Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Cahaya Baru
Burung-burung mulai berkicau di pepohonan kecil di tepi ladang, sementara matahari pagi menembus kabut tipis, menciptakan cahaya hangat yang menyelimuti desa.
Di halaman belakang rumah batu reyotnya, Zhao Liyun berdiri di atas tanah yang mulai menghitam dan basah. Pandangannya tertuju pada kebun kecil yang ia tanam beberapa minggu lalu. Lobak, wortel, dan daun bawang mulai muncul dengan daun muda yang hijau segar, memberi kehidupan baru di tanah yang semula gersang.
Liyun tersenyum tipis. Panen pertama ini bukan sekadar makanan, tetapi simbol kemandirian yang ia perjuangkan. Setiap benih yang tumbuh adalah bukti bahwa ia mampu mengubah nasibnya sendiri, bukan lagi menjadi cannon fodder yang menunggu nasib tragis.
Liyun mulai memanen lobak kecilnya dengan hati-hati, memastikan tidak merusak akar atau daun yang masih muda. Ia menaruh hasil panen ke dalam keranjang kecil, mencium aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi sayuran segar.
“Hari ini, aku punya makanan untuk beberapa hari ke depan… dan itu hasil kerja tanganku sendiri,” gumamnya, hatinya hangat meski udara musim semi masih dingin.
Beberapa anak desa, penasaran dengan aktivitas Liyun, datang mengintip dari pagar rumah mereka. Mata mereka bersinar saat melihat sayuran yang tumbuh dari tangan Liyun.
“Liyun… apa kau menanam ini sendiri?” tanya seorang anak laki-laki kecil dengan mata penuh kekaguman.
Liyun mengangguk sambil tersenyum. “Ya, ini hasil kerjaku. Kalau kalian mau, nanti aku akan ajarkan cara menanamnya juga.”
Anak-anak itu bersorak kecil, membuat Liyun tersenyum lebih lebar. Ia menyadari bahwa panen kecil ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga tentang bagaimana ia mulai membangun pengaruh positif di lingkungan sekitarnya.
Setelah memanen sayuran, Liyun membawa beberapa di antaranya ke dapur kolektif. Ia mulai menyiapkan hidangan sederhana: sup sayuran dengan lobak dan daun bawang segar, serta roti kukus yang empuk. Aroma masakan itu segera menyebar ke seluruh dapur, menarik perhatian ibu-ibu desa yang sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Kau membuat roti ini begitu empuk… dan supnya… harum sekali,” kata seorang ibu dengan mata terbelalak, sambil mengambil mangkuk kecil.
Penduduk desa lain mulai berdatangan, mencicipi masakan Liyun. Mereka tersenyum, berbicara satu sama lain dengan nada kagum. Beberapa bahkan bertanya tentang resepnya, ingin belajar membuat roti dan sup seperti yang Liyun buat.
Liyun menunduk, merasa hangat di dalam hati. Rasa percaya diri yang sebelumnya samar kini tumbuh semakin kuat. Ia tidak hanya bertahan hidup, tetapi mulai diterima dan dihargai oleh orang-orang di sekitarnya.
Perubahan ini mulai memengaruhi dinamika sosial di desa. Gosip tentang tuduhan Madam Zhao perlahan memudar, digantikan rasa kagum dan penasaran terhadap keterampilan Liyun. Beberapa ibu desa bahkan mulai membantu Liyun di dapur kolektif, belajar cara membuat roti kukus yang lebih empuk dan sabun sederhana dari abu dan minyak sisa.
Wu Shengli tetap diam-diam membantu Liyun. Ia memastikan bahan tersedia, membantu memindahkan kayu bakar, dan memberikan dukungan moral. Kehadirannya kini semakin terasa penting, bukan hanya sebagai sekutu, tetapi juga sebagai teman yang dapat diandalkan dalam setiap langkah.
Sementara itu, hubungan Liyun dengan Lin Xiaomei dan Chen Weiguo mulai mengalami perubahan halus. Xiaomei yang sebelumnya cemburu dan curiga, mulai memperhatikan Liyun dengan rasa ingin tahu yang berbeda. Ia melihat bahwa Liyun bukan ancaman, tetapi gadis yang gigih dan cerdas.
Chen Weiguo, di sisi lain, mulai merasa bingung dengan perasaan yang muncul. Ia menatap Liyun dari kejauhan, menyadari bahwa gadis itu memiliki pengaruh baru di desa dan kemampuan untuk menarik perhatian dengan caranya sendiri, tanpa mengandalkan plot cerita yang tertulis.
Liyun memperhatikan perubahan ini, tetapi tetap menjaga jarak. Ia tahu, setiap langkah harus diperhitungkan, karena interaksi mereka bisa memengaruhi alur hidupnya.
Di sore hari, setelah semua pekerjaan selesai, Liyun duduk di halaman belakang, memandangi kebun kecilnya. Matahari mulai tenggelam di balik bukit, menciptakan cahaya oranye yang hangat. Ia menarik napas panjang, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sejak tertelan ke dunia ini.
“Ini pertama kalinya aku merasa hidupku berbeda… benar-benar berbeda dari plot asli,” gumamnya. “Aku bisa makan dengan layak, punya teman yang bisa dipercaya, dan bahkan membuat orang lain kagum pada apa yang aku lakukan.”
Di malam hari, ketika lampu minyak berkelap-kelip di dalam rumah, Liyun duduk sambil menulis catatan harian. Ia mencatat jumlah bahan, panen pertama, dan interaksi dengan penduduk desa. Setiap kata yang ditulisnya menjadi bukti bahwa ia kini mengendalikan alur hidupnya sendiri.
Wu Shengli duduk di sampingnya, diam-diam membantu menyiapkan peralatan untuk besok. Tanpa kata-kata banyak, kehadirannya memberikan rasa aman dan hangat bagi Liyun. Ia tersenyum tipis, menatap pemuda itu. Hubungan mereka kini semakin erat, tetapi tetap berjalan dengan ritme yang alami, tanpa tekanan atau paksaan.