Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Reuni dan Gelombang Rindu
(Serafim)
Karena besok aku akan bertemu dengan teman-teman kampusku, malam ini aku menunggu Zephyr pulang meskipun larut. Aku tertidur karena mengantuk, dan dalam lelapku aku merasakan sentuhan hangat menempel di keningku.
Aku membuka mata dan melihat suamiku menatapku. Aku menyambutnya dengan ciuman kecil, ciuman yang selalu kurindukan entah untuk alasan apa. Setiap hari aku merindukannya.
Meskipun ruangan remang, aku bisa melihat jelas wajah lelahnya. Ada sesuatu di matanya yang seperti ingin ia sampaikan, tapi ia tahan sendiri. Mungkin karena ia harus membagi waktu antara aku, bisnis, dan urusan politiknya.
Ia mencubit lembut pipiku.
“Mau ngobrol soal apa?”
Ia duduk di sampingku, merangkul tubuhku. Aku bersandar di dadanya.
“Soal kita…”
Aku kemudian naik ke pangkuannya, tanganku melingkar di lehernya.
“Sayang, sekarang kau sibuk sekali… apa boleh aku memelihara kucing?”
Matanya langsung berbinar.
“Kucing?”
Aku mengangguk pelan.
Ia pura-pura berpikir, lalu tersenyum lebar.
“Tentu saja boleh.”
Aku memeluknya erat dan berterima kasih. Zephyr mengangkat tubuhku menuju kamar kami, dan malam itu kami berbicara panjang sambil melepaskan rindu dalam kehangatan yang tak pernah berubah.
Fajar pun sudah bersinar. Zephyr masih tertidur ketika aku bangun. Setelah mandi, aku mencium pipinya dan meninggalkan catatan kecil berserta segelas jus lemon.
Teruntuk suamiku:
Tadi pagi aku sudah mencium pipimu.
Aku juga sudah membuatkan sarapan.
Tolong makan agar ia tidak menangis.
Love.
Aku sudah meminta Bibi Naureen menyiapkan makan siang untuknya sebelum aku pergi. Setelah mengeluarkan mobil dari garasi, aku meluncur menuju tempat reuni.
Teman-temanku sudah menunggu di pelabuhan, dan kami naik ke kapal pesiar untuk berlibur. Saat ingin snorkeling, tiba-tiba seseorang dengan suara berat menyapaku.
“Hai Fim, sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Aku menoleh.
Shane Theodore.
Pria yang dulu kusukai diam-diam, tanpa pernah berani mendekatinya.
“Hai Shane, apa kabar? Aku tadi tidak melihatmu.”
“Aku tadi berangkat bersama Kapten,” jawabnya santai.
Teman-teman kami menghampiri.
“Fim, dia pemilik kapal ini? Jadi kita tidak perlu membayar sewa kapal pesiar ini?”
Aku menutup mulutku karena kagum.
“Astaga, serius kau sudah sesukses ini?”
Shane hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Fim, kau mau snorkeling denganku?”
“Tentu,” jawabku bersemangat.
Ia menggenggam tanganku. Kami terjun ke laut bersama beberapa teman lain. Pemandangan Pulau Rhenora begitu indah, ikan warna-warni, terumbu karang yang hidup, dan arus yang lembut. Shane membimbingku selama di sana. Setelah puas, ia menarikku ke atas, dan kami tertawa bersama.
Aku pamit untuk mandi. Setelah bersih, aku mengenakan dress maxi kuning, topi pantai krem, dan sandal tanpa hak. Saat sedang makan bersama, Shane duduk di sampingku, menawarkan anggur, tapi aku menolaknya sopan.
Tak lama, perutku terasa tidak enak. Aku berlari ke wastafel dan memuntahkan semuanya. Ruby memijat pundakku, dan Shane datang membawa minyak angin yang segera dioleskan Ruby.
“Kau pasti belum sarapan,” ucapnya.
Aku jongkok, mual dan pusing.
“Sepertinya aku mabuk laut…”
Shane memberikan selimut. Saat ia hendak memelukku, aku menolak.
“Maaf, Shane… aku hanya ingin berbaring.”
“Baik. Tidurlah. Aku akan menjagamu.”
Aku tertidur sekitar empat puluh delapan menit. Sekarang aku justru merindukan suamiku.
Aku menelpon rumah diam-diam.
“Bibi Naureen, jawab pelan. Jangan sampai Zephyr tahu aku menelpon.”
“Iya, Nona Fim. Ada yang bisa saya bantu?”
“Suamiku sedang apa?”
“Pak Zephyr kebetulan tidak di rumah.”
“Oh, Baiklah... Besok tolong buatkan ramuan jahe dan bubur sinara untukku.”
Bibi Naureen langsung panik.
“Nona Fim sakit?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
Malamnya Shane datang membawa bubur dan ramuan jahe madu.
“Shane… bagaimana kau tahu? Kau mendengarku bicara tadi?”
Ia tersenyum lembut.
“Iya. Aku khawatir kondisimu memburuk. Kebetulan koki di sini punya semua bahannya. Ayok makan.”
Aku memakannya, rasanya hangat. Aneh, tapi aku tidak merasa selelah tadi.
(Zephyr)
Saat Serafim berlibur, aku pergi menziarahi makam orang tua dan kakakku di pegunungan. Tempat itu tenang, dengan pemandangan luas yang menenangkan pikiranku.
Telepon dari Louis memecah keheningan.
“Cepatlah ke sini. Temani aku dan Ayah main biliar.”
Aku menyetujui. Dalam perjalanan, udara segar menenangkan dadaku; aku bahkan bisa mencium aroma manis kayu dari hutan sekitar.
Beberapa jam kemudian aku tiba di rumah mertuaku. Pak Edwin dan Louis sedang bermain biliar. Mereka menoleh saat aku datang.
Louis berseru,
“Wah, menantu Ayah sudah datang.”
Pak Edwin melambaikan tangan.
“Kemari, Phyr.”
Louis menyerahkan stik biliar.
“Ayo bermain.”
Sodokanku pertama meleset.
“Tidak apa-apa,” kata Pak Edwin sambil menepuk punggungku.
Aku mencoba lagi, kali ini masuk.
Louis tertawa sinis.
“Sehebat apa pun dirimu, kau tetap butuh dukungan kami, Phyr.”
“Jangan sampai mundur lagi. Kau sudah sempat berhenti karena ayahmu meninggal dan ibumu sakit.”
Sambil menyodok bola Ayahnya bertanya.
“Pra-kampanyemu bagaimana?"
"Dengan gelar S1/S2 International Business dan Political Economy dari Aldervine University, Velmora, orang -orang pasti akan memilihmu.”
Aku terdiam.
“Tapi… putrimu tidak pernah ingin suaminya menjadi pejabat.”
Louis hampir mendekat sambil menatap tajam, tapi Ayahnya menahan.
“Kalau kau menggagalkan rencana kita—”
Aku membanting stik ke lantai.
“Apa? Kau ingin membuat adikmu janda? Lakukan sesukamu, Louis.”
Aku pamit dengan sopan pada Pak Edwin, lalu berjalan keluar. Louis masih menimpali.
“Phyr, kau tahu ke mana istrimu berlibur? Kau tahu dengan siapa? Ada pria yang dia sukai juga di sana.”
Pak Edwin menegurnya.
“Louis, diam.”
Aku tidak menjawab. Hanya diam, lalu pergi melewati halaman rumah yang penuh deretan kaktus.
Sebelum masuk mobil, aku sempat ingin menelpon Serafim, tetapi kutahan. Ada hal lain yang lebih mengganggu, kepala staf keamanan di rumah mengabari bahwa ia menemukan jejak baru mengenai kematian ibuku.
Dan semua itu mulai menggelap di kepalaku.
Bersambung…