Irgi beralih menatap Humaira.
Wajah calon istrinya itu sangat polos tanpa make up sama sekali. Tubuhnya juga dibalut baju gamis panjang serta jilbab pink yang menutup bagian dadanya. Dia sungguh jauh berbeda dengan pacarnya yang bernama Aylin.
Selain memiliki wajah yang cantik, Aylin pandai berdandan serta modis dalam berpenampilan. Kepopulerannya sebagai influencer dan beauty vloger membuat Irgi sangat bangga menjadi kekasihnya.
Namun wasiat perjodohan mengacaukan semuanya. Dia malah harus menikahi gadis lain pilihan kakeknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Ink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Pertama
Malam telah berganti menjadi pagi
Saat Humaira bangun, Irgi terlihat masih tidur dengan pulas di sampingnya. Padahal semalam laki-laki itu tidur seperti kuda lumping kesurupan. Semua area tempat tidur dikuasainya. Guling yang ditaruh di tengah sebagai pembatas pun lari entah kemana!
Humaira hanya menghela nafas. Sejenak ia menepuk-nepuk badannya yang terasa sakit karena terkena tendangan kaki suaminya.
"Hei, bangun! Kita kesiangan. Mau sholat subuh gak?" seru Humaira sambil berdiri.
Namun suaminya tak bergerak sama sekali. Wajahnya sangat polos seperti orang tidak berdosa.
"Irgi bangun! Udah siang tahu!" Humaira menaikkan nada suaranya.
Laki-laki itu tidak bergeming. Ia masih dalam posisi memeluk erat guling yang sudah Humaira pungut dari lantai bawah.
Sampai Humaira selesai melaksanakan sholat subuh, tak satu senti pun posisi suaminya bergeser.
Humaira menjadi kesal. Tangannya lalu menepuk pelan pundak suaminya.
"Bangun, udah siang! Kita harus ke rumah mamah dan pindahan hari ini!"
Sang suami belum juga membuka matanya.
Karena sudah sangat kesal, Humaira akhirnya menepuk keras pundak Irgi hingga berbunyi.
Paakk!
Paakk!
Ia tidak akan berhenti sampai suaminya bersuara dan bangun dari tempat tidur.
"Auu, sakiiit!" teriak Irgi sambil menangkap tangan istrinya yang menempel di pundak.
"Makanya bangun! Udah siang ini." Humaira berusaha menarik tangannya.
"Bisa lembut dikit gak si banguninnya? Kasar banget jadi istri!"
Irgi bangun lalu menatap Humaira yang duduk di tepi kasur.
"Aku udah sepuluh kali bangunin Kamu, tapi Kamu kayak orang mati, gak gerak-gerak! Harus ditepuk dulu baru bangun!"
"Ini namanya ditabok bukan ditepuk! Sakit semua badanku." Irgi meringis sambil mengelus pundak kirinya.
"Kamu sadar gak semalam tidur kayak orang kesurupan? Kakiku ditendang! Tanganku ditindih sampe aku hampir jatuh ke bawah!"
"Hah? Mana mungkin?" Irgi melotot tak terima.
Baru kali ini, dia harus bertengkar dengan orang lain di pagi hari. Biasanya dia selalu dibangunkan oleh asisten rumah tangganya dengan penuh kesabaran. Tidak seperti pagi ini, dia dimarahi istrinya sendiri.
"Aku kalo tidur anteng sampe pagi."
"Anteng dari Hongkong! Sayang aja aku gak pasang CCTV di sini! Kalo ada, Kamu pasti kaget sendiri ngeliat kelakuan Kamu waktu tidur!"
"Suami bangun tu harusnya disiapin kopi sama sarapan, bukan dimarahi kaya gini." Irgi memasang wajah cemberut.
"Kalo Kamu mau aku jadi Istri beneran, Kamu juga harus bersikap seperti suami betulan dong! Sebelum tidur bukan malah telponan sama perempuan lain!"
Irgi terdiam. Memang tidak seharusnya ia berharap pada Humaira untuk bersikap layaknya seorang istri sungguhan. Dia sendiri yang meminta untuk menjalani kepura-puraan ini.
"Perutku sakit, kayaknya karena pake kipas angin sampe pagi." Irgi tiba-tiba memegangi bagian perutnya.
"Ya udah matiin aja kipas anginnya."
Humaira jadi iba melihat suaminya yang tidak terbiasa dengan fasilitas sederhana di rumahnya. Cucu dari Pengusaha sekelas Haji Ahmadi pasti selalu hidup mewah.
"Aku pengen mandi air hangat." Lanjut Irgi sambil melirik istrinya.
Dia sudah mengecek, tidak ada water heater di dalam kamar mandi.
Humaira semakin sadar, Irgi pasti terbiasa dilayani di rumahnya. Terlepas dari semua itu, sejak kemarin ia telah sah menjadi istrinya. Artinya secara hukum agama, dia harus patuh pada suaminya.
"Oke, aku mau masak air dulu. Kamu tolong bereskan tempat tidurnya!"
"Iya, iya.."
***
Humaira berpapasan dengan ibunya di dapur.
"Suamimu udah bangun, Maira?" tanya Ibu Zaenab sambil menuangkan air panas untuk membuat teh.
Ia tersenyum lalu mengamati putrinya, apakah malam pertamanya berjalan dengan lancar atau tidak! Namun ia bingung karena Humaira tetap memakai jilbab di dalam rumah.
"Udah Bu. Aku mau masak air buat dia mandi." jawab Humaira.
"Ibu tadi beli lontong sayur. Masih ada dua bungkus lagi buat Kamu dan Irgi di meja. Bentar lagi ibu berangkat kerja ya. Maaf gak bisa bantu Kamu pindahan, Maira."
"Iya, gak papa, Bu. Kata Irgi, pembantu di rumah mama juga bantuin beresin barang-barangnya."
"Syukurlah kalo gitu. Mulai sekarang Kamu harus berbakti sama suamimu. Layani dia dengan baik, temani dia juga dalam segala kondisi."
"Iya, Bu." Humaira menunduk.
Ia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Semua yang dikatakan ibunya adalah kewajiban seorang istri. Tapi apakah dia harus melakukannya jika sang suami tidak benar-benar menganggapnya seorang istri!
"Katanya, rumah tangga itu ibadah terpanjang. Belajarnya seumur hidup. Ujiannya gak pernah tentu jadwalnya, tapi balasannya adalah surga."
Ibu Zaenab menatap Humaira lekat.
"Ibu sudah menjalaninya dengan almarhum Bapak. Memang tidak mudah, tapi niat kami menjalaninya untuk ibadah pada Allah. Sekarang giliran Kamu, Maira."
"Kalau dia gak cinta sama aku, gimana Bu? Kita kan dijodohkan." Mata Humaira berkaca-kaca.
Entah mengapa, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mengingat perkataan Irgi tentang perempuan lain yang dicintainya, membuat hatinya teramat perih.
"Cinta atau tidak, berbakti saja karena itu adalah kewajiban seorang istri. Ibu yakin kalau Kamu tulus, cinta akan menemukan jalannya sendiri."
***
Selesai mandi, Irgi langsung berganti pakaian lalu mencari Humaira di dapur. Perutnya sudah sangat lapar.
"Apa menu sarapanku pagi ini?" Tiba-tiba Irgi berdiri di belakang Humaira yang sedang menghangatkan makanan.
"Aduh, Kamu ngagetin aja!" Humaira terkejut melihat suaminya muncul dari balik punggungnya.
Dia masih belum terbiasa dengan sosok Irgi yang mungkin akan sering berada di jangkauan pandangnya.
"Aku lapar."
"Iya, tunggu di meja makan aja. Aku lagi angetin lontong sayur. Ibuku tadi pagi-pagi beliin sebelum berangkat kerja."
"Mama kerja dimana?"
"Aku manggilnya, Ibu."
"Iya, maksudku Ibu. Dia kerja dimana?"
"Rumah makan Padang."
"Kalo Adam kemana? Gak keliatan dari tadi."
"Dia udah berangkat ke sekolah dari jam enam tadi."
"Ooo..."
Irgi berjalan ke arah meja makan yang tidak jauh dari dapur.
"Tunggu bentar, coba berbalik!" panggil istrinya.
"Kenapa?" Irgi berbalik menghadap Humaira yang telah mematikan kompor.
"Kamu yakin mau pake baju kayak itu?"
Humaira memperhatikan baju yang sedang dipakai Irgi.
"Memangnya kenapa? Ini baju favoritku." Irgi menunjuk kemeja kotak-kotak yang ia kenakan.
"Bajunya gak masalah, tapi itu kusut banget kayak lap."
"Ya, ini dari koper. Mau gimana lagi?"
"Buka! Biar aku setrika dulu."
Irgi terdiam sesaat tapi kemudian ia membuka kemejanya lalu memberikan pada istrinya. Kini ia hanya memakai kaos polos sambil menatap gadis itu heran.
"Kamu makan lah! Aku setrika baju ini dulu."
Humaira meletakkan semangkuk lontong sayur di atas meja. Dia juga menyodorkan sebungkus kerupuk sebagai pelengkap.
"Minumnya, itu ada teh di teko. Kalau mau yang dingin ambil aja di kulkas!" Tangannya menunjuk lemari es yang ada di sudut ruangan.
"Emang Kamu gak sarapan?" Irgi memperhatikan istrinya yang nampak sibuk bolak-balik.
"Aku udah duluan tadi."
Humaira lalu bergegas ke ruang tengah tempat ia biasa menyetrika.
Awalnya, dia ingin bersikap masa bodo dan tidak mau peduli pada Irgi, mengingat pernikahan ini hanya pura-pura tapi ia sadar kalau secara hukum agama, ikatan itu nyata dan sah. Ia masih takut akan dosa bila tak mencoba berbakti pada suaminya.
Sebagai anak sulung, Humaira juga sudah terbiasa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Dia pula yang selalu memperhatikan secara detail semua keperluan adiknya selama ibu bekerja.
Sehingga tak heran, bila Humaira begitu peka pada keperluan Irgi yang kini juga telah menjadi tanggung jawabnya.
Sambil menyetrika, Humaira terus mengingat perkataan ibunya supaya sungguh-sungguh berbakti pada suami, apa pun yang terjadi. Sama seperti yang Ibunya lakukan pada almarhum bapaknya semasa hidup.
Entahlah, dia bingung dengan pikirannya. Sendiri.
***
hmm covernya bagus kak