Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Dua istri dalam satu atap
Malam itu, Hansel tak bisa tidur. Di sisi lain, Laudya memunggunginya di ranjang, masih dengan isak tertahan. “Mas … aku tidak bisa melepas bayi itu. Aku tidak bisa ... kalau dia benar-benar kembali ke Hana, aku akan hancur. Aku sudah kehilangan rahimku, Mas. Aku sudah kehilangan kesempatan menjadi ibu kandung. Jangan suruh aku kehilangan dia juga.”
Hansel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Laudya … jangan bicara begitu. Aku bingung … aku benar-benar bingung harus bagaimana. Hana … dia ibunya. Tapi kamu … kamu yang selama dua bulan ini merawat, memberi cinta, memberi segalanya. Aku tidak mungkin memilih satu dan menyakiti yang lain. Aku … aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”
Air mata Laudya menetes deras. Ia berguling, menatap Hansel dengan mata penuh luka. “Tapi kamu harus memilih, Mas. Cepat atau lambat, kamu tidak bisa berdiri di dua sisi. Kalau kamu pilih Hana … lepaskan aku. Kalau kamu pilih aku … jangan pernah biarkan bayi itu kembali ke tangannya.”
Hansel terdiam, dadanya bergemuruh. Pilihan itu bagaikan belati yang diarahkan ke jantungnya sendiri.
Sementara itu, di kamar lain, Hana duduk di tepi ranjang sambil mengusap pelan dada bayinya yang tertidur. Ia teringat bagaimana tadi bayi itu lebih tenang dalam pelukan Laudya, bagaimana ia sendiri merasa asing di mata anaknya. Rasa sakit itu tak tertahankan, membuat air matanya terus mengalir.
“Anakku … apa kamu lebih mengenalnya daripada aku? Apa aku sudah terlambat untuk bisa dekat denganmu?” bisiknya lirih.
Jamilah yang menemani dari tadi ikut menitikkan air mata. “Nak, kamu tidak boleh menyerah. Kamu ibunya. Sekuat apa pun ikatan bayi ini dengan Nyonya Laudya, darahmu mengalir di tubuhnya. Itu tidak bisa dipisahkan.”
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai kamar Hana. Ia terbangun dengan tubuh masih lemah, tapi semangat barunya adalah satu, memulai hari dengan bayinya. Senyum samar terukir di bibirnya, ia menoleh ke sisi ranjang tetapi kosong. Boks bayi yang semalam ada di sampingnya kini tak ada lagi.
Dada Hana mendadak sesak. Dengan panik ia bangkit, menyingkap selimut, dan bergegas mencari. “Ibu … di mana bayiku?” suaranya bergetar ketika tiba di ruang tengah.
Jamilah yang tengah membereskan piring di meja makan tertegun mendengar suara putrinya. Ia menoleh, wajahnya ragu. “Nak … jangan panik dulu.”
“Di mana bayi itu, Bu?!” Hana mendekat, matanya mencari ke segala arah.
Akhirnya Jamilah menarik napas berat, menjawab lirih, “Semalam … Tuan Hansel membawanya ke kamar Nyonya Laudya. Katanya Nyonya Laudya tidak bisa tidur dan terus menangis merengek ingin bersama bayi itu. Jadi … untuk menenangkan, bayi itu dibawa ke kamarnya.”
Mata Hana membelalak, tubuhnya seketika lunglai. “Jadi … bahkan malam pertamaku pulang pun … aku sudah kehilangan kesempatan memeluk anakku?” suaranya pecah, hampir berbisik.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Hana melangkah gontai ke arah tangga, ingin merengkuh kembali yang menjadi darah dagingnya. Namun, ketika pintu kamar Laudya terbuka, pemandangan yang ia dapati membuat hatinya kembali tercabik.
Laudya duduk di kursi goyang, wajahnya teduh dengan senyum tipis, menggendong bayi itu seakan ia ibu kandungnya. Tangan kecil bayi menggenggam erat jemari Laudya, dan si kecil tampak begitu tenang.
Hana berdiri terpaku di ambang pintu. Kata-kata tercekat di kerongkongan. Bagaimana bisa ia merebut bayinya sendiri dari pelukan seorang wanita yang begitu penuh kasih.
Hari-hari berikutnya, situasi makin terasa berat. Hana selalu berusaha mendahului untuk mengganti popok, menyusui, atau menimang anaknya, tapi hampir setiap kali, Laudya sudah lebih dulu melakukannya. Bahkan ketika Hana menawarkan diri, Laudya kerap berkata dingin, “Biarkan aku saja, kamu kan masih butuh istirahat.”
Meski terdengar lembut, kalimat itu selalu terasa seperti tamparan bagi Hana. Perlahan, ia sadar Laudya benar-benar ingin menjadi seorang ibu yang utuh, meskipun harus merampas peran itu darinya.
Sore itu, suasana rumah berubah tegang. Hansel baru saja pulang dari kantornya, diikuti oleh Haris sang asisten, serta pengacara keluarga Malik. Tak lama, Rohana datang bersama suaminya, Malik. Wajah mereka semua terlihat serius.
Hana yang sedang bersama bayinya di ruang tengah menoleh, jantungnya berdegup kencang.
“Hana,” suara Rohana terdengar berat, “hari ini kita harus membicarakan perjanjian yang dulu sudah dibuat. Tentang pernikahanmu dengan Hansel … dan juga tentang bayi ini.”
Pengacara membuka map cokelat, lalu mengeluarkan beberapa berkas. “Sesuai perjanjian yang ditandatangani, perceraian diajukan. Hak asuh penuh atas bayi jatuh ke tangan Nyonya Laudya.”
Hana terkejut, tubuhnya bergetar. “Tidak! Aku tidak mau! Bayi ini … anakku! Kalian tidak bisa mengambilnya dariku!” suaranya pecah, ia memeluk bayinya erat-erat.
Hansel hanya bisa berdiri kaku. Wajahnya penuh rasa bersalah, tapi lidahnya kelu. Laudya, dengan hati berdebar, perlahan menghampiri. Tapi sebelum ia bisa bicara, Rohana angkat suara lagi.
“Hana … dengarkan aku. Aku tahu ini sulit, tapi aku memberimu kesempatan. Sampai bayi ini berusia enam bulan, kamu boleh bersamanya, merawatnya, memeluknya. Gunakan waktu empat bulan ke depan sebaik-baiknya. Setelah itu … bayi ini kembali pada Laudya. Jangan takut … aku yang menjaminnya.”
Kata-kata itu menusuk hati Hana. Perlahan, ia menoleh pada kertas perceraian di meja. Tangannya gemetar ketika dipaksa mengambil pena. Jamilah yang menyaksikan dari dapur hanya bisa menangis tersedu, tak mampu berbuat apa-apa. Dengan air mata berlinang, Hana akhirnya membubuhkan tanda tangan.
“Aku … aku tidak pernah ingin berpisah dengan anakku. Tapi kalau ini satu-satunya jalan …” suaranya patah-patah.
Hansel menunduk, air matanya jatuh diam-diam. Dalam hatinya ia ingin menghentikan, tapi ia tahu perjanjian itu mengikat. Selesai menandatangani, Hana tidak menoleh pada Hansel. Dalam hati, ia berkata, 'Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Karena pada akhirnya … dia akan kembali pada istri sahnya.'
Air matanya jatuh lagi ketika melirik ke arah Laudya yang tengah menggendong bayi itu. Tapi sebelum ia meminta, Laudya justru menghampiri, dan dengan tatapan penuh arti, menyerahkan bayi itu kembali ke pelukan Hana. Tangisan Hana pecah, sementara Jamilah di dapur menangis lebih keras, namun tetap tak bisa berbuat apa-apa.
Satu per satu orang pergi, menyisakan keheningan. Hanya Rohana yang tetap duduk di ruang tengah, menatap Hana dalam-dalam.
“Apa yang kamu inginkan sekarang, Hana? Katakan ... aku akan berusaha memberi.”
Hana terdiam lama, lalu menoleh ke arah bayi dalam gendongannya dan ke arah Hansel. “Jika aku meminta mereka … apakah kau sanggup memberinya padaku? Aku tidak ingin harta. Aku tidak ingin uang ... aku hanya ingin anakku.”
Rohana berdiri, wajahnya merah. “Lancang sekali kamu, Hana!” bentaknya.
Jamilah buru-buru keluar dari dapur, menengahi. “Jika Nyonya tak bisa memberi, jangan bertanya padanya.”
Hana menoleh cepat, suaranya pecah tapi tegas. “Karena aku butuh anakku!”
Rohana menahan amarahnya. Nafasnya tersengal, lalu perlahan ia duduk kembali. Hansel hanya bisa menatap Hana dengan mata penuh luka masih ada cinta yang tak bisa ia ungkapkan.
Akhirnya, Rohana menarik napas panjang. “Baiklah, aku akan berikan rumah untukmu dan ibumu. Mobil, sopir, semua fasilitas. Aku akan beri sejumlah uang. Bukan untuk membeli bayi ini ... karena nyawa tidak bisa ditukar dengan uang ... tapi karena aku berterima kasih pada kalian. Asal … jangan minta sesuatu yang tidak bisa kuberi.” Ia menggenggam tangan Hana erat. “Jangan minta nyawaku … aku takkan bisa memberinya.”
Rohana kemudian menarik Hana ke dalam pelukan hangat. Hana tertegun, tubuhnya bergetar. Pelukan itu begitu tulus, seakan ia benar-benar dianggap sebagai anak sendiri. Hatinya perlahan luluh.
Empat bulan, itu waktu yang ia punya. Empat bulan untuk memeluk anaknya, memberi semua cinta yang ia punya. Setelah itu, ia akan pergi. Pergi bersama ibunya, meninggalkan keluarga itu, dan membuka lembaran baru.
'Apa aku sanggup setelah empat bulan itu,' gumam Hana dalam hati dengan kedua tangan terkepal.