NovelToon NovelToon
Lesson After Class

Lesson After Class

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Gadis nakal / Dosen / Diam-Diam Cinta / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: SweetMoon2025

Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.

Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.

Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.

Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.

Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Telepon yang Mengubah Segalanya

​Ponsel di saku jaket Yuri terus bergetar. Widya yang baru selesai dengan urusan administrasi, akhirnya mengecek, siapa yang dari tadi menghubungi sahabatnya ini.

​"Bang Ezra" gumamnya, keningnya berkerut bingung.

​"Ah, mungkin bahas buletin," monolognya lirih sambil mengembalikan ponsel itu ke dalam saku jaket Yuri.

Tante Diah sudah pamit, sepuluh menit lalu. Jam kerjanya sudah selesai, dan ia harus pulang karena kakaknya—orang tua Widya—sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi Widya, anaknya di rumahnya.

“Wid, tante duluan ya. Kalau Yuri sudah sadar, kamu langsung pulang. Bengkaknya nggak parah kok ini, seminggu juga baikan.” Tante Diah menepuk pundak Widya sebelum pergi. Pesannya tadi.

Getaran ponsel Yuri belum juga berhenti, hampir satu jam. Widya mencoba mengabaikan, sampai pikiran itu muncul: apa ada yang penting?

“Yuri, maaf ya. Gue angkat dulu,” bisiknya, lalu berjalan ke kursi tunggu UGD yang sepi. Ia menekan tombol hijau.

“Lo di mana? Kenapa pergi gitu aja?” suara laki-laki diseberang sana langsung terdengar jelas—khawatir, dan Widya spontan terkejut.

“Halo?”

“Ini nomor Yuri, kan? Lo siapa?” Ezra bertanya cepat, jelas ini bukan suara Yuri.

“Ehm… gue Widya, Bang, sahabatnya Yuri.”

“Yuri mana?” nada Ezra semakin nggak sabaran.

“Dia lagi tidur.”

“Tidur? Oh ya sudah kalau gitu—”

Saat Ezra akan menutup panggilan, Widya buru-buru bicara.

“Ada apa ya, Bang? Penting?”

“Oh… nggak kok.”

Widya menggigit bibir. Isa nggak bisa datang saat ini karena masih ada rapat organisasi. Sedangkan disatu sisi orang tuanya juga sedang dalam perjalanan. Hanya Ezra yang mungkin bisa menemani.

“Bang… lo mau ke sini nggak?”

“Kemana?”

“Rumah Sakit Perwira.”

***

Begitu telepon ditutup, Ezra langsung terpaku. Kata-kata Widya menancap di kepalanya: “Yuri di rumah sakit.” Dadanya serasa ditarik kuat-kuat. Ia berdiri mendadak, hampir menjatuhkan kunci mobil di meja. Napasnya mendadak berat, pikirannya kacau—campuran marah, takut, dan penyesalan.

Kenapa dia bisa sampai sakit? Kenapa pergi tanpa bilang?

Ezra meraih jaketnya dengan gerakan terburu-buru, tangannya sedikit gemetar. Wajah Yuri yang tadi siang masih tersenyum tiba-tiba muncul di kepalanya, membuat dadanya makin sesak.

“Tunggu gue, Hana,” gumamnya, sebelum berlari keluar dan tancap gas menuju rumah sakit.

“Maaf ya, Bang. Gue harus balik sekarang. Nitip temen gue ya.” Widya melirik botol infus Yuri yang tinggal sedikit.

“Oh ya Bang… Yuri belum makan,” tambahnya sebelum pergi.

Kini, seseorang yang sejak tadi berkelibat di pikirannya sedang tertidur pulas di depannya.

“Hah…” Ezra mengembuskan napas kasar melihat perban di kaki Yuri. Widya sempat bercerita singkat bagaimana mereka bisa sampai UGD.

“Maaf,” hanya itu yang bisa ia ucapkan sambil menggenggam tangan Yuri.

Pikirannya langsung mengarah pada satu nama: Tania. Ezra tadi melihat Tania dan gengnya keluar dari toilet belakang gedung. Dia kira mereka hanya ke toilet seperti orang normal biasanya. Tapi ternyata firasatnya benar, sayang dia terlambat untuk bergerak.

Tania—satu-satunya perempuan yang nggak bisa dia tegur baik-baik. Sudah berapa mahasiswi yang dia takuti dan lukai. Ezra sudah sering menegur, bahkan mengancam akan melaporkannya. Tapi namanya juga obsesi.

Cinta? Ezra yakin Tania nggak benar-benar cinta. Itu hanya obsesi yang sudah dua tahun menghantuinya.

“Ergh…” rintihan kecil membuat Ezra terbangun dari posisi tidurnya di kursi samping ranjang.

“Hana?” panggilnya khawatir.

Kepala Yuri terasa ditusuk-tusuk, perutnya melilit. Ia tahu persis: ini tanggal dia mau datang bulan. Ditambah kakinya sakit dan belum makan, tubuhnya benar-benar lemas. Semua bercampur jadi satu.

“Hmmm…” Yuri masih linglung, matanya belum terbuka.

“Hana,” panggil Ezra lagi, mengusap tangannya pelan.

Perlahan Yuri membuka mata, mendengar panggilan nama yang hanya Ezra gunakan. Ia suka, tapi ia tidak berani berharap. Apalagi ia sudah memutuskan menjauh dari Ezra — ia nggak mau babak belur oleh asmara.

“Widya mana?”

“Oh, temen lo. Tadi dia balik, nitipin lo ke gue. Gimana kondisi lo sekarang?”

“Pusing sama lapar dikit…” lirihnya.

“Ini, makan dulu. Gue beliin bubur ayam di kantin RS.” Ezra membantu Yuri duduk bersandar.

“Gue makan sendiri aja.”

“Nggak apa-apa gue suapin. Aaaa…”

Yuri pasrah. Badannya terlalu lemas untuk membantah. Ia membuka mulut kecil, Ezra menyuapinya perlahan. Setengah mangkuk sudah habis.

“Udah.”

“Satu lagi, aa…” Yuri menuruti meski tubuhnya rasanya remuk semua.

Ezra lalu memberikan air mineral dan obat.

“Mau pulang…”

“Iya, kita pulang sekarang.” Ezra mengusap kepala Yuri sebelum memanggil dokter untuk pengecekan.

***

“Bang, mampir minimarket depan itu,” pinta Yuri saat baru masuk mobil. Minimarket masih di area rumah sakit.

“Oke.”

Ezra mengarahkan mobil ke parkiran. Yuri melepas sabuk pengamannya.

“Mau ke mana? Duduk sini. Mau beli apa? Bilang saja sama gue,” ucap Ezra sambil memakaikan seatbelt-nya lagi.

“Nggak, gue aja. Ini urusan cewek.”

“Bilang saja. Lo mau beli apa?”

“Pembalut,” ucap Yuri cepat dalam satu tarikan napas.

Ezra terdiam. Kaget. Seumur hidup, dia nggak pernah beli barang itu. Tengkuknya mendadak gatal, bingung luar biasa.

“Tuh kan… Sudah gue saja. Gue mau keluar,” Yuri mencoba membuka kunci pintu.

“Nggak. Gue aja. Kasih lihat mereknya.” Ezra memberikan ponselnya.

Yuri nurut saja, jarinya langsung mengetik cepat, menunjukkan jenis dan merek tertentu.

“Yang ini, yang ada sayapnya. Gambarnya kayak gini. Kalau nggak ada, beli yang ini. Sebungkus aja.”

Ketika Yuri hendak memberikan kartu pembayaran, Ezra langsung menolak.

“Ngapain ngasih gue kartu. Tunggu sini. Kalau butuh apa-apa, chat saja, ya.” Ezra turun dan masuk minimarket.

Selesai memilih beberapa barang Ezra berdiri di depan kasir dengan dua keranjang belanja. Deg-degan? Jelas. Apalagi saat mbak kasir mengambil satu bungkus pembalut dan menatapnya cepat, lalu menatap lagi… lebih lama.

“Ehm… ini semua, Mas?” tanyanya, senyum menahan tawa.

Ezra mengangguk kaku. “Iya. Kenapa?”

“Nggak apa-apa… care banget ya, masnya.” Tatapan mbaknya berubah jadi sedikit menggoda.

Wajah Ezra memanas. “Bukan—maksudnya—buat cewek gue… dia nitip tadi.”

Mbak kasir cuma mengangguk pelan, senyumnya semakin lebar.

Ezra memalingkan wajah, please, cepatan selesai. Dalam hati: Hana, kalau bukan lo, nggak bakal gue rela beli beginian.

Lima belas menit kemudian, Ezra kembali membawa dua tas belanja. Dia sengaja beli yang lain nggak cuma pembalut, ia membeli stok tisu, tisu basah, kantong kompres, roti, biskuit, susu sampai coklat.

Ia membuka pintu mobil dan mendapati Yuri tertidur lagi—mungkin efek obat.

Ezra mengemudi menuju rumahnya. Malam Minggu, jalanan cukup ramai. Sampai halaman rumah, Yuri masih pulas. Ezra memindahkan barang terlebih dahulu, lalu mengangkat Yuri masuk. Ia nggak mungkin membiarkan Yuri tinggal sendirian di kos dalam kondisi begini.

Saat Yuri terbangun di dalam pelukan Ezra, ia bergumam lirih,

“Bang Ez… kenapa gue dibawa ke rumah lo?”

1
Tinta Kental
hm....... menarik....
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: ditunggu komen-komen lainnya 🤗😘
total 3 replies
Siti Musyarofah
jiwa misquenku meronta😭
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: sabar ya kak. yang nulis pun sama 🤣🤭
total 1 replies
Bengkoang Studio
Anjaaay, 'Pesona dozen muda.' 😌
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: anda berisik ya... kasih hadiahnya kaka 🤣🤣🤣
total 1 replies
Vanilla Ice Creamm
hola.... nice see you again 😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: Hallo Miss Ice Cream 🥰❤️
total 1 replies
WidBy
waduh, jangan macem2 Ez
WidBy
Lanjut thor
WidBy
wih muncul cwo baru nih
WidBy
siapa ya?
WidBy
Hayoloh, Pak Kenan
WidBy
lanjut...
WidBy
seru
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: Makasih ya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!