Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dukungan untuk Emily
Pagi harinya, suasana sekolah masih lengang. Mobil Haidar berhenti di area parkir guru, dan Emily buru-buru turun sambil merapikan rok seragamnya. Ia tak menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
"Si Emily... kok keluar dari mobil Pak Haidar?" batin seorang siswi bernama Diva, alisnya terangkat penuh curiga.
Tak mau menyimpan rahasia sendiri, Diva langsung memanggil temannya, Dea, yang tak lain sahabat dekat Disa.
"Eh, gue barusan lihat si Emily keluar dari mobil Pak Haidar," ucap Diva dengan suara pelan namun penuh sensasi.
"Masa, sih?" Dea celingukan, matanya berusaha mencari sosok yang dimaksud.
"Tadi di parkiran. Gue lihat sendiri!" sahut Diva meyakinkan.
Dea menghela napas tak percaya. "Lo serius? Jangan-jangan lo salah lihat."
Arumi, yang sejak tadi menyimak percakapan mereka, langsung ikut penasaran. "Sini, kita cek aja ke parkiran!" ajaknya sambil menarik tangan kedua temannya.
Mereka bertiga melangkah cepat ke arah parkiran, lalu bersembunyi di balik tembok pagar sekolah. Dari sana, mereka bisa melihat jelas Haidar berdiri di samping mobilnya, berbicara dengan Emily. Guru muda itu tampak tenang, sementara Emily menunduk malu, senyum tipis mengembang di bibirnya. Setelah itu, Emily dengan hati-hati menjabat tangan Haidar sebelum berjalan keluar dari parkiran.
Arumi langsung menutup mulutnya, nyaris terpekik. "Gila! Dia sampai salaman segala?" ucapnya lirih dengan nada geram.
"Kayaknya gue nggak salah lihat, deh," bisik Diva, matanya membesar.
"Tuh, buktinya jelas banget."
Dea menatap curiga ke arah Emily yang mulai menghilang di balik koridor sekolah menuju tangga. Ada rasa tak percaya sekaligus iri yang menggelitik hatinya.
"Jangan-jangan mereka... ada apa-apa, ya?" ucap Dea setengah berbisik.
Arumi menghela napas berat, matanya masih mengawasi Haidar yang kembali ke mobilnya untuk mengambil tasnya. "Kalau beneran ada apa-apa, ini bisa heboh satu sekolah."
Ketiganya saling pandang dengan tatapan penuh rahasia, seolah menemukan sesuatu yang akan jadi bahan gosip besar.
***
Bel istirahat berbunyi. Suasana kantin ramai, suara tawa dan obrolan memenuhi udara. Namun di salah satu sudut kantin, bisikan-bisikan mulai beredar, seperti riak kecil yang lama-lama jadi ombak besar.
"Eh, katanya Emily tadi turun dari mobil Pak Haidar."
"Masa, sih? Wah, pantesan dia sering banget dipanggil ke depan kelas."
"Makanya, keliatan banget kan sekarang?"
Bisikan itu menyebar cepat, dari meja ke meja, sampai telinga banyak siswa.
Linda yang sedang duduk bersama gengnya langsung melotot mendengar gosip tersebut. Tangannya mengepal di atas meja.
"Apa-apaan sih dia? Udah cantik sok polos, ternyata—" gumam Linda kesal. Ia berdiri tiba-tiba, membuat teman-temannya terdiam. "Gue nggak bisa diem aja. Dia pikir siapa, deketin Pak Haidar diam-diam!"
Sementara itu, di meja lain, Disa yang juga mendengar gosip serupa langsung tertawa sinis. "Halah, dasar cari perhatian. Baru juga selesai gosip kemarin,sekarang udah macem-macem aja." Teman-temannya ikut cekikikan mendengar cemoohannya.
Linda melangkah cepat ke arah meja Emily yang sedang makan bersama Riska. Wajahnya masam, nada suaranya ketus.
"Emily!" serunya lantang, membuat beberapa siswa menoleh. "Gue cuma mau tanya… apa maksud lo deketin Pak Haidar diam-diam, hah?"
Emily tersentak. Sendok di tangannya hampir jatuh. Riska yang duduk di sampingnya langsung memegang tangan Emily, memberi isyarat untuk tetap tenang.
"Gue… aku nggak ngerti maksud lo, Lin," jawab Emily hati-hati, berusaha tenang.
Linda mendengus. "Nggak ngerti? Semua orang lihat, kok! Lo turun dari mobil dia, salaman segala. Jangan pura-pura polos deh." Suasana kantin langsung hening, semua mata tertuju ke arah mereka.
Disa berdiri ikut bersuara sinis sambil menyilangkan tangan di dada.
"Udah jelas-jelas ketahuan masih aja sok nggak ngerti. Kalau mau nyari perhatian, nggak usah pake guru segala kali, Lily."
Emily menunduk. Jantungnya berdegup kencang, telinganya panas mendengar cemoohan itu. Namun Riska cepat berdiri, menghadang Linda dan Disa.
"Udah ah, nggak usah nyari ribut. Kalian nggak tau apa-apa soal Emily."
Linda melipat tangan di dada, matanya melotot ke arah Emily. "Gue cuma nggak suka dia yang sok-sokan. Lagian Pak Haidar tuh guru kita, bukan temen nongkrong lo."
Bisik-bisik di kantin makin ramai, beberapa siswa mulai merekam diam-diam.
Emily yang sedari tadi menunduk akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya berkilat menahan emosi. Ia menarik napas dalam, lalu bersuara lantang, membuat suasana kantin mendadak hening.
"Untuk apa kalian heboh?" suaranya tegas, membuat Linda dan Disa refleks terdiam.
"Suka-suka gue dong mau dekat sama siapa! Kalian nggak usah kepoin hidup gue!"
Semua orang tercengang mendengar Emily bicara setegas itu. Linda mendecak.
"Eh, lo berani nantangin gue?" katanya, melangkah maju.
Disa menyahut dengan tawa sinis, "Iya, ya ampun, pantesan aja Pak Haidar perhatian. Ternyata berani juga ngomong kayak gitu."
Beberapa teman mereka ikut bersuara, menyudutkan Emily.
"Kalau lo nggak salah, kenapa emosi?"
"Eh iya, biasanya orang salah tuh gitu!"
Suasana kantin semakin ricuh, suara cemoohan bercampur tawa mengejek.
Emily mengepalkan tangan di sisi rok seragamnya. Walau gemetar, dia tetap menatap mereka tajam. "Gue nggak salah. Dan gue nggak perlu pembenaran dari kalian."
Linda semakin kesal dan hendak mendekat lagi, tapi tiba-tiba suara berat dan lantang terdengar memecah suasana.
"UDAH, BERHENTI SEMUA!"
Semua siswa serentak menoleh. Di pintu kantin, ketua kelas, Rendy, berdiri dengan wajah serius. Ia melangkah maju, menatap satu per satu siswa yang ribut.
"Ini sekolah, bukan pasar. Kalau ada masalah, bisa dibicarain baik-baik, bukan kayak gini."
Linda mendengus, "Tapi, Ren—"
"Linda, cukup." Rendy menatapnya tajam. "Kalau kamu ada bukti, silakan bicara ke guru BK. Kalau nggak, berhenti nyebarin gosip yang belum jelas. Itu bisa kena sanksi, tahu nggak?"
Disa yang biasanya vokal langsung terdiam. Teman-temannya mulai menunduk, tak berani bersuara. Suara bisik-bisik kantin mereda.
Rendy melanjutkan dengan nada bijak, suaranya mantap.
"Kita di sini buat belajar, bukan buat ngejatuhin teman sendiri. Emily temen kita. Nggak ada yang boleh dipermalukan kayak gini di depan umum. Kalau kalian terus ributin masalah pribadi orang, jangan salahin kalau gue laporin ke guru dan OSIS."
Suasana kantin makin hening. Linda menggigit bibir, merasa tak berkutik. Disa melirik teman-temannya dan akhirnya memilih mundur, pura-pura acuh.
"Hmph, ya udah, gue nggak mau ribut," gumam Linda ketus sebelum melangkah pergi bersama gengnya. Disa pun ikut meninggalkan kantin dengan wajah masam.
Emily terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. Rendy berbalik menatapnya dan tersenyum lembut.
"Kamu nggak apa-apa, kan? Udah, jangan dipikirin. Orang-orang kayak mereka cuma iri doang."
Riska langsung merangkul Emily dengan tatapan prihatin. "Makanya gue bilang dari awal, jangan terlalu mikirin omongan orang. Liat, sekarang mereka malah malu sendiri."
Emily mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang benar-benar membelanya di tengah kerumunan itu.
***
Di ruang guru, Rendy sudah duduk berhadapan dengan guru BK. Wajahnya tegas, namun ada kekesalan terselip. Sebagai ketua kelas dia tidak ingin menjadi orang yang tidak tanggung jawab walaupun kejadiannya ada di kantin.
“Bu, saya laporin karena takut masalah ini makin besar,” ujar Rendy. “Kalau nggak ditegasin, nanti Emily bisa kena perundungan terus.”
Guru BK, Bu Ratna, mengangguk serius sambil mencatat.
“Terima kasih, Ren. Kamu sudah jadi ketua kelas yang baik. Ibu akan tindaklanjuti. Biar nggak merembet lebih jauh.”
Bu Ratna berdiri, mengambil ponselnya. “Biar ibu kabari Pak Haidar. Dia perlu tahu.”
Tak lama kemudian, ponsel Haidar bergetar di atas meja kerjanya. Pesan singkat dari Bu Ratna membuat wajahnya mengeras. Ia membaca cepat laporan tentang gosip dan keributan di kantin yang menyeret nama istrinya, Emily.
Haidar meraih ponselnya, jari-jarinya mengetik cepat.
"Kamu nggak apa-apa? Aku baru dapat kabar dari Bu Ratna kalau kamu dapat perundungan dari temab kamu."
Beberapa menit kemudian, balasan Emily masuk.
"Aku nggak apa-apa, Pak. Cuma… rasanya capek aja dengar omongan orang. Mereka salah paham."
Haidar menatap layar ponsel itu lama. Hatinya terasa sesak. Ia ingin segera menghampirinya, tapi tahu kalau langkah gegabah hanya akan memperburuk gosip. Ia menarik napas, lalu mengetik pesan panjang.
"Sayang, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Orang selalu cepat menghakimi tanpa mau tahu cerita sebenarnya. Tapi, percayalah… kamu nggak sendirian.
Omongan orang itu cuma angin, nggak akan pernah merubah siapa kamu sebenarnya. Yang penting, kamu tetap jadi dirimu sendiri—kuat, berharga, dan berani.
Dan kalau kamu capek, kamu boleh bersandar ke aku. Karena… mau segaduh apa pun dunia ini, aku tetap di sini, untuk kamu."
Emily menatap pesan itu lama, jantungnya berdegup tak karuan. Ada rasa hangat yang merayap di hatinya, menggantikan cemas dan marah yang sejak tadi menguasainya. Jemarinya bergetar saat membalas.
"Makasih ya, Pak… aku jadi merasa lebih tenang."
Haidar tersenyum kecil di ruang kerjanya. Ia mengetik satu kalimat terakhir.
"Bodo amat aja, Sayang. Kalau aku boleh jujur… senyummu jauh lebih penting daripada gosip mereka."
Emily menutup ponselnya, pipinya merona. Walau dunia luar terasa keras, ada satu orang yang selalu jadi tempat pulang bagi hatinya.
Sementara itu, di ruang guru, suasana terasa serius. Bu Ratna duduk di ujung meja rapat kecil, di sampingnya ada beberapa guru lain yang juga mengajar Emily. Haidar datang dengan langkah mantap, wajahnya serius.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu sebentar," ujar Bu Ratna membuka percakapan. "Saya rasa kita perlu bicara soal Emily. Tadi pagi ada laporan keributan yang menyeret namanya lagi di kantin."
"Keributan di kantin?" tanya Pak Dimas, guru olahraga. "Anak-anak zaman sekarang memang gampang ribut. Tapi… Emily? Biasanya dia bukan tipe yang diam saja."
Bu Ratna menghela napas. "Itu yang bikin saya khawatir. Emily yang sekarang justru kelihatan menarik diri. Padahal dulu… kalian tahu sendiri, anak itu kalau diganggu bisa balas bicara. Sekarang dia cuma diam."
Haidar menatap Bu Ratna dengan sorot penasaran. "Ada perubahan sikap yang drastis?" tanyanya pelan. Haidar memang tidak terlalu tahu karena sejak dia mengajar Emily memang terlihat ceplas-ceplos tapi tetap taat peraturan.
Bu Ratna mengangguk. "Setelah… kasus tes pack itu, sepertinya dia mulai menjaga jarak. Dia tidak banyak bicara, dan saya khawatir gosip baru ini bisa membuat mentalnya semakin drop."
Para guru lain saling pandang. Mereka tahu kabar yang sempat beredar waktu itu, meskipun tidak ada yang berani membicarakannya terang-terangan.
"Jujur saja, saya juga sangat prihatin dengan kasus itu,” ucap Haidar dengan nada tegas tapi tenang. "Tapi satu yang saya tahu, gosip tidak seharusnya membuat anak didik kita jadi korban. Emily butuh perlindungan. Kita harus pastikan dia tidak semakin terpojok."
Pak Dimas menyahut, "Benar, Pak Haidar. Tapi kamu tahu sendiri, anak-anak itu pintar nyari bahan gosip. Kalau kita salah langkah, malah makin ramai."
Haidar mengangguk. "Justru karena itu kita harus hati-hati. Saya akan bicara dengan Emily secara pribadi, memastikan dia merasa aman. Bu Ratna, bisa tolong pantau dia lebih dekat? Kalau ada tanda dia tertekan, saya mau tahu."
Bu Ratna tersenyum tipis. "Tentu, Pak Haidar. Saya juga akan bicara dengan wali kelas lain, guru piket, bahkan satpam sekolah. Kita bisa atur agar Emily nggak sendirian di lingkungan sekolah. Kalau ada yang coba mengusik, kita bisa cepat turun tangan."
"Bagus," balas Haidar, matanya menatap semua guru. "Saya nggak mau ada satu pun murid kita yang merasa sendirian, apalagi sampai trauma. Emily anak yang pintar, saya yakin dia cuma butuh waktu untuk bangkit. Kita bantu dia dengan diam-diam, tanpa membuatnya merasa diawasi berlebihan."
Para guru mengangguk setuju. Suasana rapat itu terasa hangat namun tegas, seperti ada janji bersama untuk melindungi Emily.
Saat rapat bubar, Haidar duduk sebentar di kursinya, menatap kosong ke meja. Ada sesuatu di balik tatapan Emily akhir-akhir ini yang membuat dadanya sesak. Gadis itu terlihat rapuh, dan dia tidak suka melihatnya begitu.
"Sayang…" gumamnya lirih. "Kamu jangan takut. Semua orang bisa melindungimu.”
Haidar tahu, walaupun satu rumah tapi Emily seperti masih menyimpan rahasia.
***
Siang harinya, Haidar sengaja meminta Emily datang ke ruangannya seusai jam pelajaran terakhir. Gadis itu masuk dengan langkah ragu, wajahnya terlihat tegang.
“Duduk, Emily,” ujar Haidar sambil tersenyum tipis. Dia sengaja menyingkirkan tumpukan berkas dari meja agar suasananya lebih santai.
Emily duduk perlahan, menunduk. “Pak… ada apa ya, manggil saya?” tanyanya pelan.
“Tenang, nggak ada yang salah kok.” Haidar bersandar di kursinya, lalu berkata dengan nada lembut, “Aku cuma mau ngobrol sama istri cantikku sebentar.”
Bersambung