Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.
Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.
Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.
SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 : Waktu VS Cahaya
"Sekarang kau benar-benar membuatku ingin membunuhmu." P menatapku dengan wajah serius.
Aku memegangi pundakku yang tergores oleh cepat panasnya cahaya yang di tembakkan oleh P.
"Kau memang bisa membuat waktu berada di kendalimu, tapi saatnya kita bandingkan Antara mu cahaya dan waktu, mana yang lebih cepat lalu di atasnya." P melesat dengan sangat cepat.
ZING! ZING! P menerjangku.
TAP!TAP!TAP! Aku menghindar dengan sangat cepat.
Aku sudah mulai mengingatnya sedikit. Ingatanku mulai pulih, bagus untukku. Tapi tidak untuk melawan Kemampuan cahaya ini. Seolah dia sangatlah cepat sekali.
BUK! Serangan cepat dari P. Meskipun aku bisa menghindarinya, pukulan tersebut—saking kencangnya sampai menghasilkan angin.
BUK! P kembali meleset dan hanya memukul angin.
DUK! Aku mencoba mencoba mendaratkan tendangan ke wajah P kembali.
ZING! P menghindar dengan kecepatan cahaya miliknya.
"Lambat!" P muncul di belakangku.
BUK! Pukulan kencang dan keras menghantam punggungku hingga membuatku terjatuh dan membentur tanah dengan keras.
"Hei, Sandy!" Nara berseru dari tribun penonton.
"Untung kau orang yang memiliki kemampuan spesial, jika tidak maka pukulan tadi sudah membuatmu mati!" Tambah Nara kembali berseru.
Rasa sakit memenuhi sekujur tubuhku. Nyeri yang sangat tidak bisa terelakkan. Aku mencoba bangkit, tapi sangat sulit.
"Ya, ampun. Baru begitu kau sudah ingin mati saja? Ayolah buat aku lebih terhibur. Mana potensi dari kemampuan waktu yang paling kuat itu, hah?!" P Terbang di atasku.
Dia memang orang mengerikan. Maaf saja teman-teman, aku hanya bisa menonton saat ini. Aku akan berusaha mencari solusi yang lebih baik agar kalian bisa lebih mudah menghadapi orang-orang yang sedang kalian hadapi. Beruntung saja Pria koboy itu membiarkanku pergi dari pertarungan. Kemampuan mereka semuanya sangat menakutkan. Bahkan cahaya? Pasti dia orang yang sangat licik sehingga bisa membunuh orang dengan kemampuan cahaya lalu merebut kekuatan itu, tapi ada kemungkinan pemilik kemampuan cahaya itu bodoh, jadinya mudah terbunuh. (Nara beropini dan berpikir di dalam hati)
"Dari mana k-kau.. Mendapatkan.. Kemampuan cahaya itu? Kau... sudah pasti merampasnya dari orang lain." Aku bersusah payah untuk bicara. Sakit dari bekas pukulan P masih belum kunjung mereda.
HAHAHAHAHA! P tertawa lepas.
"Kau benar. Kekuatan ini aku rampas karena sangat kuat. Aku bahkan tidak merasa bersalah karena harus membunuh sahabatku sendiri. Kemampuan ini bisa membuatku menjadi yang terkuat!" P kembali tertawa.
"Tapi, bagaimana jika aku mendapatkan kemampuan yang sama kuatnya? Bukankah itu sangat mengasyikkan? Tidak akan ada orang yang bisa mengusikmu."
"Kau itu anak yang payah!" P di lemparkan mangkuk untuk mengemis oleh orang tuanya.
"Lihat, dia! Dia anak orang miskin!" Ejek teman-teman P di sekolah.
"Hei, kerempeng. Awas nanti tertiup angin." Sekumpulan anak remaja menendang P yang sedang mengemis di jalanan.
"Kenapa kau melakukan ini? Kau telah di butakan oleh kekuatan." Sahabat P kemudian tergeletak jatuh berlumuran darah di aspal setelah dirinya tertusuk pisau. P lah yang melakukannya.
"Bahkan sahabatmu sendiri?! Manusia macam apa kau?! Aku tidak tahu masa lalumu bagaimana, tapi perlu kau ketahui bahwa... " Aku perlahan bangkit berdiri dari jatuhku dan memegangi punggung yang kesakitan.
"Memiliki seorang teman yang selalu ada di saat kau susah itu adalah harta Karun yang sulit di temukan!" Aku kemudian melempar Banyak batu yang sangat tebal dan keras namun berukuran kecil.
"Kau tidak berhak untuk berbicara apa-apa!" P membentakku.
WUSH! Batu-batu yang aku lempar mengarah ke arah P terbang.
"Batu lagi?! Sungguh?! Hanya ini yang bisa kau lakukan?!" P meremehkan.
TIK!TOK! Aku mempercepat waktu batu-batu itu melaju.
TAK! Batu-batu saling bertabrakan dengan sangat cepat lalu memantul ke tembok dan lantai dengan sama cepatnya.
Batunya memantul? (P terkejut)
TAK! TAK! TAK! Batu-batu itu semakin melesat dan memantul dengan sangat cepat.
"Kau yakin meremehkan batu-batu itu?" Aku menatap sombong P.
WUSH! Salah satu batu dengan cepat melesat ke arah P.
ZING! P menghindarinya dengan kecepatan cahaya.
WUSH! Batu lagi.
ZING! P menghindarinya kembali. Lagi dan lagi Begitu.
P kali ini sedang sangat fokus untuk menghindari serangan batuku.
TAP! TAP! TAP! Aku melayang (Jika dari sudut pandang orang)
Aku terus melaju ke P sembari mengindari batu-batu yang aku lempar dan pantulkan dengan sangat cepat.
BUK! Pukulanku berhasil di daratkan ke perut P ketika ada celah saat dia sedang menghindari serangan batu.
"SIAL!" P mengeluh.
CTAK! Batu kencang menghantam tepat belakang kepala P.
"SUDAH CUKUP!" P marah dengan wajah yang merah menyala.
CING! Jari telunjuknya P mengeluarkan laser cahaya.
Batu-batu yang memantul itu seketika lenyap menjadi abu.
"Menghindar!" Bagas melakukan akrobatik kebelakang untuk menghindari laser cahaya milik P. Begitu juga dengan OB.
"Hei, pak tua! Jika begini maka urusan kita tidak pernah selesai!" Kata Bagas dengan nafas yang tidak beraturan. Posisinya kini sangat tidak menguntungkan. OB benar-benar serius. Dia membuat lebam yang banyak pada Bagas.
"Benar sekali sepertinya ini akhir bagimu." OB menggelengkan kepalanya (perenggangan)
Sial! Dia bahkan hanya mendapatkan sedikit luka lebam dari seranganku. Justru malah sebaliknya.. Akulah yang babak belur. Tapi aku tidak boleh menyerah. (Kata Bagas di dalam hati)
Bagas melirik ke arah Bora dan Lala yang sedang bertarung. Sepertinya Bora sangat kesulitan menghadapi petir biru milik Lala.
"Aku harus menyelamatkan adikku dengan tanganku sendiri!" Bagas membuat kuda-kuda bersiap menyerang dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
"Aku puji tekadmu, Anak muda!"
BUK! Pukulan keras pertama OB di tahan oleh Bagas.
"Bagaimana kalau begini!" OB berseru.
BUK! BUK! DUK! DUK! BUK! DUK! OB tidak memberikan ruang untuk Bagas bergerak hingga pada akhirnya remaja itu terpental jauh dan hampir pingsan.
"Aku tetap tidak boleh menyerah!" Bagas mencoba menjaga kesadarannya.
Darah mulai keluar dari hidung dan mulut Bora bahkan pelipisnya sekalipun.
"Aku mengakuimu sebagai lawan yang penuh dengan tekad untuk menang." OB kembali bersiap menyerang.
CING! CING! CING! P menembakkan laser cahaya tanpa ampun ke arahku.
TAP! TAP! TAP! Aku dengan susah payah memprediksi kecepatan dan kemana arah laser cahaya milik P menuju.
ZING! P melesat cepat menujuku dan siap melepaskan tendangan.
DUK! Aku balas kembali dengan tendangan. Kaki kami saling beradu dan tertahan.
"Matilah!"
CING!
TAP! TAP! TAP! Cahaya memang sama cepatnya dengan waktu. Aku berhasil menghindari laser yang di tembakkan dari jarak sangat dekat dengan selang beberapa detik. Aku harus benar-benar cepat dan memperhitungkan gerakanku sendiri serta P agar menghadapinya lebih mudah.
ZING! ZING!
CING! CING! CING! P tidak akan pernah lengah dan bahkan melepaskanku sekarang.
...****************...
"Deka, kenapa kamu mengajakku bermain game sepagi ini? Ini jam setengah dua pagi, loh." Irliana duduk di kursi belajarnya. Kamar tidurnya sangat besar dan juga di hiasi oleh hiasan cantik lukisan bunga-bunga serta rak-rak buku yang isinya banyak.
"Maaf, sekali. Aku terbangun gara-gara sebuah cahaya terang. Aku pikir itu sudah pagi." Jawab Deka sembari fokus dengan gawai yang sedang dimainkan.
Irliana dan Deka sedang bermain bersama secara daring lalu menggunakan biscord untuk berkomunikasi.
"Cahaya? Kamu yakin itu bukan senter?" Tanya Irliana Heran.
"Tidak mungkin. Di daerahku ini mana ada orang yang lagi ronda. Kamu juga tahu kan, daerah tempat tinggalku bagaimana? Kos-kosanku maksudnya?" Deka semakin giat menggerakkan jari-jarinya dalam mengontrol permainan di gawainya.
"Kita berhasil menang." Deka meletakkan smartphone miliknya di kasur.
"Sudah ini mau bermain game PC?" Deka bertanya, tapi Irliana tidak menanggapinya.
"Irliana? Irliana?! Kamu masih di sana?" Deka memastikan.
"Eh, iya. Kayaknya ibuku bangun, deh." Irliana menjawab.
"Walah! Kamu itu malah main game. Ini masih pagi banget buat main game. Terus kamu ngobrol sama laki-laki?!" Ibu Irliana tiba-tiba mengambil ponsel Irliana.
"Ibu! Tunggu dulu!" Irliana berusaha mengambil smartphone miliknya sembari wajahnya sedikit memerah.
"Kamu, Deka ya? Terimakasih sudah mau akrab dengan putriku, tapi jika kamu mengajaknya main game sepagi ini lagi, saya tidak akan membiarkan kamu akrab lagi dengan Irliana." Ibu Irliana memberikan peringatan.
"Ba-baik Tante. Ma-maafkan saya. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Kata Deka lewat Biscord.
"Ya sudah kalau begitu." Biscord kemudian mati dan komunikasi terputus.
Deka menyandarkan dirinya Ke sudut tembok sambil menekuk lututnya. Wajahnya mulai terlihat lusuh.
"Tadi itu suara ibunya Irliana, ya?" Deka menatap langit-langit kamar kos-kosan.
"Tenang saja, ummi. Deka bakal tunjukkin bahwa Deka mampu Sukses di hobi yang Deka sukai." Deka bergumam.
Irliana berdiri dari kursi belajarnya. Ibu Irliana yang berada tepat di belakangnya tiba-tiba menghilang lalu smartphone yang di pegangnya juga terjatuh.
Irliana berjalan menuju jendela lalu menatap langit malam berhias bulan.
"Sudah di mulai, ya?" Gumam Irliana.
"P sudah melakukan hal yang mencolok. Sebentar lagi.. Perang akan segera di mulai." Irliana meraba kaca jendela kamarnya.
"Andai saja aku tidak terlibat dengan semua ini atau bahkan kekuatanku ada, mungkin saja kehidupan normal yang aku buat seperti tadi benar-benar ada. Bahkan ibuku sendiri hanyalah buatanku. Andai saja itu benar terjadi. " Irliana terbayang sosok wajah ibunya lalu momen kebersamaan bersama Deka.
Irliana meneteskan air mata. "Aku bingung."
TUNG!
Smartphone Irliana berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Dari LB.
"Bersiaplah I! Kita akan segera bergerak lebih cepat."
Irliana melemparkan smartphone miliknya ke kasur.
"Semua ini gara-gara kau." Irliana alias I mengepalkan tangan kuat-kuat.
...****************...
CING! P menembakan laser cahaya.
TAP!TAP!TAP! Aku menghindar dengan cepat.
Lukaku masih belum pulih. Aku bergerak dengan rasa sakit yang masih terasa.
BUK! Aku memukul P, tapi lagi dan lagi berhasil di tangkis olehnya pun sebaliknya ketika dia mencoba memukulku.
"Nara! Sekarang jam berapa?!" Aku bertanya dengan nada yang tinggi.
"Jam dua pagi! Kita berpacu dengan waktu. Sekolah mungkin tidak akan senang jika kita mati di sini!" Jawab Nara berseru.
"Aku sudah menemukan cara untuk menghentikan menangkal aliran petir biru dan juga mengcounter cahaya!" Tambah Nara berseru.
"Bagus! Bantulah Bora untuk selamatkan Adikku! Dia yang lebih kesulitan saat ini!" Bagas menimpali perkataan Nara.
"Cahaya lebih sulit untuk di hadapi!" Protes Nara dari tribun penonton.
"Tidak apa. Bagas benar! Bantu dulu Bora. Aku akan menghadapi P dengan tanganku sendiri. Jika sudah beres urusan Lala dan malah aku yang belum beres, bantulah aku!" Aku mendukung gagasan Bagas.
"Baiklah kalau begitu!" Nara berlari menuju ke medan pertarungan Bora melawan Lala. Dari saku bajunya, dia mengeluarkan sebuah besi sangat kecil dengan ukuran yang sama.
Itu? Jangan-jangan? OB tahu apa yang akan Nara lakukan.
"Tidak akan aku biarkan kau membantunya!" OB berlari ke arah Nara.
DUK! OB terpental, lebih tepatnya termundur beberapa meter oleh tendangan keras Bagas.
"Ya, ampun! Kau bilang urusan laki-laki harus di selesaikan secara Jantan?" Bagas menatap OB dengan tubuh lebam, wajah bonyok, mimisan dan darah yang mengalir dari dahinya. Bahkan Bagas sudah sempoyongan.
"Lihatlah kau! Meskipun aku mengakuimu, tapi kita sudah bisa melihat siapa yang akan tumbang di sini." Jawab OB. Tubuhnya hanya terlihat beberapa bagian saja yang lebam, sisinya tidak ada.
"Coba saja!" Bagas berseru dengan sekuat tenaga.
Keduanya sama-sama berlari dan kemudian tinju dari kedua belah pihak beradu keras.
"Selagi belum tumbang alangkah baiknya aku harus melampaui batasanku sendiri!" Bagas semakin mengeratkan kepalan tangannya.
CING!
CING! P menembakkan laser cahaya kembali.
"Kau terlalu meremehkan lawanmu!" P menatap dingin kepadaku.
"Kau ingin aku serius? Baiklah kalau itu maumu." Aku melemparkan bebatuan lagi dan mempercepat gerakannya agar memantul cepat seperti sebelumnya.
"Batu lagi? Ini sangat mudah." P bersiap menghancurkan batu-batu yang memantul cepat dengan laser cahayanya.
"Masih belum!" Aku melemparkan besi-besi kecil dan pecahan kaca lalu seperti yang aku lakukan pada batu-batu. keduanya memantul dengan cepat.
"Kau ini sungguh lucu." P tertawa.
"Untuk apa kau melemparkan kaca yang akan hancur jika di saling beradu dengan batu dan besi?" P kembali tertawa.
CING!
PIW!
"Argh!" P menggeram kesakitan dan panas. Sebuah sayatan tajam terlihat merobek pakaian bagian pinggang P. Laser cahayanya mengenai dirinya sendiri.
ini kan? Tidak mungkin. Aku sepertinya terlalu meremehkan teknik yang dia pakai. P menggeram kesakitan.
"Kau terlalu menganggap remeh serpihan kaca. Kau tahu ada titik tertentu ketika mereka memantul bisa menciptakan cermin sempurna yang bisa memantulkan cahaya berkekuatan seperti lasermu itu?" Aku menunjuk otakku.
"Dasar Bodoh!" Aku melihat jijik P.
ZING! P berpindah cepat dengan kemampuan cahayanya dan tiba di belakangku.
"Aku bosan dengan kecepatanmu itu." Aku menoleh ke arah belakang.
TIK!TOK!
BUK! Aku menghantam keras kepala P dari arah belakangnya.
P terjatuh ke tanah dan membuat lubang sedalam semeter kurang.
"Aku memiliki kata-kata yang sempurna sepertinya.. Selamat di kalahkan oleh bocah." Aku nyegir lebar ke arah P. Mengejek.
Posisiku sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Sial! Ka-kau.. Akan aku dapatkan segera kekuatan waktumu itu, bocah!" P berseru keras sembari merasakan kesakitan di bagian kepala dan tubuhnya.