NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sambel Teri

Suasana hening yang dipaksakan itu hanya bertahan kurang dari tiga menit. "Konsentrasi tingkat dewa" yang diklaim Zoya ternyata hanya bertahan seumur jagung.

​Gadis itu kini sedang menopang dagu dengan ujung pulpen, matanya juling menatap rumus stokiometri di buku paketnya, seolah huruf-huruf itu adalah hieroglif Mesir kuno yang mengandung kutukan yang mematikan. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, kadang manyun, kadang menggembung seperti ikan buntal. 

"Hhh..."

Helaan napas panjang dan dramatis terdengar, 

Bram tidak merespons. Ia tetap pada posisinya, memejamkan mata meski seluruh indranya siaga penuh.

"Hhhhhhh...."

Kali ini lebih panjang, mirip suara ban truk bocor halus.

Bram membuka satu matanya, menatap punggung Zoya dengan jengah. "Jika oksigen di sini habis, saya lempar kamu keluar jendela."

Zoya memutar kursi belajarnya menghadap Bram. Wajahnya ditekuk, memelas jenaka. "Pak, ini Kimia atau ilmu hitam sih? Susah banget! Otak Zoya yang estetik ini rasanya mau meledak. Kayaknya neuron Zoya lagi demo masak di dalem sana."

"Itu karena kamu bodoh," jawab Bram singkat, padat, dan menyakitkan.

"Ih, jahat! Bapak nggak suportif!" Zoya cemberut, lalu tiba-tiba matanya berbinar licik. Ia mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi.

"Oke, gini aja. Zoya bikin challenge buat diri Zoya. Zoya nggak akan beranjak dari kursi ini, nggak akan berhenti belajar, sampai tugas ini selesai..." Zoya memberi jeda dramatis, matanya menyipit menantang Bram. "...KECUALI, ada intervensi ilahi."

Bram mengangkat alisnya yang tebal. "Intervensi ilahi?"

"Iya! Tanda dari alam semesta!" seru Zoya yakin. "Kalau dalam satu menit kedepan, ada yang menyebutkan kata sandi rahasia: 'Sambel Teri', itu artinya alam semesta menyuruh Zoya berhenti belajar dan makan. Tapi kalau nggak ada, Zoya lanjut belajar sampai pingsan."

Bram menatapnya dengan pandangan kosong. Pria itu mendengus remeh. "Challenge konyol macam apa itu? Siapa yang akan meneriakkan menu makanan spesifik seperti itu di jam segini? Probabilitasnya di bawah nol persen."

"Kita lihat saja, Pak Genderuwo. Let the universe speak," tantang Zoya sambil melipat tangan di dada, matanya menatap jam dinding.

Detik merayap.

Tik…

Tok…

Tik…

Hening. Hanya suara angin malam yang menggoyangkan tirai. Bram tersenyum miring penuh kemenangan. Gadis ini akan terjebak dengan buku Kimianya semalaman. Kemenangan logika atas kebodohan.

Tepat saat jarum detik menyentuh angka sebelas, sebuah suara melengking, sekuat sirine peringatan tsunami, membahana dari lantai bawah.

“Non Zoyaaaaa! turun! Ini bibi udah gorengin sambel teri kesukaan Non!!"

Hening.

Waktu seolah berhenti di kamar itu.

​Bram membeku. Mulutnya sedikit terbuka, rahangnya seolah kehilangan engsel. Matanya mengerjap dua kali, mencoba memproses data audio yang baru saja masuk. Apakah barusan itu halusinasi? Atau Bi Inem memang cenayang?

Di kursi belajar, Zoya perlahan-lahan menutup buku paket Kimianya.

Blep.

Suara buku ditutup itu terdengar sangat final dan memuaskan.

Zoya berdiri dengan anggun, seolah baru saja memenangkan Piala Oscar. Ia menoleh pada Bram. Senyum kemenangan yang terbit di wajahnya begitu lebar hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit. 

"Nah!" kata Zoya sambil merentangkan tangan ke arah pintu, mengabaikan fakta bahwa Bram terlihat konyol dengan ekspresi terkejutnya itu. "Alam semesta sudah bersabda, Pak. Siapa lah saya ini, hanya hamba yang lemah, ngga berani menentang panggilan sambel teri."

Ia berjalan menuju pintu kamar dengan langkah ringan, setengah menari. Tepat di ambang pintu, ia menoleh lagi ke arah Bram yang masih dalam posisi shock.

​Zoya menaik-turunkan alisnya dengan tempo cepat, ekspresi paling menyebalkan yang pernah dilihat Bram seumur hidupnya.

"Jangan kangen ya, Pak. Saya mau menunaikan ibadah makan dulu. Bye-bye, Pak Genderuwo yang logis!"

Dan dengan kibasan rambut yang dramatis, Zoya menghilang di balik pintu, meninggalkan tawa renyah yang menjauh di lorong.

Bram ditinggalkan sendirian.

​Ia masih menatap pintu yang kosong itu dengan tatapan kosong yang sama. Otak agen rahasianya yang terbiasa memecahkan kode rumit dan memprediksi pergerakan musuh, mendadak blue screen.

​"Sambel teri..." gumam Bram lirih, suaranya terdengar bodoh di telinganya sendiri. "Yang benar saja..."

​Ia menggelengkan kepala pelan, lalu merebahkan tubuhnya kembali ke bantal, menatap langit-langit kamar. Untuk pertama kalinya dalam karirnya, ia merasa dikalahkan telak.

​Oleh sambel teri.

Namun, penderitaannya belum berakhir. Serangan kedua datang dengan suara menggelegar.

"DEN!! ADEN YANG DI ATAS!" Suara Bi Inem kembali menggelegar, kali ini volumenya dinaikkan dua level, menembus lantai beton dan langsung menghantam gendang telinga Bram.

Bram tersentak hebat. Tubuhnya refleks menegang kaku, tangannya menyentak seolah hendak mencabut pistol. Gerakannya cepat dan mematikan sayangnya, yang ia sambar hanyalah guling pink Hello Kitty milik Zoya.

​Pria itu berakhir dalam pose siap tempur yang sangat tidak estetik: mata melotot tajam, otot menegang, siap mematahkan leher musuh, tapi tangannya sedang mencekik leher guling Hello Kitty berwarna pink dengan ganas.

​Hening satu detik.

​Bram menyadari posisinya. Ia perlahan menurunkan guling itu dengan gerakan patah-patah, lalu berdehem keras-keras untuk menutupi rasa kagetnya. Ia meletakkan guling itu kembali dengan hati-hati, lalu menyisir rambutnya ke belakang dengan jari. Wajahnya kembali datar, dingin, dan angkuh.

​"Suara itu..." desisnya pelan. "Frekuensinya bisa memecahkan kaca anti peluru."

"TURUN SINI DEN! MAKAN BARENG SAMA NON ZOYA!"

"Bii teriak yang kencengan! Orangnya agak budek soalnya!" Terdengar suara Zoya menimpali dari kejauhan, samar namun jelas mengejek. 

​Rahang Bram berkedut. Urat di pelipisnya menonjol.

​Budek?

​Seorang Bram, legenda dunia bawah tanah yang namanya saja bisa membuat para koruptor ngompol di celana, dipanggil 'budek' dan disuruh turun makan oleh asisten rumah tangga?

Bram mematung. 

“Ku kira wanita tua itu berbeda dari gadis cerewet itu, ternyata mereka sama saja. Sama-sama hobi berteriak, hahhh,” Ucapnya frustasi membayangkan satu lagi wanita berisik di rumah itu. 

"DEN! KALO NGGAK TURUN, BIBI ANTERIN KE ATAS NIH SAMA COBEK-COBEKNYA SEKALIAN!" ancam Bi Inem lagi, nadanya terdengar sangat serius dan keibuan, jenis nada yang tidak menerima penolakan.

Perut Bram, pengkhianat terbesar malam ini, tiba-tiba berbunyi kencang. Kruyuuuk.

Aroma sambal teri dan nasi panas yang menggoda iman mulai menyusup masuk lewat celah bawah pintu, melumpuhkan logika dinginnya. Aroma itu... sialnya, sangat menggoda.

Bram menghela napas panjang, sangat panjang, seolah mengeluarkan seluruh beban hidupnya. Ia menyerah. Bukan karena takut pada ancaman cobek Bi Inem, tentu saja. Seorang mafia tidak takut cobek. Ia hanya... perlu asupan nutrisi untuk penyembuhan lukanya. Ya, itu alasan logisnya.

Ia melangkah menuju pintu dengan langkah tegap dan berwibawa. Ia membukanya, dan melangkah keluar dengan aura gelap yang menyelimutinya. Wajahnya keras, matanya tajam menatap tangga seolah tangga itu adalah musuh yang harus ditaklukkan.

"Aku turun bukan karena takut cobek," bisiknya pada diri sendiri, meyakinkan egonya yang terluka saat mulai menuruni anak tangga pertama. "Aku turun murni karena kebutuhan biologis untuk penyembuhan luka, iya hanya karena itu…"

Dengan pembenaran itu, Sang Mafia pun melangkah turun, menyerah pada kekuatan sambal teri.

...***...

"Wah! Ternyata Pak Genderuwo kita nggak budek beneran toh? Selamat datang di pesta Sambel Teri Zoya!" sambut Zoya riang saat Bram muncul di ambang pintu ruang makan.

​Ruang makan sederhana itu kini diisi tiga manusia dengan aura yang bertabrakan: Zoya yang ceria dengan piring menggunung, Bi Inem yang tersenyum keibuan di dekat kompor, dan Bram yang berdiri kaku, membawa aura gelap seolah-olah dia adalah malaikat pencabut nyawa yang salah masuk warteg.

​Bram duduk di kursi, tepat di seberang Zoya. Di depannya, terhidang sepiring nasi putih mengepul, lauk oseng tempe, dan mangkuk kecil berisi Sambel Teri yang terlihat... menggiurkan.

​Zoya sudah mulai menyendok lauk, tapi gerakannya terhenti saat menyadari Bram hanya diam. Pria itu menatap makanannya dengan tatapan kosong namun waspada. Matanya menyipit, memindai setiap butir nasi dan setiap ekor ikan teri kecil itu seolah-olah mereka adalah mikrochip pelacak atau racun sianida. Kebiasaan lama memang sulit hilang; baginya, makanan yang tidak ia siapkan sendiri adalah potensi ancaman.

​"Pak? Kenapa? Bapak lagi telepati sama nasinya?" tanya Zoya sambil memiringkan kepala. "Ayo makan! Sambel Teri nya keburu dingin nanti."

Bram mendengus pelan, matanya masih tajam menatap piring. "Saya sedang memproses fakta bahwa saya akan memakan... 'intervensi ilahimu.' Ini membuat saya tidak berselera."

​"Bapak, sa bisanya ngomong gitu. Itu sama aja penghinaan tau! Alam semesta udah nunjukin keajaibannya, intervensi sekuat ini seharusnya nggak bisa ditolak," cibir Zoya.

​Gadis itu tiba-tiba menyeringai licik. Ia melihat peluang. "Tapi kalau Bapak emang nggak berselera, Zoya ambil aja ya? Nanggung, punya Zoya belum banyak nih."

Gerakan Zoya secepat kilat. Garpunya melayang pelan melintasi batas wilayah meja, mengincar tumpukan teri di piring Bram.

​Namun, gerakan Bram jauh lebih cepat.

Srak!

Bram menarik piring nasinya menjauh dari jangkauan Zoya, ekspresinya sedingin es. "Jangan coba-coba. Saya tidak bilang tidak mau. Saya hanya sedang... beradaptasi."

​"Dih! Pelit! Katanya nggak berselera?" Zoya cemberut, menyandarkan dagunya ke meja dengan kesal.

"Sana ambil sendiri di dapur, Non. Itu jatah Den Bram," tegur Bi Inem dengan nada damai, sambil meletakkan sepoci teh hangat di meja.

​"Dengar itu," desis Bram tajam. "Jangan tamak. Jangan ganggu nutrisi penyembuhan luka saya."

Tanpa menunggu lagi, Bram menyendok nasi dan teri itu ke mulutnya. Ia mengunyah perlahan, siap memuntahkannya jika ada rasa aneh. Namun, matanya sedikit melebar.

​Sial. Enak sekali.

Zoya yang melihat reaksi mikro di wajah kaku Bram langsung tertawa nyaring. "Enak kan?! Hahaha! Sok-soan nggak berselera, taunya doyan!"

Di sela-sela tawa Zoya dan kunyahan Bram yang mencoba tetap terlihat bermartabat, Bi Inem membuka suara.

​"Non Zoya," panggil Bi Inem.

​"Iya, Bi?" sahut Zoya. 

"Tadi ada telepon dari wali kelas Non. Katanya... Non Zoya dihukum bersihin toilet sekolah lagi? Kok bisa sih, Non? Padahal kan Non Zoya anak pinter, manis…”

"Nah! Itu dia, Bi!" Zoya langsung meletakkan sendoknya keras-keras, semangat 45 nya kembali menyala. "Itu semua gara-gara dua mak lampir, Ines sama Ela! Mereka tuh fitnah Zoya! Masa Zoya dituduh ngunciin mereka di WC? Padahal kan pintunya emang rusak! Terus mereka ngadu ke Pak Badri, guru Fisika yang nyebelin itu!"

Zoya bercerita dengan berapi-api, tangannya menari-nari di udara memeragakan adegan kejar-kejaran tadi pagi. Beberapa butir nasi nyaris muncrat (untung reflek Bram bagus untuk menghindar).

Bram makan dalam diam, tapi telinganya merekam setiap informasi. Ines. Ela. Badri. Nama-nama asing yang baru di dengarnya. 

"Tapi, Bi..." Lanjut Zoya, matanya mendadak melotot ke arah Bram. Telunjuknya menuding lurus ke hidung mancung pria itu. "Hukuman Zoya makin parah gara-gara DIA!"

Bram tersedak pelan. Ia menatap Zoya tajam. "Saya?"

​"Iya! Bapak!" seru Zoya kesal. "Gara-gara Bapak ngomong di walkie-talkie pas pelajaran! Suara Bapak yang 'serek-serek becek' kayak di film horor itu kedengeran satu kelas! Malu banget Zoya, Pak! Zoya dikira bawa om-om di dalem tas!"

Bi Inem tertawa kecil. "Walah... Den Bram toh biang keroknya?"

Bram hanya mendengus, kembali menyuap nasi. Masa bodoh.

"Tapi untungnya..." Suara Zoya tiba-tiba berubah lembut, 180 derajat berbeda. Matanya berbinar-binar seperti tokoh komik romantis. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipi. "Untungnya ada Pak Radit…”

Gerakan mengunyah Bram terhenti lagi. Pria itu menoleh ke arah Zoya dengan tatapan jengah. Pria itu lagi.

​"Siapa itu, Non?" tanya Bi Inem penasaran.

​"Itu wali kelas baru Zoya, Bi! Gantengnyaaaa... Masya Allah!" Zoya mendesah kagum, matanya menerawang ke langit-langit. "Dia tuh tinggi, putih, wangi, pinter, lulusan luar negeri! Dia nyelametin Zoya dari Pak Badri, terus nganterin Zoya pulang naik mobil yang joknya empuk banget! Beda banget sama..." Zoya melirik sinis ke Bram. "...Sama bapak-bapak galak yang hobinya bikin kesel."

"​Namanya Pak Radit, Bi. Raditya Pradana. Duh, pokoknya dia malaikat tanpa sayap deh!”

Bram merasakan sedikit rasa tidak nyaman di dadanya. Bukan, bukan cemburu. Tentu saja bukan. Mungkin sambalnya terlalu pedas.

"Guru genit," gumam Bram pelan, nyaris tak terdengar.

​Telinga Zoya yang tajam menangkapnya. "Bapak ngomong apa?!"

​"Tidak ada," jawab Bram datar.

Zoya kembali ngoceh, melanjutkan puji-pujiannya untuk Pak Radit. Namun, di tengah hiruk-pikuk cerita Zoya, insting Bram mendadak menjerit.

Bulu kuduk di tengkuknya berdiri. Sensasi dingin merambat di punggungnya. Sensasi yang sangat ia kenali setelah bertahun-tahun hidup di dunia hitam: Seseorang sedang mengawasi.

Bram meletakkan sendoknya perlahan. Matanya tidak lagi melihat ke Zoya, melainkan menyapu ke arah jendela ruang makan yang gordennya sedikit terbuka.

Gelap gulita di luar sana. Tapi bagi Bram, kegelapan itu menyembunyikan mata.

"Pak? Kenapa? Sambelnya abis?" tanya Zoya bingung melihat perubahan sikap Bram yang tiba-tiba menjadi kaku.

Ia pura-pura batuk kecil. "Saya haus."

​"Dih, manja. Ambil sendiri lah," celetuk Zoya, tidak sadar situasi.

Bram berjalan santai menuju dapur yang terhubung ke pintu belakang. Langkahnya tenang, namun setiap otot di tubuhnya siaga penuh. Sesampainya di dapur, ia tidak mengambil air. Ia menyelinap ke sisi pintu, menempelkan punggungnya ke dinding, lalu dengan gerakan kilat membuka pintu belakang dan melangkah keluar.

​Hening.

Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan pohon mangga. Bram memindai taman belakang, semak-semak, hingga area tembok samping dengan mata elangnya. 

Tidak ada gerakan. Tidak ada suara langkah kaki yang aneh. Tidak ada kilatan lensa teropong. Pintu gerbang juga tertutup rapat

Bram menarik napas dalam-dalam, mencoba menangkap aroma asing selain wangi tanah basah dan... aroma sambal teri yang menyengat dari dalam rumah.

Nihil.

​Mustahil. Aku yakin ada yang mengawasi.

Tapi Bram jarang salah. Instingnya tidak pernah berbohong. Ia yakin, seratus persen yakin, tadi ada tatapan yang mengarah ke meja makan mereka.

Bram menyipitkan mata, rahangnya mengeras. Ia kembali masuk, mengunci pintu, dan berjalan kembali ke ruang makan. Wajahnya kembali dipasang datar, menyembunyikan kewaspadaan yang kini melonjak ke level siaga satu.

​"Pak? Udah minumnya?" tanya Zoya polos saat Bram duduk kembali.

"Sudah," jawab Bram singkat. Ia kembali mengangkat sendoknya, tapi pikirannya tidak lagi pada makanan.

Ada yang tahu aku di sini? Atau... mereka mengincar gadis ini?

Sementara di dalam rumah Zoya kembali tertawa menceritakan lelucon garing, di luar sana, jauh di balik kerimbunan pohon besar dI seberang jalan, sebuah bayangan hitam perlahan mundur, menyatu dengan pekatnya malam, lalu menghilang tanpa suara.

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!