NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

Bukannya Artha tak percaya jika Naira tidak berada di kelas, tetapi saat dia melakukan panggilan telepon untuk ke sekian kalinya, terdengar getaran yang beada di salah satu meja kelas. Walaupun hanya sebuah getaran, tetapi Artha sanggup mendengarnya. Andai ponsel Naira tertinggal, lalu bagaimana gadis itu mengirimkan pesan padanya siang tadi?

Sementara di sisi lain, Julian, Mahesa, Dirga, dan Nizan sedang mencari-cari keberadaan ruang TU. Artha memang keterlaluan. Bagaimana bisa dia menyuruh teman-temannya yang notabane-nya bukan warga sekolah untuk mencuri kunci di ruang TU yang mereka sendiri belum tahu di mana tempatnya.

Setelah mencari-cari ke sana kemari, akhirnya mereka bisa menemukan di mana ruang TU berada.

Julian mengeluarkan kunci motornya. Di sana terselip sebuah benda runcing nan tipis, seperti sebuah jarum, tetapi bergerigi ujungnya. Apa yang dikatakan Artha bukan sekadar bualan. Julian memang jago kalau disuruh membuka kunci pintu manual. Sikapnya yang bandel nyatanya membuat cowok berhidung mancung itu memiliki keahlian membuka kunci walaupun kunci aslinya hilang entah ke mana.

"Bantuin kasih lampu, dong!" Julian menatap mereka bertiga secara bergantian.

"Sini, biar gue aja!" Dirga mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter untuk menerangi kunci pintu ruangan TU.

"Bisa nggak?" tanya Mahesa tak sabar.

"Berisik lo! Julian tampak berkonsentrasi, memutar lubang kunci itu, merasakan pengait mencari-cari letak yang pas. Keningnya tiba-tiba berkeringat. Matanya fokus dengan apa yang sedang dilakukan, sampai suara Nizan mengejutkannya.

"Astaghfirullah!" Nizan berjingkat saat seekor tikus berlari di depannya. Dia teramat terkejut sampai membuat teman-teman yang lain ikut deg degan.

"Astaghfirullah-astaghfirullah! lu kalau nyebut lihat-lihat sikon, dong!" Mahesa menoyor kepala Nizan.

"Memang kenapa? Gue kaget ada tikus tadi." Nizan memberi alasan.

"Ya kali. Lo sekarang di mana?" Mahesa memberi pertanyaan.

“Di sekolah Artha. Lo ngapain bikin pertanyaan bodoh kayak gitu. Semua orang juga tahu."

"Iya, terus ... kita sedang ngapain? Denger pengajian?"

"Pengajian gimana? Kan disuruh Artha nyolong kunci. Ooops!" Saat itu juga Nizan membungkam mulutnya.

"Nah, itu tahu. Masak lo istighfar tapi dalam kondisi nyolong." Mahesa berkata sembari menggelengkan kepala.

Nizan terkekeh. "Ya tobat dulu. Sebelum melakukan kejahatan."

"Berisik kalian berdua!" Julian berkata kesal. Suasana tegang menjadi bising gara-gara pecakapan Nizan dan Mahesa yang tidak penting, membuatnya kesulitan berkonsentrasi.

Setelah beberapa saat menanti, dan berusaha membuka kunci, akhirnya kunci ruangan TU berhasil dibuka.

"Berhasil!" kata Nizan melihat pintu tersebut terbuka. Namun, berbeda dengan Julian. Dia mengucapkan hal lain.

"Sial!" Ketiga pria itu menatap Julian dengan heran.

"Lo kenapa? Bukannya sudah berhasil?" Menggeleng pelan, Julian berkata,

"Kuncinya rusak. Gue ngerusakin rumah kuncinya!"

"Apa?" ucap mereka yang nyaris bersamaan.

"Udah biarin! Sekarang kita nyari kunci kelasnya."

Mereka berempat segera masuk ke ruang TU, menyalakan lampu dan mencari letak kunci itu berada. Cukup lama akhirnya kunci itu ditemukan. Banyak kunci dengan berbagai kode yang ditempelkan pada permukaannyna sebagai petunjuk setiap kunci yang ada.

"Ayo, Artha pasti sudah camas." Dirga berkata setelah mengambil gerombolan kunci tersebut.

"Eh, pintunya gimana?" tanya Julian yang merasa bersalah karena merusak kunci pintu ruang TU.

"Udah, biarin aja. Nanti biar jadi urusan Artha. Kan dia yang nyuruh. Lagian kita juga mesti balikin kunci ini pada tempatnya."

Semuanya setuju untuk menutup biasa saja pintu tersebut. Lalu, dengan langkah terburu-buru keempat cowok itu berlari menuju di mana Artha berada.

"Ini, Ta? Ada tanda-tanda Naira berada enggak?" Dirga mengangsurkan kunci itu pada Artha.

Tanpa menanggapi pertanyaan Dirga, Artha memilih salah satu kunci yang memiliki kode sesuai dengan nama kelasnya. Hanya sebentar saja kunci itu dimasukkan, pintu langsung terbuka. Mencaricari tombol sakelar lampu, suasana kelas berubah jadi terang-benderang. Namun, tiada Naira di sana.

"Tuh, apa gue bilang. Naira enggak ada. Sia-sia kita jadi pencuri!" Julian menghela napas panjang.

Berbeda dengan ekspresi kecewa teman-temannya. Artha justru menyapukan pandangan ke segala penjuru kelas tanpa terkecuali. Baik itu di atas maupun di lantai. Mungkin saja Naira sedang pingsan sehingga tergeletak di bawah. Akan tetapi, sepertinya hasilnya nihil. Naira benar-benar tidak berada di kelas.

Artha berjalan ke belakang, di mana bangku Naira berada. Tubuhnya menunduk, melihat kolong meja Naira. Dan apa yang dia lihat membuat semua terasa jelas.

Tangan berbalut jaket jeans merogoh kolong meja Naira, mendapati tas beserta ponsel Naira yang dayanya tersisa 5 saja. Artha menunjukkan barang temuannya kepada teman-temannya, lalu bibirnya berkata,

"Naira masih berada di sekitar sini!"

"Apa? "

"Kita berpencar!" kata Artha tegas dengan sorot mata menajam. Semua tampak mengangguk menyetujui, mempersiapkan ponsel masing-masing sebagai pencahayaan.

Semua terlihat gelap. Ya, hanya lampu berwarna jingga yang menyinari ruangan itu. Beberapa suarasuara yang sangat mengganggu membuat gadis yang sejak tadi meringkuk merapatkan tubuh ke dinding, sembari menenggelamkan wajah di atas lutut itu menutup telinga rapat-rapat. Dia takut. Kesunyian yang melanda saat ini membuat dirinya ketakutan.

Naira sudah lelah menangis. Sejak tadi berteriak, tak ada satu orang pun yang mau menolongnya. Oh, apakah dia akan terkurung sampai besok? Dia tak bisa berbuat apa-apa di tempat terpencil seperti ini. Menangis juga percuma. Beberapa kali ada serangga lewat di depannya diabaikan saja. Tikus berkeliaran ke sana kemari pun tak dipedulikannya.

Bukan karena Naira pemberani. Melainkan, gadis itu sudah teramat takut, jijik dengan hewan-hewan malam yang sejak tadi berkeliaran, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Menjerit, berteriak, menghindar sudah berulang kali dilakukan. Sampai dia merasa lelah. Memutuskan memeluk tubuhnya sendiri, memejamkan mata dengan sesekali isakan tangis yang terdengar lirih dari bibirnya.

Naira menyayangkan, mengapa teman-temannya begitu tega memperlakukannya begini? Apa sebenarnya salahnya?

Jika kesalahannya adalah sebuah kemiskinan, memang siapa yang mau ditakdirkan menjadi miskin? Semua orang pasti ingin hidup kaya dan bergelimang harta. Namun, jika Tuhan sudah menganjarnya dengan rizki pas-pasan, bukannya kewajiban dia hanya bersyukur dan terus berjuang hidup. Lantas, di mana letak kesalahannya?

Dan bila kesalahannya karena selalu melawan ketika dibully, apakah Naira harus diam saja dengan tindakan teman-temannya itu? Saat dia memberontak, maka semakin gencarlah mereka mencari gara-gara dan membuat masalah.

Naira semakin mengeratkan pelukan pada lututnya yang ditekuk, membenamkan wajahnya di sana. Tiada yang bisa dirinya lakukan saat ini. Hanya dengan cara seperti ini mampu mengurangi rasa takut dan kengerian yang terjadi di sekelilingnya.

Namun, di sisi lain, Artha dan teman-temannya berpencar sembari berteriak memanggil Naira. Dari ujung kelas yang paling depan, sampai ke kelas yang paling ujung. Semua dibuka menggunakan kunci yang dipegang Julian. Pantas saja Artha meminta Julian membobol kunci TU, bukan pintu kelas mereka karena tidak mungkin membobol semua pintu yang ada di setiap kelas. Selain memakan waktu, juga sangat rentan merusak pintu jika tidak hati-hati. Namun kali ini, bukan lagi masalah kunci, melainkan tiada seorang pun di setiap ruangan yang diperiksa sehingga mereka putus asa.

"Ta, sepertinya Naira tidak ada di sini. Apa sebaiknya kira lapor polisi saja?" Julian memberi usulan. Pasalnya mereka mulai lelah dengan mencari di setiap kelas, berteriak ke sana kemari, tetapi tak ada jawaban sama sekali.

"Polisi tidak akan mengurus berita kehilangan sebelum 1x 24 jam." Sekali lagi Artha menghela napas, lalu menatap ketiga temannya yang sudah berkumpul di depannya.

"Pulanglah! Gue bisa nyari Naira sendiri."

"Ta!" Dirga melihat hal berbeda dari sorot mata Artha. Bukan sebuah keterpaksaan dalam mencari Naira sebab perintah orang tuanya, melainkan ketulusan yang sebenarnya. Bahkan, Dirga merasa Artha sendiri tak menyadari itu.

"Lo nggak papa, kan? Tenangin diri lo!"

"Naira tanggung jawab gue. Kalau lo mau balik, silakan! Gue tetep di sini buat nyari dia sendiri!"

Mereka semua saling pandang. Julian pun diam. Tidak menyangka jika Artha begitu peduli pada Naira sampai-sampai rela melakukan semua ini demi menemukan gadis itu.

"Lo cinta sama Naira?" tanya Julian tiba-tiba. Dia merasa tak terima jika ada pria lain yang begitu peduli dengan Naira.

"Kenapa lo peduli banget sama dia?"

"Lebih dari itu." Artha langsung menjawab cepat. "Gue udah nganggep Naira keluarga. Gue nggak akan tinggal diam ngelihat keluarga gue hilang tanpa kabar. Kalau lo mau balik, gue nggak akan ngelarang."

Semua diam. Tak ada yang menjawab perkataan Artha. Sampai tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita.

"Aaaahhhgggh!"

"Naira!" Saat itu juga Artha menoleh ke arah sumber suara. Bukan hanya Artha, keempat temannya pun mendengar suara itu.

"Dari arah belakang gedung sekolah!" kata Dirga menerka arah suara itu.

Artha termenung, berusaha berpikir cepat. Belakang gedung sekolah hanya ada lapangan basket. Tiada kelas yang menghadap ke sana. Tapi ruang ganti, toilet?

"Ya, gue tahu!" ucap Artha kemudian.

"Nai, bertahanlah!"

Artha menyambar kunci dari tangan Dirga, lalu berlari ke arah belakang gedung sekolah. Dalam hati dia berkata,

"Nai, gue dateng. Bertahanlah! Jangan takut!"

Julian, Nizan, Dirga, dan Mahesa turut berlari seraya menyalakan senter yang ada di ponsel masing-masing guna menerangi jalan. Mereka berakhir di sebuah toilet yang menghadap ke arah lapangan, yaitu tepat di belakang gedung sekolah. Toilet laki-laki lampunya dimatikan, sementara toilet wanita tampak menyala.

Artha merasa sedikit lega melihat itu. Dia segera membuka pintu terali besi yang dikunci dari luar, lantas membukanya lebar-lebar. Hening. Tiada suara jeritan seperti tadi. Dirga, Nizan, Mahesa, maupun Julian saling pandang. Apakah mereka salah dengar? Artha maju lebih dulu, masuk ke dalam toilet wanita. Dan di sana terlihat

seorang gadis tengah menekuk kedua kaki, membenamkan wajah di atas lutut dengan tangan memeluk kakinya sendiri.

Mata Artha berkaca-kaca. Helaan napas lega terdengar dari bibirnya. Dia membungkuk, berjongkok di depan gadis itu. Tangannya mengusap kepala pada seseorang yang kini tepat berada di depannya.

"Nai, lo nggak papa, kan?"

Namun, tiada pergerakan dari gadis itu. Pelukan di kaki semakin dieratkan, kepalanya pun tampak semakin ditenggelamkan. Dia ketakutan.

"Nai, Naira! Ini gue, Artha!" Artha mengguncang bahu Naira. Barulah gadis itu berani menengadahkan wajah.

Artha bisa melihat mata sembab Naira. Tampaknya gadis itu menangis sejak tadi. Awalnya Naira hanya menatap Artha, seakan tak percaya. Namun, di detik berikutnya, dia beranjak, menghambur memeluk Artha.

"Artha!" teriaknya sembari memangis, menenggelamkan wajahnya pada dada lelaki itu. Tubuhnya berguncang di sana. Dia takut, benar-benar ketakutan.

Artha membalas pelukan, mengusap-usap punggung Naira, berusaha menenangkan gadis itu. Tiada suara yang terdengar. Hanya ada isak tangis Naira yang ditenggelamkan pada dada bidang lelaki itu.

"Tenanglah! Lo sudah aman. Jangan nangis lagi!" bisik Artha di telinga Naira. Tanpa sadar Artha mencium pucuk kepala Naira, dan itu disaksikan secara langsung oleh Julian.

Dirga yang melihat raut tak senang Julian, menepuk bahu sahabatnya itu.

"Cemburu?" tanya Dirga lirih.

"Makanya, harusnya lo tadi lebih nekad dari Artha. Katanya cinta, nyari gituan aja udah putus asa." Dia sengaja menyindir Julian.

"Siapa yang putus asa? Gue juga bakal nemuin Naira kalau tahu di belakang gedung ini ada toilet," ucap Julian tak terima.

"Alesan!" Dirga menyahut cepat, membuat Julian semakin gondok.

Nizan yang melihat tingkah sahabatnya itu hanya bisa istighfar, lalu nyeletuk aneh.

"Kalau sekarang gue udah boleh istighfar, belum?" Julian menoleh pada Nizan dengan kesal.

"Terserah lo, Aba Nizan. Terserah!" katanya dengan berangsur pergi.

"Hei, gue cuma nanya!" Nizan turut mengikuti Julian.

Sementara itu, Naira masih betah memeluk Artha. Dia lebih tenang dari sebelumnya.

“Hei, ayo, pulang. Lo nggak ada niatan untuk bermalam di sini, kan?"

Punggung tangan Naira menyeka air matanya dengan kasar.

"Nggak lah! Gue mau pulang. Gue nggak mau disini."

Artha terkekeh, merapikan rambut Naira yang tampak acak-acakan. Saat itu juga terdengar suara kerucuk-kerucuk dari perut Naira.

Sambil menahan isak tangis, Naira menunduk malu.

"Gue laper, Ta."

"Kalau gitu, lo makan dulu." Artha beranjak lebih dulu, mengulurkan tangan kepada Naira, membantu gadis itu berdiri. Hawa dingin udara luar menyadarkan Artha untuk meminjamkan jaketnya pada Naira. Dia melepaskan jaket jeansnya lantas memasangkan pada tubuh Naira. Tangannya melingkar pada bahu yang sejak tadi tampak gemetar, lalu mengajaknya pergi dari sana.

"Lain kali kalau ke toliet bawa ponsel. Okey?"

"Heem.' Naira mengangguk. Bibirnya mengulum senyum.

"Makasih lo udah nyariin gue."

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!