Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?
Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.
Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!
Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IILA 16
Di suatu tempat yang tak tersentuh waktu dan jauh dari hiruk-pikuk dunia manusia, terhampar dimensi luas diselimuti cahaya samar kebiruan dan kabut tebal bergulung pelan—seperti napas alam yang tak pernah berhenti. Di tengah kesunyian yang menggema, Alan melangkah pelan dengan kaki telanjang menyusuri jalur tak kasatmata, menuju ke sebuah bidang besar menyerupai kaca eter—permukaan transparan yang memantulkan bukan hanya rupa, tetapi juga getaran jiwa.
Bayangannya sendiri perlahan terlihat di hadapan bidang itu. Setengah dari tubuhnya telah berubah gelap, seperti diselimuti kabut hitam pekat yang bergerak perlahan menyusuri kulitnya, menyerupai tinta dalam air. Tubuhnya tampak nyaris transparan, seolah keberadaannya hanya bersifat semu, hampir lenyap dari tataran dunia.
Alan mengangkat tangannya, meraba bagian dadanya yang samar. Tak ada pakaian yang menutupi tubuhnya. Hanya kulit bening yang tampak seperti kabut mengeras. Ia mendesah pelan, dan dalam diamnya membatin, "Sepertinya tubuhku menjadi begini… mungkin karena efek dari mengalirkan sebagian jiwaku ke dalam gelang itu…"
"Gelang yang kuberikan pada Wislay, untuk melindunginya dari takdir menggantikan kematian ibunya dan Gustro."
"Haaa, entah mengapa aku bisa berbuat sampai sejauh ini." Suaranya parau namun tetap tenang. Ekspresinya datar. Tatapannya kosong namun tajam, menyiratkan bahwa ia telah menghitung segalanya, kecuali perasaan.
Lalu tanpa peringatan, senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia mendongak sedikit, dan dalam pantulan kaca itu, bayangan samar muncul—sosok Wislay, tengah tersenyum hangat di bawah langit senja. Wajahnya yang bersinar, mata jernihnya, dan suara lembutnya seolah merasuk hingga ke inti kabut di tubuh Alan.
Alan mendadak terdiam. Matanya sedikit menyipit.
“Sudahlah…” gumamnya lirih. Ia menarik napas panjang, kemudian menyeringai kecil. “Aku hanya perlu mengumpulkan energi lagi. Nanti, tubuh sempurnaku akan kembali seperti semula.”
Langkahnya menjauh dari kaca eter. Kabut hitam di tubuhnya merambat lebih jauh, namun tak ia pedulikan. Suaranya bergema di langit kosong dimensi itu.
“Kurasa butuh waktu… dua tahun… untuk menyempurnakan kembali kekuatanku seutuhnya.”
Ia berhenti, berdiri di atas lingkaran bercahaya yang perlahan menyerap energi dari sekitarnya. Aura putih keemasan menyelubungi tubuhnya sesaat sebelum meredup kembali.
“Walau begitu, setidaknya itu akan membantu…” lanjutnya sambil menatap ke kejauhan, di mana bayangan Wislay perlahan menghilang dari kaca eter.
Alan memejamkan mata. Satu nama terpatri dalam pikirannya dan mengendap dalam jiwanya.
"Dan setelah semuanya selesai... aku akan kembali ke sisinya."
"Untuk mengawasinya..."
"...atau bisa jadi, lebih dari itu."
Kabut menelan tubuhnya perlahan. Dimensi tersebut sunyi kembali. Tapi jauh di dalam sana, seorang utusan langit telah jatuh pada cahaya yang tak ia duga: manusia bernama Wislay.
...****************...
...****************...
Langit siang tampak mendung di atas menara pencakar langit milik Velgrant Corp. sebuah perusahaan multinasional ternama yang menguasai berbagai sektor industri mulai dari teknologi, media, hingga logistik. Di lantai tertinggi gedung tersebut, tepatnya di ruang Presiden Direktur, suasana terasa megah dan berwibawa.
Edward Velgrant, sang pendiri sekaligus pemimpin utama, duduk tegak di balik meja marmer hitam berukir. Dengan jas tiga potong berwarna arang dan dasi bermotif elegan, ia memancarkan wibawa seorang pemimpin berdarah dingin dan visioner. Di hadapannya, berdiri seorang pria bersetelan hitam: asisten kepercayaannya, yang tengah mengulurkan sebuah map berwarna krem dengan logo Velgrant yang timbul di sudut kanan atas.
“Ini, Tuan,” ucap sang asisten sembari meletakkan map itu di atas meja. “Semua informasi mengenai gadis bernama Wislay Antika Ernando telah kami kumpulkan.”
Edward membuka map tersebut perlahan, matanya yang tajam menyisir setiap lembar dokumen satu per satu. Sementara itu, sang asisten mulai menjelaskan dengan nada terukur:
“Wislay berasal dari sebuah desa di bagian utara distrik Hijau. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil biasa, sedangkan ibunya seorang petani sayur-mayur. Ia memiliki dua adik laki-laki yang masih bersekolah.”
Edward mengangguk perlahan, tidak memalingkan pandangan dari data di tangannya.
“Saat ini, dia tinggal di sebuah rumah kost sederhana di kawasan Rose Regency. Biayanya termasuk rendah, namun cukup aman dan strategis. Wislay sedang bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko buku, sembari menabung untuk mendaftarkan diri ke universitas.”
“Gadis itu tampaknya cukup ulet dan penuh semangat, Tuan,” lanjut asisten. “Di sela waktu kerjanya, ia juga membuka usaha kecil-kecilan berupa penjualan aksesoris handmade, dan aktif menulis novel daring.”
Sesaat ruangan hening. Edward menutup map tersebut dengan lembut, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit mewah di belakangnya. Wajahnya menunjukkan perenungan dalam, sebelum kemudian mengernyitkan kening dengan tatapan sedikit dingin.
“Namun…” katanya pelan, “Bagaimanapun juga, ia berasal dari kalangan yang tidak setara dengan anakku, Gustro.”
Asisten menelan ludah. Ia tahu, pembicaraan akan memasuki ranah yang lebih personal.
“Bisa saja…” lanjut Edward dengan nada berat, “…ia hanya mendekati Gustro demi keuntungan pribadi. Sama seperti gadis-gadis dangkal yang dulu mengelilinginya di sekolah. Hanya karena wajah tampan dan nama belakangnya.”
Ia menghembuskan napas, lalu mengusap dagu dengan jemari kokohnya.
“Aku tidak akan membiarkan masa depan Gustro dihancurkan oleh gadis yang tidak benar-benar tulus. Apalagi jika ia hanya berniat menggantungkan hidup.”
Asisten itu menunduk sopan. “Lalu, perintah Anda, Tuan?”
Edward menatap tajam, kemudian berkata tegas, “Terus amati gerak-geriknya. Namun jangan sampai Gustro menyadarinya. Aku ingin laporan yang objektif dan seakurat mungkin.”
“As you wish, Tuan.”
“Oh, satu hal lagi,” ujar Edward, mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Atur makan malam minggu depan. Pastikan Gustro datang, dan undang Wislay secara resmi. Aku ingin melihat langsung… apa yang sebenarnya menarik dari gadis desa itu hingga membuat anakku jatuh hati.”
Sang asisten mengangguk mantap. “Segera saya atur, Tuan.”
Edward menyandarkan tubuh kembali, mata tajamnya menatap jendela besar di hadapannya, di mana kota Thorns City terbentang dengan kelap-kelip lampu dan bayangan masa depan. Dalam hatinya, Edward berharap bahwa keputusan Gustro tidak dilandasi oleh emosi semata.
Sebab mencintai memang mudah, tapi menjaga martabat keluarga Velgrant—itu harga yang tidak bisa dinegosiasikan.
Belum sempat sang asisten keluar ruangan untuk melaksanakan perintah Edward, langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia berbalik, sedikit ragu, lalu berkata pelan namun jelas:
“Maaf, Tuan Edward. Tadi saya hampir lupa. Ada seseorang yang ingin menemui Anda secara langsung.”
Edward memicingkan mata. “Siapa?”
Sebelum sang asisten sempat menjawab, pintu ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria berjas gelap dengan setelan rapi dan sikap penuh kendali melangkah masuk tanpa izin. Ia meringkuk hormat dengan satu tangan diletakkan di dada, lalu mengangkat wajahnya yang menyiratkan kepercayaan diri tinggi.
“Saya mohon maaf atas kelancangan saya, Tuan Velgrant,” katanya, suaranya tenang dan berkarisma. “Nama saya Han, salah satu petinggi utama di Three Entertainment.”
Edward menyipitkan mata. “Ah…” gumamnya pelan. Ia sontak menautkan jemari tangan di depan dada. “Jadi kau yang datang… Tuan Han.”
Mr. Han, begitu ia biasa dipanggil—mengangguk sopan, namun senyum menyeringai menghiasi bibirnya. Menggambarkan sesosok yang tidak sepenuhnya ramah… lebih menyerupai pemangsa yang sedang mengamati mangsanya dengan sabar.
“Kelihatannya,” lanjut Edward dengan nada rendah namun menusuk, “kau sudah menyadari bahwa salah satu kandidat idol di agensimu itu adalah putraku.”
Han mengangguk sekali lagi, kali ini dengan angkuh.
“Tentu saja. Dan saya juga cukup yakin, Tuan, bahwa Anda pasti sudah bisa menebak tujuan kedatangan saya kemari.”
Keheningan melanda ruangan sejenak. Udara seperti menegang. Hanya suara jam dinding klasik yang berdetak pelan, terdengar menggantung di antara dua pria dengan karisma berbeda: satu penuh kekuasaan dingin dan satunya lagi menyimpan kelicikan yang terbungkus dalam senyum licin.
Mereka saling bertatapan. Tatapan yang seolah mencoba membaca isi kepala masing-masing.
Mata Edward tajam, tanpa riak emosi, seakan berkata: Kalau kau berniat bermain-main denganku, lebih baik pulang sekarang sebelum kau menyesal.
Sedangkan mata Han memancarkan sesuatu yang berbeda. Tatapan yang licik namun percaya diri, dibarengi senyum kecil penuh makna. Ia tidak takut. Bahkan menikmati ketegangan ini.
“Aku bukan orang yang suka bertele-tele,” kata Edward akhirnya. “Katakan saja langsung, apa maksudmu?”
Mr. Han berjalan pelan ke arah kursi di seberang meja, namun tidak duduk. Ia berdiri tegak sambil menjawab dengan lirih, tapi penuh tekanan: “Saya hanya ingin tahu, seberapa besar dukungan yang akan Anda berikan… untuk karier masa depan putra Anda sebagai seorang idol. Karena itulah...."
"...bagaimana kalau Velgrant Corp menjadi salah satu sponsor Three Entertainment?"
"Saya berjanji akan memberikan masa depan yang cerah untuk putra anda tercinta, dengan jaminan menjaga privasinya sebaik-baiknya."
~