Di bawah cahaya rembulan buatan Mata Samara, terletak Negeri Samarasewu, kota sihir yang diatur oleh hukum yang kaku dan Dewan Lima Bintang yang elitis. Di sinilah Yusuf, seorang pemuda yang bukan penyihir, menjalani hidupnya sebagai Skriptor Bayangan—seorang ahli yang diam-diam menyalin, menerjemahkan, dan memalsukan mantera-mantera kuno untuk para penyihir malas dan pasar gelap. Keahliannya bukan merapal sihir, melainkan memahami arsitekturnya.
Kehidupan Yusuf yang berbahaya hancur ketika ia tertangkap basah oleh Penjaga Hukum Sihir saat sedang menyalin mantera pertahanan tingkat master yang sangat terlarang: Mantera Pagar Duri Nirwana. Dalam pelariannya, Yusuf terpaksa merapal mantera kabut murahan, sebuah tindakan yang langsung menjadikannya buronan.
Terjebak di Distrik Benang Kusut, Yusuf bertemu dengan Rumi, seorang makelar licik yang menawarkan jalan keluar. Namun, kebebasan datang dengan harga yang mengerikan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusup Nurhamid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Bawah Kota dan Aroma Kebebasan
Yusuf jatuh terjerembap ke dalam terowongan pembuangan, cairan kental berbau belerang dan ramuan yang gagal memercik ke seluruh tubuhnya. Ia segera merangkak menjauh dari lubang, tepat sebelum seberkas cahaya keemasan, mantera Penjaga, menghantam dinding di atasnya.
"Sial! Dia lari ke parit!" terdengar suara Dera, suaranya dipenuhi amarah. "Pasang Jaring Mantera Pembatas di pintu keluar selatan! Kita akan membakarnya!"
Yusuf tidak perlu disuruh dua kali. Ia merangkak secepat mungkin di dalam terowongan sempit itu, menghindari arus limbah yang mengalir deras ke bawah. Seluruh Negeri Samarasewu dibangun di atas jaringan terowongan kuno, dan Yusuf, sebagai Skriptor Bayangan, tahu beberapa jalan pintas yang hanya diketahui oleh kalangan mereka yang terbuang.
Di depannya, ia melihat cahaya redup lentera yang dipegang oleh Rumi.
"Kau berhasil!" seru Rumi, wajahnya sedikit kotor namun matanya bersinar penuh kemenangan. "Gulungan itu?"
Yusuf merogoh jubahnya yang basah kuyup dan menyerahkan gulungan yang kini terasa empuk karena basah, namun aman. "Sudah dimodifikasi. Mantera itu sekarang adalah kunci sementara."
Rumi memeriksanya sekilas, mengendus Tinta Bayangan Naga Hitam yang baru. Senyum puas merayap di wajahnya. "Sempurna. Sekarang, kita harus cepat. Jaring Mantera Pembatas mereka akan menutup semua jalan keluar dalam waktu sepuluh menit. Kita harus menuju pelabuhan."
Mereka berdua bergerak lebih cepat, Yusuf mengandalkan ingatannya akan peta terowongan tua, sementara Rumi sesekali merapal mantera kecil untuk membuat dinding batu kering dan tidak licin.
"Rumi," kata Yusuf sambil terengah-engah. "Kenapa gulungan ini begitu penting? Kenapa kita harus membuka gerbang ke 'tempat di mana cahaya Mata Samara tak pernah sampai'?"
Rumi berhenti mendadak di persimpangan terowongan. Ia mencondongkan tubuhnya ke dekat Yusuf, ekspresinya berubah serius.
"Samarasewu," bisik Rumi, "bukanlah satu-satunya kerajaan sihir. Di bawah bayangan kota ini, di balik Dinding Laut Kabut yang dijaga oleh Mantera Kekal, tersembunyi sebuah tempat yang bahkan para pendiri Samarasewu pun takuti. Tempat yang mereka tinggalkan saat memilih cahaya Mata Samara."
"Kau bicara tentang Peti Mati Benua?" Yusuf menyebut nama yang hanya berupa dongeng menakutkan bagi anak-anak di Samarasewu. Sebuah benua tua yang dikatakan diselimuti sihir liar dan tak terkendali.
"Mantera Pagar Duri Nirwana adalah kunci yang sempurna untuk menembus ilusi Dinding Laut Kabut," jelas Rumi. "Mantera pertahanan tingkat tinggi selalu memiliki titik buta di gerbang masuk. Aku tidak ingin menembusnya; aku ingin membuka gerbang itu dengan ramah—hanya untuk sesaat. Dan hanya mantera yang dimodifikasi olehmu yang bisa menipu mata Mantera Kekal di sana."
"Kau ingin pergi ke sana," simpul Yusuf.
"Aku ingin melarikan diri ke sana," koreksi Rumi, matanya memancarkan kerinduan dan keputusasaan. "Negeri Samarasewu yang bersih dan teratur ini menjebak bakat sejatiku. Aku tidak bisa menyelesaikan eksperimen terakhirku di bawah pengawasan Penjaga yang bodoh itu."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara air mengalir deras dari lorong samping. Itu bukan limbah, melainkan mantera air yang disalurkan untuk membanjiri terowongan—taktik Penjaga untuk memaksa buronan keluar.
"Ini dia! Mantera Banjir Penjaga!" seru Rumi. "Jalan kita terpotong. Kita harus keluar dari sini, sekarang!"
Rumi menarik Yusuf ke sisi lain persimpangan. Mereka menaiki tangga batu tua yang mengarah langsung ke dermaga pelabuhan tempat kapal-kapal dagang berlabuh.
Mereka muncul di balik tumpukan jaring ikan, napas mereka terengah-engah. Bau laut yang asin bercampur dengan aroma minyak kapal. Fajar belum tiba sepenuhnya, tetapi garis-garis merah muda sudah mulai mewarnai cakrawala.
Di hadapan mereka terhampar pemandangan Pelabuhan Kapal Uap Eter, tempat perahu-perahu bertenaga sihir berlayar. Salah satu kapal—sebuah kargo kecil yang tampak reyot bernama 'Pusaka Kuno'—telah siap berlayar, asap kelabu mengepul dari cerobongnya.
"Itu kapal kita," ujar Rumi, menunjuk. "Kapten sudah dibayar. Kita hanya perlu mencapai kapal itu, dan kau merapal Mantera Kunci di tengah laut."
Namun, di antara mereka dan kapal itu, berdiri tiga sosok. Bukan Penjaga biasa, tetapi Kapten Korsin sendiri, ditemani dua Enforcer yang mengenakan baju zirah mantera. Mereka tampak seperti siluet gelap yang menunggu di bawah cahaya pudar.
"Kami tahu kau tidak akan bertahan di lumpur, Skriptor," Korsin menyeringai, tongkat sihirnya memancarkan cahaya ungu samar. "Dan kau, Rumi. Kami sudah lama menduga kau akan mencoba melarikan diri ke Peti Mati Benua."
Korsin mengangkat tongkatnya. "Penyerahan diri sekarang, dan kami akan membuat kematianmu cepat dan bermartabat. Gulungan itu tidak akan membawamu ke mana-mana."
Yusuf merasakan tangan Rumi meremas lengan bawahnya. "Ini saatnya, Yusuf. Jangan gunakan mantera itu untuk lari dari mereka. Gunakan untuk tujuan yang kita sepakati."
Korsin merapal mantera, dan benang-benang sihir tebal mulai menjerat dermaga, menyegel setiap jalur pelarian. Yusuf kini tidak bisa lari ke kapal. Ia terjebak di dermaga.
Melihat kegagalan yang sudah di depan mata, sebuah kesadaran menghantam Yusuf. Ia telah menulis, menyalin, dan memalsukan ribuan mantera, tetapi ia tidak pernah benar-benar merapal sihir dengan niat sepenuh hati.
Sekarang, untuk pertama kalinya, Yusuf bukan hanya seorang penulis; ia adalah satu-satunya orang yang tahu cara mengaktifkan mantera yang berbahaya itu.
Dengan tarikan napas dalam-dalam, Yusuf mengeluarkan Gulungan Pagar Duri yang telah diubah. Ia tidak mencoba lari ke kapal. Ia malah melompat ke tepian air, berdiri di atas balok kayu yang mengapung.
Ia merentangkan gulungan itu.
"Apa yang kau lakukan, bodoh!" teriak Korsin, Mantera Jaringnya hampir mencapai Yusuf.
Yusuf mengabaikan mereka. Ia menatap gulungan itu dan, untuk pertama kalinya, ia merapal Mantera Kunci yang telah ia ciptakan. Ia tidak mengucapkan kata-kata kuno, ia hanya menelusuri simbol-simbol Tinta Bayangan itu dengan tatapannya, menuangkan semua ketakutan, keputusasaan, dan keinginan bebasnya ke dalam gulungan.
Mantera itu menyala—bukan dengan cahaya hitam, melainkan dengan Cahaya Zamrud pucat yang aneh, warna yang tidak dikenal di Samarasewu.
Di kejauhan, di atas Laut Kabut, sesuatu berderak. Mantera Kekal yang menyelimuti Dinding Laut Kabut mulai retak.
Yusuf tidak menciptakan pintu, ia menciptakan kekosongan. Sebuah jalur terbuka di Dinding Laut Kabut, menganga sesaat seperti luka.
"Lari, Rumi!" teriak Yusuf. Ia melemparkan gulungan itu ke Rumi.
Rumi melihat jalur itu, matanya melebar. Ia tidak melihat kapal, ia melihat kebebasan.
"Kau ikut denganku, Skriptor!" teriak Rumi.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka," balas Yusuf, ia menarik napas dan merapal mantera kabut kecilnya sekali lagi, kali ini melemparnya langsung ke wajah Korsin.
Saat kekacauan terjadi, Rumi berlari menuju kapal Pusaka Kuno, dan jalur di Laut Kabut itu memanggilnya.
Yusuf kini sendirian, berhadapan dengan tiga Penjaga di tengah kabut buatan yang samar. Ia telah memberikan kunci kebebasannya, dan kini ia harus menghadapi konsekuensinya sendirian. Ia bukan lagi Skriptor Bayangan. Ia adalah penjahat sihir yang membuat kekacauan terbesar di Samarasewu.
Apa yang akan dilakukan Yusuf selanjutnya? Melawan Korsin dan Penjaga, atau ia berhasil melarikan diri ke dalam kekacauan Laut Kabut sebelum jalur itu tertutup?