Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 18 Jadi diri sendiri
Pagi itu datang pelan-pelan...
Cahaya matahari menyusup dari balik tirai kamar hotel, membasuh segala lelah yang semalam tertinggal di tubuh kami. Maarten masih tertidur dengan napas teratur, sementara aku sudah duduk di tepi ranjang, menatap jendela besar yang menghadap langsung ke kota.
Kami menginap di lantai 38.
Dari ketinggian ini, Depok terlihat seperti dunia kecil dalam film animasi, jalanannya rapi, kendaraan seperti semut yang sabar berjalan, dan atap-atap rumah menyerupai barisan warna-warni dalam buku gambar.
Kota ini terlihat begitu tenang dari atas, seperti tidak pernah menyimpan sesak.
Dan untuk sesaat, aku percaya... dunia memang bisa terasa ringan..
Tak lama kemudian, Maarten bangun sambil mengucek matanya.
“Good morning, gadisku,” katanya pelan, masih dengan suara serak khas pagi.
“Good morning my sunshine,” jawabku sambil tersenyum.
Dia bangkit dan berjalan pelan ke arahku, ikut melihat keluar jendela.
“Wow… dari sini, dunia kayak bukan dunia ya.. Depok kayak kota kecil di kartun. Damai banget.”
Aku mengangguk.
“Iya. Kadang kita baru bisa lihat sisi terbaik dari sesuatu... kalau kita lihatnya dari tempat yang cukup jauh.”
Dia tertawa dan akhirnya duduk perlahan, meraih tanganku.
“Kita nikmati pagi ini pelan-pelan, ya. Nggak usah tergesa. Hari masih panjang.”
Aku mengangguk. Dan kami hanya duduk berdua di tepi ranjang, memandangi kota dari ketinggian, seakan waktu tak punya kuasa atas kami.
Setelah beberapa menit, kami akhirnya turun ke restoran untuk sarapan pagi.
Restoran hotel masih sepi. Hanya ada beberapa tamu lain yang terlihat menikmati kopi dan roti panggang. Aku dan Maarten duduk di dekat jendela besar, meja kami sederhana tapi nyaman. Kami memesan makanan masing-masing sarapan gaya lokal dan sedikit sentuhan western yang katanya khas hotel disini.
Maarten mengaduk susu digelasnya. Wajahnya masih setengah mengantuk, tapi senyumnya sudah penuh semangat.
“Ternyata di hotel ini ada kolam renangnya juga ya,” katanya tiba-tiba.
“Kalau kamu mau, nanti siang kita bisa berenang bareng”
Aku tersenyum, menikmati makanan dimejaku.
“Wah iya? Seru juga sih. Tapi aku nggak bawa baju renang…”
Dia mengangkat alis.
“Kita bisa cari. Katanya di belakang hotel ini ada mall juga, kan? Kita bisa jalan-jalan ke sana sebentar, cari yang kamu suka.”
“Kamu selalu punya rencana ya,” aku tertawa kecil.
“Tapi aku suka sih. Hari ini kayaknya cocok buat jalan santai aja.”
Maarten menggigit roti tawarnya, lalu menatapku.
“Iya, aku juga nggak mau terburu-buru. Rasanya menyenangkan bisa duduk sama kamu, ngobrol, makan bareng… bahkan cuma kayak gini aja udah bikin aku tenang.”
Aku menatapnya sebentar.
Pagi ini memang sederhana.
“Kamu tuh orang yang gampang bahagia ya,” aku menggoda.
“Cuma duduk sambil minum kopi aja udah seneng banget.”
“Karena aku duduknya sama kamu,” jawabnya pelan.
“Bukan soal tempat, tapi siapa yang duduk di seberangku.”
Aku tersenyum malu dan menundukan kepalaku. Setelah beberapa menit hanya terdengar suara sendok dan garpu yang menyentuh piring, Maarten tiba-tiba berkata sambil menatapku.
“Aku nggak sabar banget buat ke Sumatera.”
Aku menoleh, tersenyum kecil.
“Kenapa emang? Emangnya kamu udah punya bayangan mau ngapain di sana?”
Dia mengangguk, matanya berbinar.
“Aku pengen banget lihat horang utang"
Katanya dengan aksen khas eropa.
"Hah? apa tadi? Coba ulang?"
"Horraaaang utaaaang"
Aku tertawa. Tidak bisa menyembunyikan tawaku. Semua orang direstoran hampir melihatku. Ini sangat lucu.
"Kenapa kamu tertawa?" maarten terlihat bingung.
"Hahahaaa, bukan horang utaaaang, tapi OR-RANG UT-TAN"
"Horangutang..... "
Dan ini lebih lucu lagi. Perutku sangat sakit mendengar ini.
"Hahaha, maaf maarten. Kamu sangat lucu"
Maarten tersenyum lembut. Mencoba memahamiku.
Aku menyender pelan ke sandaran kursi, menatap wajahnya yang penuh semangat.
“Maarten, hati hati kamu jatuh cinta sama orang hutan"
"Mereka cantik. Aku menyukainya. Hahahaha"
Kali ini maarten tertawa lebih keras lagi.
"Kamu yakin ke sumatera cuman mau lihat orang utan aja?"
“Exactly!” katanya.
“Aku nggak mau lihat mereka di kandang. Aku pengen lihat mereka di alam. Melihat mereka bergelantungan di pohon, bebas, liar, dan indah.”
Aku mengelap mulutku sebentar menggunakan tisue. Lalu berkata pelan,
“Aku belum pernah lihat langsung, padahal aku tinggal di negara ini.”
Dia tersenyum lembut.
“Dan suatu hari nanti… kamu harus ikut aku. Aku pengen tunjukin ke kamu hal-hal yang bahkan belum sempat kamu lihat di negerimu sendiri.”
“Kamu pengen aku jadi partner ekspedisi gitu?” tanyaku setengah bercanda.
Dia tertawa kecil.
“Aku pengen kamu jadi bagian dari petualanganku. Lihat dunia bareng. Nggak perlu jadi pemberani. Cukup mau mencoba.”
Di sela sela perbincangan kami, setelah selesai makan, aku membuka tas kecil dan langsung mengambil cermin serta lipstik. Kebiasaan lama yang selalu kulakukan, memakai lipstik setelah makan.
Maarten memperhatikanku lagi.
“Kamu selalu pakai itu ya setiap habis makan?”
Aku mengangguk.
“Udah kayak refleks. Kalau nggak pakai, aku ngerasa pucat banget.”
Dia menghela napas pelan, senyumannya masih tergantung di sudut bibir.
“Tapi kamu tahu nggak? Kamu lebih cantik tanpa itu.”
Aku berhenti, menatapnya, lalu tertawa kecil.
“Kamu serius?”
“Serius,” jawabnya, masih tenang.
“Wajahmu yang natural… itu yang aku suka. Senyummu tanpa lipstik, itu lebih jujur. Lebih cantik..”
Aku menunduk sebentar.
“Aku nggak tahu ya... aku ngerasa nggak cukup cantik kalau nggak pakai ini.”
Maarten menyentuh jemariku dengan lembut.
“Kamu nggak harus cukup untuk standar siapa pun, Kelly. Kamu cukup untuk dirimu sendiri. Dan bagiku… kamu sudah sangat cantik."
Aku terdiam. Menyimpan lipstik yang ada ditanganku.
"Aku perhatikan, mau tidur, kamu memakai lipstik, setelah mandi, kamu memakai lipstik. Dan sekarang setelah makan, kamu memakai lipstik."
Maarten menatap mataku cukup dalam. Begitupun aku.
“Dan Kelly….. Apa yang aku bilang tadi bukan berarti aku nggak suka kamu pakai lipstik, ya.”
Aku menoleh, mendengarkan, dan mencoba memahami apa yang akan dia katakan.
“Aku tahu kamu punya alasan sendiri. Aku juga ngerti setiap orang punya cara buat merasa lebih percaya diri.... Tapi… aku cuma pengen kamu tahu, kamu nggak perlu membuktikan apa-apa. Bahkan tanpa lipstik pun, kamu sudah cukup. Dan kamu harus tahu itu juga. Bukan karena aku bilang, tapi karena kamu sendiri percaya.”
Lalu dia tersenyum hangat, melanjutkan meminum susu digelasnya.
“Aku nggak pengen kamu berubah buat bikin aku senang. Aku pengen kamu jadi versi terbaik dari dirimu… bukan versi yang kamu kira harus disukai orang.”
Maarten adalah pria yang berbeda. Tidak terburu-buru, tidak kasar dalam sikap ataupun kata. Ia tidak pernah membuatku merasa harus membuktikan apa pun. Dia tahu caranya hadir tanpa banyak bicara.
Dari cara dia membuka pintu untukku, dari cara dia menatapku seolah aku adalah satu-satunya yang penting di dunia… aku tahu, dia bukan pria biasa. Ada kedewasaan di balik tiap gestur kecilnya. Dan mungkin, itu yang selama ini tidak pernah kutemukan pada lelaki yang datang lalu pergi.
Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Tak ada drama, tak ada permainan. Semua terasa jujur dan tenang. Dulu, aku selalu merasa harus mengejar, selalu takut ditinggalkan. Tapi bersama Maarten, aku merasa cukup hanya dengan menjadi diriku sendiri. Rasanya seperti berdiri di tempat yang seharusnya aman, diterima, dan dihargai. Aku bahkan sempat bertanya dalam hati… apakah Maarten adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dulu tak pernah sempat kujawab? Apakah dia dikirim Tuhan bukan sekadar sebagai teman perjalanan? atau sebagai obat dari luka yang tak pernah benar-benar sembuh?
Mungkin Tuhan tahu aku hampir menyerah. Hampir berhenti percaya bahwa cinta itu masih bisa membuat tenang, bukan trauma. Dan mungkin, justru karena aku sempat kehilangan arah, semesta mempertemukanku dengannya, dengan cara yang pelan, tapi menyembuhkan. Dia tidak datang untuk menggantikan siapa pun. Tapi dia datang untuk mengingatkanku… bahwa aku layak dicintai dengan lembut. Bahwa aku pantas sembuh. Bahwa aku masih bisa bahagia, tanpa harus merubah siapa diriku.