Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUNIA LAIN
Kirana merasakan kesadarannya kembali secara perlahan, seperti bangkit dari mimpi yang terlalu dalam. Kirana mengerjap. Terik matahari menyengat wajah dan menyilaukan matanya. Tubuhnya terasa berat, nyaris tak bisa bergerak. Saat ia mencoba duduk, suara keras dan asing terdengar memenuhi udara.
Kirana mendengar bahasa yang belum pernah ia mengerti sebelumnya. Bahasa yang aneh. Ucapan-ucapan yang tegas. Mengandung nyanyian di balik nada nya. Akhirnya Kirana menyadari bahwa ini bukan di dunia yang ia kenal.
Kirana berusaha bangun dan melihat sekeliling. Ia sedang di atas gerobak bersama beberapa perempuan dan anak-anak dengan wajah yang asing. Pakaian dan hijabnya masih utuh, tapi Kirana tidak merasakan kalung yang tadinya ia pakai, berada di lehernya.
Seorang pria besar berkulit kecokelatan menatap Kirana. Matanya menyipit curiga.
“Zaira?” gumamnya dalam bahasa asing, lalu memanggil seseorang. Kirana tak mengerti kata-katanya, tapi ia tahu arti tatapan mereka: Tatapan meremehkan dan menganggap seseorang seperti barang dagangan.
Tidak terlalu susah menyadari bahwa hari itu, Kirana dibawa ke sebuah pasar budak yang hiruk-pikuk, dipenuhi teriakan dan suara lelang.
Pak Raka…
Kirana hanya bisa menyebut nama itu dalam hati.
Syok.
Itu pasti.
Menyesal?
Bisa jadi.
Semua ini begitu nyata. Rasa panas. Haus. Juga rasa sakit pada pergelangan tangan nya yang diikat menggunakan tali yang kasar.Tapi Kirana yakin bahwa selama ia bisa menemukan tujuan nya, Anna Van Wijk, maka ia akan pulang secepatnya.
Kirana tak melawan. Ia tahu bahwa ia sendirian. Bertanya pun tak ada gunanya. Ia hanya bisa mengamati, menyimpan setiap detail—dan menunggu kesempatan.
Disamping itu, sebagai bahan dagangan… Kirana adalah bahan dagangan yang istimewa. Tubuhnya bersih. Wajahnya cantik terawat. Kulitnya terang. Ia tampak berbeda. Itu yang membuatnya menarik perhatian pembeli dari kalangan atas.
Akhirnya, seorang wanita tua berkerudung keemasan menunjuk ke arah nya. Ia bicara singkat dengan si penjual, menyerahkan sekeping logam, dan Kirana dibawa pergi.
Melalui perjalanan panjang berjalan kaki. Bersama beberapa orang lain nya, Kirana menjadi budak yang harus patuh kepada majikan nya.
Hari berikutnya, Kirana menyadari dirinya berada di bagian belakang kompleks istana—bangunan besar dengan atap lengkung, pilar marmer, dan taman yang terawat.
Hari-hari pertama Kirana di kompleks istana terasa seperti hidup di antara mimpi dan mimpi buruk. Ia tidak tahu siapa wanita tua berkerudung keemasan itu, tapi Kirana yakin bahwa wanita itu bukan orang sembarangan. Para pelayan memanggilnya "Tiyá Myrine" — nama yang terdengar angkuh dan lembut sekaligus.
Kirana ditempatkan di tempat khusus—bukan kamar budak biasa, melainkan semacam paviliun kecil di dekat dapur istana. Ada ranjang kayu, tempat air, dan sepotong cermin logam yang menggantung di dinding. Tak ada kunci di pintu, tapi Kirana tahu, ia tidak bebas. Selalu ada penjaga. Selalu ada mata yang mengawasi.
Pagi hari, Kirana dibangunkan sebelum matahari muncul. Ia diajari cara menyapu lantai batu marmer tanpa meninggalkan gores. Diajar mengelap vas perunggu, memoles patung-patung, dan—anehnya—diajari pula menyeduh minuman herbal, mencampur ramuan, dan mengenali bahan obat-obatan.
Ia mengingat-ingat dengan cermat semua nama tanaman yang diajarkan seorang perawat tua bernama Nephra. Kadang Nephra menyebutkan nama Latin yang aneh, kadang menggunakan bahasa lokal yang melodius. Kirana diam-diam menyamakan itu dengan ilmu farmasi dasar yang pernah ia pelajari.
“Zygeth na’rosum, baik untuk luka dalam perut. Tapi jangan campur dengan batu ungu, atau akan jadi racun.”
Meski Anna tidak mengerti, ia hanya mengagguk dan mencoba memahami berdasarkan gerak dan ekspresi orang yang bicara padanya.
Pada malam kelima, Kirana terbangun karena suara berisik dari gudang penyimpanan yang bersebelahan dengan paviliunnya. Suara tikus mungkin, pikirnya. Tapi entah kenapa, perasaannya tidak enak. Ia keluar pelan-pelan, mengendap di antara bayangan tiang dan semak.
Di sana, ia menemukan dua budak remaja sedang membuka peti tua berisi barang rampasan. Mereka buru-buru kabur saat melihat Kirana, meninggalkan peti itu terbuka.
Rasa penasaran membuat Kirana mendekat. Di antara kain compang-camping dan perhiasan rusak, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
Kalung matahari.
Kalung yang menemani dan membuat ia terlempar ke dimensi ini. Masih utuh. Masih berkilau redup dalam kegelapan.
Tangan Kirana gemetar saat meraihnya. Begitu kalung itu menyentuh kulitnya, sesuatu dalam dirinya berguncang. Hangat. Lalu—dentuman sunyi di dalam kepala, seperti ribuan gema yang mendadak meredam.
Sejak malam itu, segalanya terasa berubah.
Keesokan paginya, saat Nephra memintanya mengambil rasmatel, Kirana mengangguk dan menjawab, “Yang daun hijaunya bergerigi dan baunya pahit, bukan?”
Nephra terdiam. Menatapnya.
“Kau... mengerti ucapanku?”
Kirana pun menyadari—dia sungguh mengerti! Bahasa asing yang semula hanya bunyi-bunyi tak berarti, kini terasa seperti bahasa yang pernah ia pelajari bertahun-tahun lalu. Kalung itu... benda itu bukan hanya simbol. Ia adalah penerjemah alam semesta.
“Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya,” ujar Kirana hati-hati. “Tapi sekarang saya bisa memahami kata-katamu.”
Nephra mencubit lengannya sendiri, seolah tak percaya. “Tuhan-tuhan kita mulai bermain-main lagi rupanya…”
Setelah itu, kehidupan Kirana berubah drastis.
Ia tidak lagi diperlakukan seperti budak yang tak bisa diandalkan. Ia mulai diajak berdiskusi. Eumenes, sang tabib istana, memberikan naskah-naskah pengobatan tua padanya. Ia diminta membaca, menerjemahkan, bahkan membantu meracik ramuan baru untuk perut seorang selir yang sakit.
Tiyá Myrine datang kembali di hari ketujuh, menatapnya dengan sorot berbeda. “Kau seperti batu biasa yang ternyata menyimpan cahaya.”
Kirana hanya membungkuk. Tapi dalam hati, ia tahu: semakin dalam aku masuk ke jantung istana ini, semakin dekat aku ke tujuan.
Anna Van Wijk.
Malam itu, Kirana kembali menatap langit dari jendela kecilnya. Kalung matahari tergantung di lehernya, kini tersembunyi di balik kain. Ia menyentuhnya pelan.
“Terima kasih,” bisiknya. Entah pada siapa. Mungkin pada penjaga dimensi. Mungkin pada waktu. Atau mungkin pada dirinya sendiri yang tak menyerah.
Petualangannya belum selesai. Tapi kini, ia punya senjata: bahasa, pengetahuan, dan kesabaran.
***