Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
1 bulan kemudian...
Sudah sebulan Arga menjalani hari-hari sebagai suami yang tak dianggap. Rutinitas di rumah besar keluarga Adrian Adinata tetap berjalan seperti biasa. Bagi dunia luar, rumah itu tampak harmonis, tapi di dalamnya, ada hati yang terluka, ada cinta yang terpendam.
Arga hanya bisa memandang Tere dari jauh, mengagumi setiap langkah, setiap senyumnya, setiap ucapannya.
“Ah, aku ini siapa... bahkan memberi nafkah layak saja belum bisa. Aku hanya menumpang... seperti orang yang dipungut di jalan...”
Di sisi lain, Tere justru semakin larut dalam hubungannya dengan Rio. Sering mereka pergi diam-diam, menghabiskan waktu bersama. Bahkan Tere sudah menyewa pengacara, menyiapkan surat perceraian untuk mengakhiri pernikahan yang baginya hanyalah kesalahan masa lalu.
Sementara itu, Papa Adrian dan Mama Linda pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis, sekaligus berharap waktu yang mereka tinggalkan akan mendekatkan Arga dan Tere.
Malam hari, saat Arga pulang kerja
Langit sudah pekat. Angin malam berhembus dingin. Arga duduk dibonceng Jaka di atas motor vespa antik milik Babe Udin.
“Stop dulu, Jak. Aku mau beli martabak buat Mba Tere...” ucap Arga pelan.
Jaka menepikan motor. Mereka memesan martabak, beberapa kotak untuk Tere, untuk pembantu di rumah, dan untuk Babe Udin di kos.
Setelah pesanan siap, mereka melanjutkan perjalanan. Jaka melirik rumah megah yang kini jadi tempat tinggal Arga.
“Gila, Ga... keren banget lu bisa tinggal di rumah sekeren ini...”
Arga tersenyum pahit.
“Jangan gitu, Jak... aku malah merasa numpang di sini...”
Jaka hanya bisa diam. Dia tahu luka sahabatnya. Hanya hatinya heran, kenapa Arga masih bertahan dengan pernikahan ini.
Di depan rumah
Setelah turun, Jaka pamit. Satpam membukakan pintu.
“Selamat malam, Den Arga,” sapa satpam ramah.
Arga menggeleng sambil tersenyum.
“Jangan panggil gitu, Pak. Panggil Arga aja.”
Dia menyerahkan dua kotak martabak.
“Nih Pak, buat dibagi-bagi, ya.”
“Wah, terima kasih banyak, Den!”
Sebelum masuk, Arga bertanya,
“Pak, Nona Tere sudah pulang?”
“Sudah, Den. Tadi sore.”
Di dalam rumah
Arga masuk pelan. Diletakkannya martabak di meja makan. Tangannya gemetar kecil, ada rasa rindu, ada rasa takut.
Dia melangkah ke kamar Tere. Saat di depan pintu, langkahnya terhenti.
Telinganya menangkap suara samar. Tere sedang berbicara di telepon.
Suara Tere lembut, penuh manja.
“Iya sayang... aku juga kangen... Besok kita ketemu lagi ya... Aku nggak betah lama-lama nggak lihat kamu...”
Arga membeku. Matanya mulai berkaca. Hatinya terasa diremas.
“Kenapa aku harus dengar ini... Tapi apa hakku untuk marah... Dia memang nggak pernah anggap aku...”
Tangannya nyaris terangkat mengetuk pintu. Tapi dia urungkan. Dia hanya bisa berdiri, menahan perih yang makin dalam.
Di balik pintu, Arga hanya berdoa
“Ya Allah... kuatkan aku...”
Malam itu, rumah besar itu begitu sunyi. Hanya ada seorang suami yang diam-diam menelan lukanya sendiri.
Arga memberanikan diri masuk kamar. Rasa kecewa dan lelah bercampur menjadi satu.
Langkahnya pelan, matanya menangkap sosok Tere yang duduk santai sambil memainkan ponselnya, seolah tak terjadi apa-apa.
Tak lama, Tere bangkit, berjalan keluar kamar. Mereka berpapasan. Tatapan mata mereka bertemu sekilas — hanya sekilas. Tere buru-buru memutus kontak itu.
Arga menghela napas.
“Sabar, Ga… sabar...” batinnya.
Dia mengambil baju dan handuk, lalu pergi mandi.
setelah selesai melakukan rutinitas nya. arga keluar kamar ia lihat Tere masih fokus pada ponselnya, di ruang keluarga.
Arga beranjak ke belakang, mengambil martabak yang ia beli tadi. Dia mendekat, dengan raut wajah penuh harap namun tetap ragu.
“Mba... ini... aku habis beli martabak sepulang kerja. Mba mau?” suaranya lembut, pelan, seakan takut mengganggu.
Tere menoleh sebentar, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
“Mba capek, ya? Tadi seharian kerja di kantor?” tanya Arga lagi, mencoba mencairkan suasana.
Tak ada jawaban. Sunyi.
Sakit rasanya selalu diabaikan seperti ini.
Perlahan, Arga mengeluarkan amplop dari saku celananya. Amplop gaji pertamanya, masih utuh.
“Mba… aku tahu aku bukan laki-laki yang Mba inginkan. Aku orang desa, aku masih bocah. Tapi... kewajiban aku sebagai suami harus aku jalani. Ini… nafkah aku buat Mba. Mungkin nggak seberapa dibanding uang Mba, tapi tolong terima. Ini tanggung jawab aku di hadapan Allah…”
Tere terdiam. Ponsel di tangannya masih di pegang, dia melihat ke arah arga. Kata-kata Arga barusan seperti menamparnya pelan.
Perlahan ia menggeleng.
“Maaf, Arga… aku lelah dengan semua ini. Aku ingin kita akhiri saja. Aku nggak sanggup. Aku minta maaf… aku nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Rio… dia lebih dulu ada di hatiku, aku tidak ingin menghianati nya. Jujur aku bertahan hanya karena tidak ingin melihat kedua orang tua ku kecewa. Untuk nafkahmu… nggak bisa aku terima. Aku… aku anggap kita memang nggak pernah ada apa-apa…”
Arga diam. Lama.
Ia menatap wajah Tere, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Akhirnya dia tersenyum getir. malam ini dia sadar cinta memang tidak bisa dipaksa.
“Terima kasih, Mba… sudah jujur. Aku sadar sekarang… cinta memang nggak bisa dipaksa. Jujur, Mba… sejak pertama kali aku melihat Mba dan ketemu mba, aku jatuh cinta. Waktu kita menikah, aku bahagia banget. Aku kira… mungkin, suatu hari nanti Mba bisa belajar men cintai aku. Tapi aku salah. Aku malah bikin Mba makin tersiksa dengan hubungan pernikahan ini…”
“Kalau nggak karena kejadian itu… mungkin mba sekarang sudah sama Rio. Maaf… aku yang jadi penghalang.”
Dalam hati arga dia tidak ingin lagi membuat tere semakin menderita, awalnya dia ingin mempertahankan setelah lama meresapi Akhirnya dia harus iklas melepaskan. Di sini tere baru sadar kalau arga benar2 cinta sama dia.
Arga menatap martabak yang dibeli nya.
“Yuk, Mba… kita makan bareng. Anggap aja… ini makan kita yang terakhir bersama.”
Kata-kata itu begitu menusuk dalam di hati Tere. Sakit. Perih.
Arga tersenyum tipis, membuka kotak martabak, lalu menyodorkan satu potong pada Tere.
“Enak, lo… cobain.”
Tere mengambilnya, menggigit kecil. Manis di lidah, tapi getir di hati.
Dan malam itu, hanya martabak sederhana yang jadi saksi dua hati. tapi terjebak takdir yang salah.