••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Menurut &Pertunangan
“Kak... kumohon, jangan lakukan itu,” isaknya. Tangannya meremas ujung dress yang telah kusut “Baiklah, aku akan menurut padamu... Aku akan melakukan apa yang kau mau, tapi jangan sentuh aku. Tolong jangan sentuh aku, Kak! Aku mohon...” Suaranya semakin kecil, tercekik oleh rasa takut yang tak tertahankan.
Arka mendekat, tangannya menyentuh pinggiran ranjang, membingkai tubuh Raya yang terus meringkuk. Wajah pria itu menunduk, mendekatkan pandangannya ke wajah Raya.
“Kenapa, Raya? Lo takut? Di mana keberanian yang Lo tunjukkin sama gue tadi? , kenapa belum apa-apa udah nangis?,” bisiknya dengan nada rendah yang dingin, menggema di kepala Raya. Mata pria itu seperti tak menyisakan ruang untuk simpati.
Raya hanya mengangguk dan menggeleng seolah bingung harus menjawab apa, tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan lagi. Air matanya membasahi pipi, suara isakannya terdengar memohon. Tubuhnya merosot hingga punggungnya menyentuh headbord di belakang nya .
“Tolong, Kak... Jangan lakukan ini... Aku mohon, jangann....” Isak raya yang tidak dapat menyembunyikan rasa takut nya . Namun, Arka justru mengangkat sebelah alisnya, seperti menikmati pemandangan itu.
"Takut sama gue, ya?" tanyanya lagi, nada suaranya berubah menjadi mengejek. Wajah Raya kini menatapnya dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan keputusasaan.
Di saat seperti itu, ruangan terasa semakin sempit. Detak jantung Raya bergema kencang di telinganya, menyelimuti keheningan mencekam yang ada di antara mereka. Arka terus mendekat, tanpa ada sedikit pun niatan untuk mundur. Raya menatap ke arah pintu, berharap keajaiban datang, meski tahu betul sepertinya tak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya.
"Aku mohon, Kak... Jangan kotori tubuhku. Aku hanya memiliki ini di dunia ini. Aku tidak memiliki apa-apa lagi," ujar Raya, suaranya bergetar, sementara air matanya terus mengalir deras, membasahi pipinya. Tatapannya penuh kepasrahan, tetapi tetap ada sedikit keteguhan dalam usahanya melindungi dirinya sendiri. Arka hanya menatapnya dengan seringai kecil yang mengintimidasi.
"Kemari," perintahnya dengan nada lembut, tetapi mengandung ancaman yang terselubung. Suaranya cukup untuk membuat bulu kuduk Raya meremang, tetapi wanita itu tetap bergeming, hanya menggelengkan kepala pelan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Rasa takut telah melumpuhkan seluruh tubuhnya. Melihat Raya yang tak juga menurut, Arka mendesah pelan tetapi penuh arti.
"Gue hitung sampai tiga. Kalau lo nggak ke sini, siap-siap aja, Raya," ancamnya sambil melipat kedua tangannya, menatap wanita itu seperti pemangsa yang bersiap menyerang. Kata-katanya menggantung di udara seperti bilah pedang yang siap jatuh kapan saja.
Raya membeku. Perlakuan Arka beberapa menit yang lalu masih menghantuinya. Ia tahu, pria itu bukan orang yang hanya menggertak. Arka adalah tipe yang akan menepati ancamannya, dan itu membuat ketakutannya semakin memuncak.
"Satu..." suara Arka terdengar berat, namun santai. Ia tahu bahwa hitungannya cukup untuk memaksa Raya menyerah. Raya menggelengkan kepala dengan air mata yang mengalir lebih deras.
"Kak..." bisiknya, hampir tak terdengar.
"Dua..." ujar Arka lagi, kali ini langkahnya perlahan mendekat.
Ketakutan Raya memuncak. Ia menutup matanya rapat-rapat, hatinya bergetar hebat. Dia ingin melawan, tetapi tubuhnya tak mampu bergerak. Dia hanya ingin melindungi satu-satunya kehormatan yang dimilikinya di dunia ini. Dalam hatinya, dia memohon pertolongan, tetapi tak ada yang datang.
"Ti.... "
Sebelum Arka menyelesaikan hitungannya, Raya akhirnya menyerah. Dengan langkah gemetar dan berat, ia mendekat ke arah Arka. Pilihan ini terpaksa ia ambil untuk menghindari hal yang lebih buruk. Mengalah untuk menang, itulah yang dipilihnya. Melihat itu Arka tersenyum puas, karena dirinya merasa telah berhasil mengendalikan Raya.
"Kemari," ulangnya, kali ini menarik tangan Raya dengan kasar hingga wanita itu terhuyung mendekat ke tubuhnya. Cengkraman tangannya pada pergelangan Raya begitu kuat, membuat wanita itu meringis kesakitan.
"Jangan coba-coba nolak keinginan gue, atau lo bakal tahu sendiri akibatnya. Ucapan gue bukan cuma main-main, Raya. Dan lo harus tahu, bukan hal yang nggak mungkin kalau anak gue bakal tumbuh di rahim lo kalau lo terus ngebantah gue," ujarnya dengan tatapan dingin yang menusuk. Raya memandangnya dengan mata penuh ketakutan.
"Jangan..." bisiknya lemah. Suaranya hampir tak keluar, seperti tertahan oleh ketakutan yang semakin mencekiknya. Arka mencengkeram dagunya dengan kuat, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya.
"Gue nggak butuh air mata lo. Jadi berhenti nangis di depan gue!" bentaknya. Ia menarik Raya dengan langkah tegas menuju kamar mandi, menyeretnya seperti boneka tak bernyawa.
"Bersihin wajah lo. Benerin riasan lo. Gue nggak mau keluarga gue tahu kalau lo nangis," perintahnya dengan dingin, menatap pantulan Raya di cermin kamar mandi. Wanita itu hanya bisa menurut, tangan gemetar membersihkan jejak air mata yang mengalir di wajahnya.
Setelah selesai, Arka menarik tangan Raya lagi tanpa banyak bicara. Ia berjalan keluar dari kamar mandi, membenahi penampilannya sendiri dengan santai. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka pintu kamar dan berjalan keluar seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
"Ayo..." ujar Arka dengan nada pelan namun tegas saat pintu kamar itu terbuka lebar.
Raya mengangguk kecil, tak berani menatap Arka lebih lama. Dengan langkah berat, ia mengikuti pria itu keluar dari kamar. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti sandiwara kakak tingkatnya ini. Setidaknya, sampai ia berhasil menjauh dari Arka, semuanya harus tetap berjalan seperti ini. Setelah itu, ia tak peduli lagi.
Ketika mereka tiba di ruang tengah, semua mata langsung tertuju pada mereka. Keluarga Arka terlihat sedang berbincang seolah menghilangkan rasa bosan mereka karena menunggu arka dan Raya kembali.
"Lama sekali kalian. Apa ada masalah?!" tanya sang ibu dengan nada penasaran, dia takut terjadi sesuatu pada mereka berdua.
"Tidak, Mom, Raya sedang datang bulan, jadi dia perlu menyelesaikan urusannya dulu. Oh, ya... Aku hanya ingin Mom dan Dad segera memutuskan hubungan pertunangan ku dengan Gabby. Aku ingin menikah dengan wanita pilihanku sendiri," jawab Arka cepat dengan senyum tipis.
Raya yang duduk di samping Arka hanya menundukkan wajahnya. Ia tidak ingin memancing perhatian lebih dari keluarga Arka. Hatinya bergejolak, tetapi ia tetap diam. Sejauh ini, biarlah Arka yang bermain dengan kebohongannya sendiri. Sang ibu terdiam sejenak, tampak terkejut dengan ucapan putranya. Namun sebelum ia sempat berbicara, sang ayah angkat bicara.
"Semuanya mudah. Tenang saja, Daddy yang akan bicara dengan keluarga Gabby. Tapi, apa kau sudah menyiapkan cincin pertunangannya?" Tanya sang ayah, yang seperti nya sudah setuju dengan keputusan putranya nya itu . Sebagai seorang pria dia juga tidak akan Sudi dan mengizinkan putra satu satunya menikah dengan wanita seperti Gabby. Arka mengangguk sambil menyelipkan tangan ke dalam saku jasnya.
"Iya, Dad, sudah." Dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan sepasang cincin dari kotaknya dan memperlihatkannya pada semua orang di ruangan itu. Cincin itu bersinar di bawah cahaya lampu, seolah menjadi simbol keputusan yang tak bisa diubah.
Raya hanya bisa menatap cincin itu dengan kebingungan. Kapan Arka menyiapkan ini? Apa dia sudah merencanakan semuanya sejak awal? pikirnya, merasa terjebak lebih dalam dalam permainan pria itu. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin memuncak saat suara seorang wanita terdengar menyela.
"Arka... Apa kau tidak bisa mencari wanita lain yang lebih pantas untuk keluarga kita? Memangnya wanita ini memiliki apa sampai kau tergila-gila seperti itu? Kau menjual kehormatan mu pada keponakanku, hah?!" ujar sang bibi dengan nada sinis, matanya melirik Raya dari ujung rambut hingga kaki dengan tatapan merendahkan.
"Adik ipar!, jaga ucapan mu ," tegur ibu Arka, suaranya meninggi. Dia melirik Raya yang tetap menunduk. Bukannya terlihat tersinggung, Raya justru tersenyum kecil. Semakin banyak yang menentangnya, semakin besar peluang rencana Arka untuk gagal. Sedangkan Arka yang sedari tadi diam, akhirnya menatap bibinya dengan tatapan tajam.
"Ini bukan urusan Bibi. Harta keluarga kami sudah cukup banyak. Bahkan jika aku menikah dengan wanita dari kalangan biasa, itu tidak akan berdampak apa-apa bagi keluarga kita," jawab Arka tanoa tahu , sorot mata nya berusaha menyelami bola mata sang bibi, seolah dia berharap dengan hal itu kawan bicaranya akan terintimidasi.
"Arka!" seru ibunya, kali ini dengan nada tegas, mencoba memperingatkan anaknya agar lebih sopan. Meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan adik iparnya tadi, dia tidak ingin putranya kehilangan rasa hormat. Namun Arka mengangkat dagunya sedikit, tidak peduli.
"Mom, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Keluarga kita bukan tipe yang menggilai harta sampai tega mengorbankan kebahagiaan anak-anak mereka hanya demi uang yang bahkan tidak seberapa." Nada bicara Arka dingin, tetapi penuh dengan sindiran tajam yang menusuk.
"Maksudmu apa, Arka?! Kamu menyindir Bibi?" ujar Sarah, wajahnya memerah karena merasa tidak terima dengan ucapan keponakannya barusan. Tatapan matanya tajam, seolah siap menerkam Arka kapan saja. Arka mengangkat dagunya sedikit, menatap tajam ke arah bibinya itu.
"Aku bicara berdasarkan fakta, bukan sindiran. Bibi menjodohkan Faisal dengan wanita itu untuk kebahagiaan kalian sendiri, bukan untuk kebahagiaan Faisal. Bukankah begitu?" Suaranya tenang namun penuh tekanan, seperti pedang yang menghunus tanpa ampun.
"Kau ini tahu apa, Arka? Keluarga kami tidak sembarangan memilih. Kami hanya mencari orang yang cocok untuk bersanding dengan kami. Bukan asal memungut orang dari jalanan seperti yang kau lakukan." Sarah tertawa kecil dengan nada menghina. Ucapan itu membuat Arka mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan amarah yang semakin memuncak.
"Tutup mulutmu, Bibi! Bibi kira bibi ini siapa?! Jangan sekali pun berani menghina calon istriku di depan mataku, atau aku tidak akan segan-segan mempermalukan Bibi di depan semua orang." Bentakan Arka menggema di ruangan itu, membuat suasana semakin tegang.
"Arka, sayang..." Sang ibu mencoba menenangkan putranya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Ia melirik Sarah dengan tatapan meminta agar iparnya itu berhenti memancing emosi Arka. Namun, Sarah tidak mengindahkan peringatan itu, wanita itu terus saja memancing emosi Arka.
"Kenapa kau marah, Arka? Bukannya ucapan Bibi itu benar? Wanita itu tidak jelas asal-usulnya. Tidak punya babat, bebet, dan bobot. Kau pungut wanita seperti itu dan ingin menjadikannya menantu di keluarga Louwis? Apa kau tidak malu?!" Sarah semakin menggebu-gebu, seolah sengaja memprovokasi Arka.
Arka menyipitkan matanya, bibirnya melengkung membentuk seringai penuh penghinaan. Dengan suara dingin, ia berkata.
"Bukankah Bibi sedang bercermin pada masa lalu Bibi sendiri? Bukankah Bibi juga sama seperti Raya? Atau mungkin Raya lebih baik daripada Bibi?" Ruangan itu langsung sunyi. Semua orang terdiam, termasuk Sarah. Wajahnya seketika berubah pucat, seolah baru saja tersambar petir Bibi hanya SAMPAH BEKAS ORANG, yang dipungut oleh Paman dan dijadikan bagian dari keluarga Louwis. Jadi, sebelum merendahkan calon istriku, seharusnya Bibi bercermin dulu. Bukankah Bibi juga tidak lebih berharga dari itu?," Ujar Arka melanjutkan dengan nada yang semakin menusuk, bibir nya menarik garis lengkung seolah begitu puas telah menyentuh titik terendah dari harga diri sang bibi.
Ucapan itu membuat Sarah membeku. Kata-kata Arka menusuk tepat ke dalam hatinya, membongkar masa lalu kelam yang selama ini ia coba tutupi. Ia tahu Arka tidak salah. Dulu, ia hanyalah seorang janda beranak satu, tanpa harta, tanpa nama. Nasib baiklah yang membawanya masuk ke dalam keluarga Louwis melalui pernikahannya dengan paman Arka.
Raya, yang duduk disampingnya hanya menundukkan kepala, mendengarkan semua itu dengan hati campur aduk. Ia tak tahu harus merasa lega karena Arka membelanya, atau justru semakin cemas karena situasi ini semakin rumit.
"Maksudmu apa, Arka? Kenapa kau bisa begitu pada istri Paman?" ujar Paman Arka, suaranya tegang dan bergetar karena tidak terima dengan tindakan Arka yang merendahkan istrinya di depan keluarga.
"Arka benar kan, Paman? Istri Paman ini terlalu ikut campur dengan urusan keluarga ku sampai lupa untuk bercermin pada dirinya sendiri!" Ucapan Arka terlontar dengan penuh kebencian, mengguncang suasana yang sudah panas. Semua mata kini tertuju padanya.
"Arka... diam!" Sang ibu berbicara dengan nada yang tegas, mencoba menahan amarah putranya agar tidak berbicara lebih lanjut. Paman Arka memandang istrinya, yang kini tampak cemas. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Arka, sambil menggeram.
"Ayo pulang, dasar kau, Arka! Lihat saja jika suatu hari nanti kau menyesal dengan pilihanmu itu. Anak tidak tahu sopan santun!" Paman Arka berusaha menjaga kewibawaan, tetapi suaranya tetap mengandung kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Begitu juga dengan bibi Arka yang sudah tidak bisa menahan emosinya berdiri dari tempat duduknya dengan cepat, wajahnya merah padam karena marah.
"Aku tidak ingin tinggal di tempat seperti ini lagi! Ayo pulang, aku tidak mau berlama-lama di sini!" Ia menyeret suaminya untuk segera pergi, langkahnya terburu-buru dan penuh kemarahan.
Orang tua Arka hanya saling ber pandang tanpa berkata-kata. Mereka merasa semakin sulit untuk melerai perdebatan yang semakin panas di antara anggota keluarga mereka. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa, mereka membiarkan adik ipar mereka pergi.
"Turunlah... Jaga cincin itu, jangan sampai hilang!!" Ujar Arka dengan nada yang tegas sembari menatap Raya yang sejak tadi hanya diam, seolah tidak memperhatikan perkataannya.
Setelah kepergian sang bibi, Arka dan Raya saling bertukar cincin di depan orang tua Arka. Hari itu juga mereka resmi bertunangan, meskipun tidak ada acara besar-besaran dari pihak keluarga masing-masing. Semua ini dilakukan dengan mendadak atas keinginan Arka. Raya hanya menurut, tidak ada pilihan lain. Dia tidak ingin membuat situasi semakin rumit, meski hatinya sangat ragu.
Setelah proses tersebut selesai, orang tua Arka langsung menyuruh Arka untuk mengantarkan Raya pulang ke rumah. Arka pun menurut, dan mengantarkan wanita yang sudah resmi menjadi tunangan nya itu .
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang akhirnya mobil yang dikendarai oleh Arka sampai di rumah Raya, Arka membuka pintu mobi dan membiarkan Raya keluar tanpa banyak acara. Raya hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa, dan langsung turun dari mobil Arka tanpa sepatah kata pun.
"Lo gak mau bilang makasih? Gue udah nganterin lo, loh." Arka melihat Raya melengos begitu saja, seolah tidak peduli dengan ucapannya.
"Terimakasih," ujar Raya pelan, tanpa berbalik badan sedikit pun, dan langsung berjalan cepat menuju rumahnya. Kata-kata itu hanya keluar begitu saja, tanpa ekspresi atau emosi. Dia hanya ingin segera sampai di rumah dan melupakan kejadian tadi.
Sesampainya di rumah, Raya langsung masuk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Matanya menatap cincin pertunangannya yang kini terpasang di jari manisnya. Cincin itu mengingatkannya pada keputusan yang tidak pernah dia pilih. Pikiran Raya terasa kacau, dan hatinya tidak tenang. Dia merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang tidak dia inginkan.
Di tengah renungannya, ponsel yang terletak di atas meja dekat televisi berdering. Raya baru teringat bahwa dia meninggalkan ponselnya di rumah. Dengan cepat, dia mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon. Nama Tante Ashanty muncul di layar. Raya terkejut dan sedikit panik.
"Hallo, Tante!!" Ujar Raya, suara terdengar cemas saat panggilan itu tersambung. Dia merasa tidak enak, karena sudah mengabaikan panggilan dari orang yang selama ini memberikannya banyak bantuan.
"Raya, kamu baik-baik saja? Kenapa mengabaikan panggilan Tante?!" Suara Liu terdengar dari seberang telepon, dengan nada khawatir.
"Maaf Tante, tadi pagi ada temanku yang meminta diantar ke rumah temanku yang lain, aku pergi dan meninggalkan ponselku di rumah tanpa sadar." Raya berbicara dengan nada sedikit terbata-bata, merasa bersalah.
"Euhh... Begitu, pantas saja tadi pagi Tante datang ke rumah, tidak ada siapapun. Tante kira terjadi sesuatu yang buruk padamu." Liu tampak sedikit lega, namun tetap ada nada khawatir di suaranya.
"Yaampun, maafkan aku Tante, aku tidak tahu kalau Tante akan berkunjung. Kenapa tidak mengabari aku terlebih dahulu?" Raya merasa sedikit bingung, menyadari betapa cerobohnya dia.
"Tadinya ingin memberikan kejutan untukmu, tapi ternyata kau tidak ada. Tante sudah telpon, tapi tak ada jawaban sama sekali." Liu menjelaskan, tanpa curiga sedikit pun terhadap Raya.
"Sekali lagi, maafkan Raya, Tante. Ouh ya, maaf sebelumnya, Tante ada keperluan apa dengan Raya?" Raya bertanya dengan lembut, mencoba menebak-nebak maksud kedatangan Tante Ashanty.
"Nah, ini dia, yang ingin Tante katakan sedari tadi..." Liu tampak antusias.
"Apa Tante? Katakan saja," Raya merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan Tante Ashanty.
"Malam ini datanglah ke tempat yang Tante siapkan, Tante akan mengenalkan mu pada anak Tante." Liu berkata dengan penuh semangat, membuat Raya semakin bingung.
"Tonight, what with Auntie's daughter? ( *Malam ini, apa dengan putri Tante itu*? )" Tanya Raya penasaran, mencoba mengonfirmasi.
"Not your daughter, but your aunt's son. That's why auntie hopes that you will come to fulfill auntie's invitation. (*Bukan putri, tapi putra Tante. Oleh sebab itu Tante harap kamu sudi untuk datang memenuhi undangan Tante*.) Tante sangat berharap Raya, jadi datanglah." Liu berkata penuh harap, suara di ujung telepon begitu hangat dan meyakinkan.
"Iya, Tante! Raya akan datang. Kira-kira jam berapa Raya harus datang?" Raya menjawab dengan suara lebih ringan, meskipun hatinya masih penuh kekhawatiran.
"Nanti ada sopir Tante yang akan menjemputmu, dan satu lagi, sebentar lagi ada hadiah dari Tante, kamu pakai semua itu ya Raya, jangan lupa." Liu memberikan instruksi dengan suara ceria.
"Baiklah Tante, terimakasih banyak." Raya merasa sedikit lega mendengar suara hangat dari Tante Ashanty, meski masih ada rasa cemas yang membayangi.
"Sama-sama, sayang. Tante tutup ya, teleponnya." Liu mengakhiri percakapan itu dengan lembut.
Raya meletakkan ponselnya di atas sofa dan mulai pergi ke dapur untuk memasak sesuatu. Sejak pagi tadi, dia belum makan apa-apa, dan itu semua karena ulah Arka yang membuatnya terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Jika mengingat kejadian di kamar itu, Raya merasa jijik pada dirinya sendiri.
Dia kembali berpikir tentang orang-orang yang menyebutnya wanita murahan, dan semua itu terjadi karena Arka yang berbuat seenaknya. Namun, apa yang bisa dia lakukan selain menurut dan menerima perlakuan Arka padanya? Saat ini, dia hanya ingin bertahan, berharap bisa segera keluar dari situasi ini.