Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Esoknya, setelah Aurora tidak lagi merasakan sakit, Skala mengajaknya bertemu seseorang.
Aurora bingung, Skala hanya mengatakan jika mereka akan bertemu seseorang yang sepesial. Maksudnya apa? Apakah dia perempuan? Atau laki-laki? Oh, atau rekan bisnis Skala?
Meski bingung, Aurora tetap diam. Dia menikmati snack nya, sedangkan Skala haya diam mengamati jalanan. Namun tangannya tak berhenti mengelus pinggang ramping istrinya.
"Apakah masih lama?" tanya Aurora.
"Sebentar lagi," jawab Skala. "Kenapa? Ada yang sakit?"
Aurora menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya penasaran kamu ingin membawaku ke mana."
"Kamu akan tau nanti." Skala mengecup puncak kepala Aurora.
Sekarang masih jam 4 sore. Suasana terasa damai, tidak terlalu panas.
Bertepatan dengan camilan Aurora yang habis, mereka sudah tiba di sebuah bangunan dengan gerbang besar dan mewah.
Aurora menelan ludahnya dengan susah payah. Mewah, tapi menyeramkan. Dia merasakan aura negatif hanya dengan melihat gerbang itu. Aneh, namun itu yang dia rasakan.
"Ini tempat apa?" tanyanya pada Skala. Tiba-tiba dia menatap Skala dengan horor. "Kamu ingin menjualku?"
Skala terkekeh kecil. "Mana mungkin? Buang jauh-jauh pikiran negatif mu itu. Ayo, kita turun."
"Tidak mau!" Aurora menjauhkan tubuhnya dari Skala seraya memegangi seatbelt nya dengan erat.
Sebelah alis Skala terangkat. Segitu takutnya kah Aurora? Padahal dia belum tau apa yang ada di dalam sana.
"Aku takut. Apa ini rumah penjahat?" tanya Aurora. Dia melirik takut ke arah gerbang yang sudah terbuka hingga memperlihatkan mansion yang besar. Ia semakin takut ketika banyak penjaga dengan memakai pakaian tertutup, hanya mata mereka yang terlihat.
Ditambah rompi hitam dan juga sebuah pistol yang sepertinya bukan pistol biasa. Demi apapun, Aurora baru kali ini melihat seperti itu. Di mansion keluarga Bramasta saja tidak begini.
"Bukankah kamu percaya padaku?" Skala melepaskan sabuk pengaman Aurora ketika gadisnya terdiam kaku.
"Mereka bukan orang jahat. Percaya padaku, Kitten," lanjutnya dengan suara pelan.
"T–tapi, mereka membawa pistol ...," lirih Aurora.
"Mereka tidak akan menyakitimu. Kita aman di sini. Trust me, hm?" Skala memegang kedua tangan Aurora dan menatap matanya untuk meyakinkan.
Aurora melirik ke luar lagi, lalu kembali pada Skala. Pada akhirnya dia mengangguk kaku. Mereka pun keluar dari mobil dan berjalan menuju mansion. Di depan sudah ada pelayan yang menyambut kedatangan mereka. Skala menggandeng tangan Aurora dengan erat.
Aurora merasa berada di negeri dongeng. Di sekitarnya banyak pengawal yang menjaga mansion dan juga pelayan yang berbaris menyambut kedatangan mereka.
Aku benar-benar menjadi princess? Batinnya hingga tanpa sadar ia tersenyum tipis.
"Selamat datang Nona dan Tuan muda," ucap para pelayan tersebut.
"Terimakasih," balas Aurora reflek. Sedangkan Skala hanya diam menatap lurus dengan tatapan datar.
Setelah sambutan itu selesai, mereka diarahkan menuju ruang tamu yang luas. Aurora sampai menahan decakan kagumnya karena saking mewahnya mansion ini. Dia akui, ini lebih mewah dari mansion keluarga Skala.
Cat cream dan hitam begitu cocok dan nyaman dilihat, dipadukan dengan lampu-lampu menggantung dengan indah dan mewah. Sofa hitam, juga lantai marmer berwarna hitam dengan bercak cream, menambah kesan mewah pada mansion itu.
Berbeda dengan Aurora yang berbinar, mata tajam Skala terus mengawasi sekitar dengan waspada. Dia berada di lingkungan orang yang tidak biasa saat ini, tentu saja ia was-was. Sekalipun ini adalah tempat yang penuh penjagaan.
"Lihat, lampunya indah sekali," bisik Aurora pada suaminya. Detik itu juga sorot mata tajam Skala redup. Dia mengikuti telunjuk mungil yang menunjuk sebuah lampu dinding yang mewah.
"Ya, indah," jawab Skala seadanya.
"Sofanya empuk, ya? Tidak seperti sofa hotel," bisik Aurora lagi dan Skala hanya mengangguk saja.
"Umm ... tapi, di mana pemilik istana ini?" Aurora berbisik lagi.
Ketika Skala hendak menjawab, dua orang paruh baya masuk ke area ruang tamu. Melihat itu, Aurora reflek menegakkan tubuhnya dan bersikap biasa saja, meski matanya menyorot kebingungan.
"Selamat sore, Mr. Benjamin." Skala bangkit dan menyalami Benjamin dengan wajah datarnya.
Melihat Skala berdiri, Aurora langsung ikut berdiri. Dia benar-benar seperti anak kecil yang mengikuti ayahnya.
Lythia yang melihat itu pun tak kuasa menahan rasa gemas nya. Namun, matanya terlihat berkaca-kaca ketika melihat Aurora.
"Terimakasih sudah datang. Kamu menepati janjimu," balas Benjamin. Mereka duduk berhadapan. Aurora pun begitu, dia sedikit merapat pada Skala.
Aura Benjamin begitu kuat, membuat Aurora sedikit takut.
Siapa dia? Tampan, tapi seperti monster. Batin Aurora.
"Dia Aurora?" tanya Lythia pada Skala.
Skala mengangguk. "Ya, Aurora istriku," jawabnya.
Lythia tersenyum haru, dia ingin menghampiri Aurora, tapi Benjamin langsung menahannya.
"Lihat matanya, dia kebingungan. Jangan membuatnya takut," ujar Benjamin membuat Lythia duduk kembali.
Benjamin merasakan jantungnya berdetak kencang ketika melihat Aurora. Selama ini, dia hanya mengawasi Aurora dari kejauhan. Bertahun-tahun dia mencari keberadaan Aurora, dan baru satu tahun lalu ia menemukan keberadaan nya. Mereka beda negara, tentu saja Benjamin sedikit kesulitan mencarinya.
"Putriku ... dia putriku," lirihnya.
Aurora semakin merapatkan dirinya saat Lythia dan Benjamin terus menatapnya.
"A–ada apa, Skala? Kenapa mereka menatapku seperti itu?" bisiknya.
Skala menghela nafas. Dia mengelus pinggang istrinya agar sedikit tenang.
"Aurora, kamu tau siapa kami?" Lythia sudah tidak bisa menahannya.
"Tidak tau, Nyonya. Maaf," ujar Aurora penuh sesal.
Lythia mengangguk maklum. "Ingin tau sebuah fakta?" Dia beranjak dan duduk di samping Aurora. "Fakta yang selama ini keluargamu sembunyikan."
"Apa? F–fakta apa itu?"
Lythia menarik nafasnya lalu ia hembuskan perlahan. "Kamu adalah putriku, putri kami, Sayang. Keluarga yang selama ini merawat mu, mereka bukan keluarga kandung mu."
Jantung Aurora seakan loncat dari tempatnya. Dia menatap mata Lythia berusaha mencari kebohongan, namun ia tidak menemukannya.
Aurora menggeleng pelan. Perasaannya campur aduk, dia bingung antara percaya atau tidak. "Tidak mungkin ... aku—"
Fakta yang benar-benar mengejutkan. Inikah alasan kenapa keluarganya tidak memperlakukan dirinya dengan baik?
Lythia memeluk Aurora dengan lembut. Dia mulai menceritakan semuanya, tanpa terkecuali.
Benjamin adalah seorang mafia, tentu musuh berada di mana-mana. Ketika Lythia melahirkan anak bungsu mereka yang tak lain adalah Aurora, saat itu mansion diserang oleh musuh. Dia memang melahirkan di rumah karena mereka pikir akan lebih aman, tapi nyatanya, musuh tetap nekat dan membuat kekacauan.
Meski sudah dijaga dengan ketat, musuh tetap bisa menyelinap masuk ke kamar dan membantai semua yang ada di dalam sana.
Saat itu ada Lythia beserta tiga saudaranya serta sepuluh penjaga. Sedangkan Benjamin mengurus bagian luar karena memang bagian luar sangat banyak musuh berdatangan. Bukan hanya satu kelompok, melainkan tiga. Mereka bersatu untuk menghancurkan Benjamin.
Dan ya, di kamar, para musuh yang menyelinap membantai semua yang ada di sana. Tiga saudara Lythia dan sepuluh penjaga tidak bisa diselamatkan. Bahkan Lythia sempat mengalami koma selama berbulan-bulan akibat serangan itu.
Sedangkan bayi yang Lythia lahirkan, yakni Aurora, mereka menculik dan salah satu dari mereka pergi untuk membuang Aurora sejauh mungkin.
Lythia dan Benjamin benar-benar terpukul saat itu. Mereka menang, tapi banyak yang gugur, termasuk bayi bungsu mereka yang juga menjadi korban. Awalnya mereka berfikir jika Aurora juga sudah tiada. Namun, lima tahun setelahnya, mereka berhasil menangkap musuh yang membawa kabur Aurora.
Karena terus ditekan, musuh itu akhirnya mengatakan jika Aurora masih hidup. Tapi, ia tidak tau karena memang dirinya hanya membuang Aurora begitu saja.
Setelah mengatakan semuanya, tanpa belas kasih, Benjamin langsung membunuhnya dengan amarah yang memuncak.
Sejak itu Benjamin berusaha mencari keberadaan putrinya. Dia hampir menyerah, tapi hatinya yakin jika suatu saat akan menemukan Aurora. Dan ya, jerih payahnya terbayarkan sekarang. Putri yang selama ini mereka cari, akhirnya telah kembali ke pelukan mereka.
Hidup Aurora sudah berat sebelum tinggal bersama keluarga angkat nya.
Aurora menangis setelah mendengar cerita Lythia. Awalnya dia tidak ingin percaya, namun, saat Skala diam, Aurora jadi sadar jika ini semua bukanlah sandiwara. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada Lythia sambil terus terisak.
Pelukan seorang ibu yang selama ini Aurora harapkan dari Ayuni, sekarang dia telah mendapatkannya di orang yang tepat, yaitu ibu kandungnya.
"Maafkan, Mommy, Sayang. Kamu pasti tersiksa selama ini. I'm sorry, Honey." Lythia mengusap punggung Aurora sembari menangis haru.
Benjamin menunduk, dia mengusap ujung matanya yang mengeluarkan air mata. Dia marah, kecewa, sedih secara bersamaan. Sedih, kenapa baru sekarang ia menemukan Aurora? Ketika tau Aurora tidak diperlakukan baik oleh keluarga angkat nya, Benjamin benar-benar marah.
Tapi, jika bukan mereka yang menemukan Aurora, dia tidak yakin jika Aurora bisa bertahan hidup saat itu.
"Mommy? Mommy nya Rora?" Suara Aurora tersendat-sendat.
"Iya, Sayang. Ini Mommy." Lythia semakin mengeratkan pelukannya.
Tangis Aurora semakin tidak terkendali. Seakan dia sedang mengeluarkan rasa sakit yang selama ini dia pendam. Hanya sebuah pelukan hangat dari ibu, mampu membuat Aurora kacau.
"Tenangkan dirimu, Sayang. Sudah, ya? Jangan menangis lagi..." Lythia menangkup wajah Aurora dan mengusap air mata putrinya.
Skala mengambil air mineral yang ada di meja lalu membantu Aurora untuk minum agar lebih tenang.
20 tahun lebih, mereka baru bertemu sekarang. Siapa yang tidak menangis? Ingin rasanya Aurora mengadu pada kedua orangtuanya apa yang selama ini dia rasakan. Aurora ingin mereka tau betapa kerasnya kehidupannya ketika tinggal bersama keluarga angkat nya.
bersambung...
Rora anak holang kaya 🤑🤑🤑
lanjuuuut