Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 18
Bagas menatap Raka dengan mata menyala. “Kamu pikir kamu siapa bisa masuk seenaknya ke rumah orang?!”
“Aku bukan siapa-siapa,” sahut Raka tenang tapi tegas, “tapi aku sebagai manusia berhak untuk marah saat lihat perempuan diperlakukan semena-mena oleh laki-laki yang seharusnya menjaganya.”
Bagas mencibir. “Kamu sok jadi pahlawan, ya?”
“Kalau membela perempuan dari suaminya sendiri disebut sok pahlawan, maka biar aku jadi pahlawan, Bagas.” Raka menatap tajam, suaranya tetap rendah namun penuh tekanan.
Bagas tampak hendak mendekat, tapi Raka lebih dulu mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa dia tidak takut.
“Cukup! Kalau kau masih punya akal sehat, kau lihat sendiri apa yang sudah kau lakukan. Kau dorong istrimu sendiri. Kau hina dia. Kau lupakan siapa yang selama ini bertahan di sampingmu, saat orang lain bahkan sudah tak percaya padamu.”
Bagas membuka mulut, ingin membalas, tapi suaranya tertelan oleh amarah yang tak bisa ia bendung maupun jelaskan. Ia hanya mendengus dan akhirnya berbalik keluar, membanting pintu dengan suara keras yang menggetarkan seluruh ruangan.
Hening.
Raka mendekat perlahan, lalu berlutut di sisi Aruna.
“Ibu...” ucapnya lembut. “Apa Ibu baik-baik saja?”
Aruna hanya mengangguk kecil. Tapi air mata di pipinya bercerita lebih banyak dari apa pun yang bisa ia ucapkan. Raka tak berani menyentuhnya, tapi ia tetap berada di sisi perempuan itu, memberikan kehadiran yang tenang, yang tak menghakimi.
“Maafkan saya... saya tak datang lebih awal,” kata Raka pelan.
Aruna mengusap air matanya dengan punggung tangan. Suaranya serak saat akhirnya bicara, “Aku tak pernah menyangka rumah ini... yang dulu penuh cinta, bisa berubah jadi tempat yang membuatku takut.”
Ia menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup keras oleh Bagas.
“Dulu, aku percaya... cinta bisa menyembuhkan segalanya. Tapi sekarang, aku bahkan tak tahu... apa yang tersisa dari cinta itu.”
Raka menghela napas dalam-dalam, lalu menunduk.
“Kalau Ibu butuh waktu... atau tempat untuk menjauh sejenak... saya akan siapkan semuanya.”
Aruna tak menjawab. Ia hanya diam, tapi dalam diam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihat luka di hatinya.
Setelah beberapa saat diam dalam keheningan yang berat, Aruna menarik napas pelan. Ia bangkit dengan lelah dari lantai.
“Raka... aku mau cuci muka dan merapikan diri dulu,” ucapnya lirih, suaranya masih terdengar serak oleh sisa tangis yang belum benar-benar reda.
Raka segera mengangguk. “Baik, Ibu. Silakan.”
Dengan langkah perlahan, Aruna menuju kamar mandi, meninggalkan jejak ketegangan yang belum sepenuhnya menguap dari udara di dalam rumah.
Raka berdiri. Ia menatap sekeliling ruang tamu, menatap pintu yang tadi bergoyang sedikit akibat benturan keras dari Bagas sebelumnya. Lalu, tanpa ragu, ia berjalan ke arah pintu utama, membukanya lebar.
Ia sadar betul posisinya. Tak ingin ada tetangga atau orang lain yang menaruh curiga atau membuat prasangka atas keberadaannya di rumah seorang perempuan yang bukan keluarganya. Ia duduk di teras depan, menenangkan diri, menjaga jarak.
Langit pagi yang mulai cerah seakan menyaksikan semuanya. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah dan sisa embun dari halaman depan.
Raka menyandarkan punggungnya ke kursi kayu dan menatap ke kejauhan. Tapi pikirannya tertinggal di dalam rumah pada sosok Aruna yang begitu terluka, dan pada keberanian seorang perempuan yang bertahun-tahun memendam luka dalam diam.
Ia menggenggam kedua tangannya erat, berusaha menenangkan gejolak amarah yang tadi sempat hampir meledak.
“Semoga dia kuat,” gumamnya lirih. “Dan kalau dia butuh, aku akan membantunya.
Tak berapa lama, suara langkah lembut terdengar dari dalam rumah. Raka menoleh. Aruna muncul di ambang pintu, kini tampak lebih rapi meski wajahnya masih menyimpan sisa kelelahan batin.
Di tangannya, ia membawa secangkir teh hangat dan sepiring kecil banana cake.
“Aku buat ini kemarin,” ucap Aruna pelan sambil duduk di samping Raka, menyerahkan piring itu ke arahnya. “Banana cake. Favorit suamiku.”
Raka menerima dengan sedikit ragu, tak langsung menyentuhnya. Ia menatap Aruna, menunggu lanjutannya.
“Aku pikir... kalau aku menyambutnya dengan hal yang ia suka, mungkin... semuanya akan sedikit lebih baik,” lanjut Aruna. Suaranya nyaris berbisik. “Tapi ternyata, semua itu nggak ada artinya.”
Ia menunduk, menatap cangkir teh di tangannya. Uap tipis mengepul perlahan, seperti napas yang tertahan.
“Aku pikir... dia masih ingat,” tambahnya. “Masih peduli. Tapi tadi, pagi ini aku sadar... mungkin aku yang masih menggenggam, sementara dia sudah lama melepaskan.”
Raka menggenggam piring di tangannya sedikit lebih erat, menelan rasa simpati yang menyeruak. Tapi ia tetap tenang, menjaga jarak yang pantas.
“Maafkan aku, Ibu... aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa,” ucap Raka. “Tapi satu hal yang pasti... usaha Ibu itu bukan hal kecil. Hanya saja, ada orang yang buta menghargai.”
Aruna menoleh, mata mereka bertemu sejenak. Tak ada senyum di wajahnya, hanya pandangan yang letih dan akhirnya, anggukan kecil.
Ia menyeruput tehnya perlahan, membiarkan kehangatannya meredakan dingin di dadanya.
___
Bagas mengemudikan mobilnya di bawah langit yang mulai beranjak panas. Lajunya tidak terlalu cepat, tapi cukup untuk menghilangkan sisa-sisa emosi yang tadi masih menggumpal di dadanya. Satu tangan di kemudi, satu tangan lagi menggenggam ponsel yang ditempelkan ke telinga.
“Yo, gue ke tempat lo sekarang. Lu di rumah, kan?”
Suara di seberang menjawab santai, “Sini aja. Gue lagi nggak ke mana-mana.”
Beberapa belas menit kemudian, Bagas sudah berada di depan pintu apartemen Rio. Begitu pintu dibuka, aroma khas kopi dan musik jazz pelan menyambutnya. Tempat itu masih seperti biasa rapi, maskulin, dan bebas. Bebas dari ikatan, bebas dari urusan rumah tangga.
Rio, sahabatnya sejak mereka masih magang menjadi fotografer amatir, menyodorkan kaleng bir dingin ke tangan Bagas. “Kelihatan kayak habis perang dunia,” ujarnya, setengah bercanda.
Bagas menjatuhkan tubuhnya di sofa. “Kurang lebih begitu rasanya.”
“Masalah lo sama Aruna lagi?” tanya Rio sambil duduk di seberang, mengangkat satu kakinya ke sandaran kursi.
Bagas hanya mengangguk. Ia mulai menceritakan semuanya bagaimana Aruna marah, bagaimana ia merasa diserang, dan puncaknya, munculnya seorang pria muda peneliti kebun yang tiba-tiba ikut campur saat mereka bertengkar pagi tadi.
“Yang bikin gue makin jengkel, cowok muda itu berani-beraninya nyamperin rumah gue, kayak pahlawan kesiangan.”
Rio mengangkat alis, lalu tertawa pelan. “Ya elah, Gas. Istri lo masih cantik, men. Masih banget. Kalo gue jadi cowok itu, mungkin gue juga bisa kepincut.”
Bagas menoleh, menatap Rio sekilas. “Lo tuh ngomporin apa nguatin?”
Rio hanya nyengir sambil mengangkat bahu. “Bercanda. Tapi serius juga sih. Maksud gue, jangan terlalu ngeremehin keadaan. Lo sibuk, cuek, terus ada orang lain yang hadir di saat istri lo paling butuh didengar... ya siapa tahu.”
Bagas mendengus pelan, lalu meneguk birnya. “Kalau lo sih enak, hidup lo nggak perlu ribet mikirin beginian.”
Rio tersenyum santai. “Makanya gue nggak nikah. Ribetnya lebih banyak dari bonusnya.”
Bagas terdiam. Ia tak akan pernah mengakui, tapi kata-kata Rio itu mulai menusuk di titik-titik sensitif hatinya tempat yang jarang ia sentuh sejak lama.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor