, ingin cepat pulang.
Sesampainya di kontrakan, ia membuka kunci pintu dan menaruh semua belanjaan di dalam kulkas kecil. Ia mengeluarkan sayuran, mulai menyiangi sambil bersenandung kecil, menari-nari ringan mengusir sepi. Kontrakan itu terasa sunyi, hanya diisi suara sendok dan panci beradu.
Tapi di tempat lain, seseorang sedang tersenyum miring di depan layar laptop. Roni. Matanya menatap tajam setiap gerak-gerik Lita yang tertangkap kamera tersembunyi. Bahkan momen Lita keluar dari kamar mandi tadi sudah tersimpan di folder rahasia.
Ia menyandarkan tubuh, kepalanya condong ke layar. “Cantik… keras kepala, tapi tetap milikku,” gumamnya dingin.
Bagi Roni, rasa ingin memiliki itu bukan lagi wajar—melainkan obsesi yang membuatnya nekat memasang kamera di setiap sudut kontrakan Lita.
Keesokan paginya, Lita terbangun lebih awal dari biasanya. Hatinya berdebar-debar membayangkan Arya yang akan datang. Ia segera mandi, lalu mengenakan dress yang pas menempel di tubuhnya. Wajahnya dipoles dengan riasan tipis—lebih manis dari biasanya. Rambutnya ia biarkan tergerai, menambah pesona alaminya. Sambil menatap cermin, Lita tersenyum kagum pada dirinya sendiri. “Arya pasti suka lihat aku begini.”
Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari luar. Jantung Lita langsung berdegup kencang. Ia berlari kecil ke pintu dan membukanya—di hadapannya berdiri Arya, membawa seikat bunga besar. Senyum Arya mengembang, matanya berbinar menatap Lita. Tanpa menahan diri, Lita langsung memeluk kekasihnya erat-erat.
“Aku kangen banget sama kamu…” bisik Arya, suaranya bergetar menahan rindu.
“Aku juga kangen…” jawab Lita sambil tersenyum bahagia, pipinya merona.
Setelah masuk, mereka duduk bersama di sofa. Arya meraih tangan Lita, menggenggamnya kuat. “Kamu di sini nggak macam-macam, kan?” tanyanya dengan nada khawatir.
Lita mendengus manja. “Ya nggak lah. Aku cintanya sama kamu. Udah, jangan curiga mulu deh.”
Arya terkekeh pelan, lalu mencium keningnya. “Iya sayang, aku percaya.”
Mereka menonton TV berdua, Lita bersandar manja di lengan Arya. Sesekali tawa mereka pecah karena candaan kecil.
“Sayang, ambilin cemilan itu deh…” pinta Lita manja.
Arya menurut. Ia membuka bungkus cemilan dan menyuapi Lita dengan senyum penuh sayang. Lita membuka mulutnya, tertawa kecil, lalu meliriknya penuh cinta.
“Kamu nginap di sini kan?” tanya Lita, masih menempel di lengannya.
Arya menghela napas sebentar. “Nggak bisa, sayang. Malam ini aku harus pulang.”
Lita langsung menoleh, wajahnya kecewa. “Kenapa cepet banget? Baru datang udah mau pulang lagi.”
“Aku juga maunya lama-lama di sini,” ujar Arya lembut. “Tapi besok aku harus tanda tangan, ngelunasin utang… pria brengsek itu. Aku nggak mau nyebut dia ayah lagi. Dia udah cukup bikin kita menderita.”
Lita menggenggam tangannya erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan. “Kalau gitu, janji ya? Setelah selesai semua, kamu balik ke sini lebih lama.”
Arya menatap matanya dalam-dalam. “Aku janji.”
“Kamu udah makan belum?” tanya Lita, suaranya lembut.
“Belum, sayang.”
“Kalau gitu aku masakin dulu ya.” Lita bangkit, tapi Arya cepat-cepat menarik tangannya.
“Biar aku bantuin. Aku nggak mau kamu capek sendirian.”
Mereka berjalan ke dapur bersama, tangan mereka saling menggenggam. Lita mulai menyiapkan sayur sop, sementara Arya memotong daging ayam. Tak jarang Arya menggoda—memeluk Lita dari belakang atau mencolek pipinya dengan tepung.
“Arya! Kamu iseng banget sih! Muka aku jadi jelek sekarang,” protes Lita sambil cemberut, meski matanya berbinar.
Arya tertawa kecil. “Kata siapa? Kamu tetap cantik kok… bahkan lebih cantik begini.”
Lita pun membalas dengan mengambil segenggam tepung, melemparnya ke wajah Arya. “Tuh, rasain!”
Tepung beterbangan, dapur pun berantakan. Suasana dipenuhi tawa. Arya tak mau kalah, ia langsung merangkul Lita dari belakang, menahannya dalam pelukan erat.
Lita menoleh, wajahnya masih berlumur tepung, namun senyum bahagia jelas terlihat. Ia lalu mencuci wajah dan tangannya, kembali mengaduk sop. Tapi Arya masih enggan melepas pelukannya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu Lita.
"udah diem jangan gangguin aku nanti kamu yang aku jadiin sop "ucap lita mengancam
" iya sayang,aku diem "ucap arya menurut dia melihat lita yang sedang masak sesekali mencium pipinya yang bersih dan wangi
"kamu wangi banget sih sayang " puji arya dia menyukai wangi dari tubuh lita
lita tidak menanggapi tapi tersenyum dia membiarkan arya mencium pipinya selagi tidak menganggu, dia menambahkan sedikit garam dan menyuapi arya menyuruh mencicipinya
"udah pas belum rasanya"? tanya lita
" udah pas sayang, rasanya enak banget dimasakin sama calon istri"ucap arya membuat lita salah tingkah untung saja arya ada dibelakangnya,dia tidak bisa melihat kalau dia hampir gila dibuat olehnya