Takdir yang tak bisa dielakkan, Khanza dengan ikhlas menikah dengan pria yang menodai dirinya. Dia berharap, pria itu akan berubah, terus bertahan karena ada wanita tua yang begitu dia kasihani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Berhenti Merokok
Bu Ijah pergi ke penjara sendiri untuk membesuk Tanan, sementara Khanza langsung pergi ke Khanza Tailor, tempat usahanya.
Tanan keluar dari ruangan dan bertemu ibunya di ruang besuk. Sang Ibu mengeluarkan rantang makanan, menyelipkan uang dan rokok.
Bu Ijah tersenyum melihat Tanan jauh lebih rapi dari sebelumnya, rambutnya dipangkas pendek, mengingat dirinya pada suaminya di masa muda. Tangan keriput wanita tua itu mengelus lembut wajah dan rambut Tanan.
Biasanya, laki-laki itu akan menepis tangan tua itu, namun kali ini dia memejamkan mata dan menikmati belaian itu.
"Ibu, apa kabar?" tanyanya sambil menatap lembut sang ibu dan menyentuh tangan keriput yang membelai wajahnya.
Sang Ibu tersenyum senang. Dia agak terkejut karena tidak ditepis oleh Tanan tangannya. "Ibu Alhamdulillah baik, tidak perlu khawatir, kamu baik-baik di sini ya, semoga hukuman kamu di ringankan, diperpendek waktu masa tahanannya. Ibu akan usahakan cari uang denda untuk pembebasan kamu."
"Ibu." Tanan memeluk sang ibu. "Maaf, Aku selalu merepotkan ibu, bahkan untuk keluar dari penjara ini, ibu harus mengumpulkan uang. Ibu pasti lembur kan mengupas bawang dan lainnya?"
Bu Ijah memeluk erat Tanan, mengelus punggung anak semata wayangnya itu. "Tidak apa-apa Sayang. Yang penting kamu sehat dan nanti bebas. Ingat, kamu ada istri dan akan segera punya anak loh."
Tanan jadi teringat gadis cantik yang menjenguknya waktu itu.
"Kemarin di USG jenis kelamin anak kalian perempuan. Semoga kehamilan Khanza sehat selalu, ibu jadi cemas, dia rajin sekali bekerja. Dulu, ibu waktu hamil kamu sensitif sekali, ngak bisa kerja, ibu bedrest." Cerita Bu Ijah mengenang dirinya hamil dulu.
Tanan hanya tertunduk. Dia benar-benar tersadar setelah beberapa bulan di penjara ini, dia telah menyia-nyiakan kasih sayang Ibunya, seharusnya wanita tua ini dia lindungi dan di jaga, di rawat, tapi sampai detik ini dia masih merepotkan ibunya.
"Ibu, maafkan aku." Tanan kembali memegang tangan ibunya. Menangis.
"Iya, Nak. Ibu sudah memaafkan kamu dari lama. Sekarang kamu harus baik-baik di sini ya. Harus sembuh dari obat-obatan terlarang, jangan sampai coba-coba lagi Nak. Kamu memiliki tanggung jawab yang lebih besar setelah ini. Anak kamu perempuan. Harus di jaga dengan baik kelak."
Tak bisa berlama-lama di ruang besuk. Bu Ijah sudah diperingatkan oleh penjaga penjara. Tanan kembali memeluk ibunya sebelum mereka berpisah. Tanan membawa makanan yang diberikan Ijah, membagi sedikit uang dan semua rokok di bagi-bagi Tanan kepada teman sesama sel, agar berdamai saja dengan mereka yang merasa sok senior itu.
Beberapa hari ini, Tanan sudah berjanji pada dirinya sendiri. Dia tidak akan merokok lagi. Itu adalah cara agar kemudian hari saat keluar dari penjara dia tidak terpengaruh ganja atau sabu-sabu lagi.
"Tanan, kau yakin memberikan semua rokok ini pada kami?" tanya teman bertato di dalam sel itu, beberapa waktu lalu, laki-laki ini sangat arogan.
"Iya Bang, ambil dan bagi-bagi saja. Aku ingin mencoba berhenti merokok, semoga saja, agar bisa berhenti sepenuhnya nanti dari ngisap barang terlarang itu!" jawab Tanan.
"Hahaha! Kau yakin benar-benar berubah? Aku kok Nggak yakin!" Salah satu di antara yang lain menyahut dengan tertawa.
"Lagi berusaha dan mencoba Bang. Istriku lagi hamil, kalau aku masih kecanduan, gimana nasib anakku nanti," balas Tanan.
Mereka terdiam sejenak. Ya, ada yang sudah menikah, ada yang belum menikah tapi ada anak, ada yang benar-benar belum punya anak.
"Ya, kau benar. Semoga bisa konsisten. Kalau aku, sudah tidak bisa menahan, mau mati rasanya!"
"Iya, memang rasanya mau mati Bang. Lihat tanganku ini!" Tanan menunjukkan pergelangan tangannya. "Bukankah Abang lihat sendiri waktu itu, awal aku masuk bui ini? Aku sempat mengigit nadiku ingin menghisapnya. Akal sehatku menghilang," ujar Tanan.
Mereka saling termenung. Ya, mereka semuanya juga begitu. Dan lebih membagongkan, mereka tetap bisa memakai dan membeli barang itu di penjara dengan cara licik.
Awalnya, Tanan sempat di ajak. Ingin, tapi ragu. Entah do'a ibu atau istrinya, entah do'a siapa yang menolong hatinya, atau dirinya yang memang dapat hidayah. Akhirnya, hatinya benar-benar tegas untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya itu.
Teringat olehnya wajah cantik Khanza, teringat tangisan Ibunya, teringat ceramah ustadz yang setiap hari Rabu dan Jum'at memberikan nasehat. Sehingga pikirannya terbuka, hatinya tersentuh.
"Aku sedang berusaha Bang, semoga aku bisa jauh dan tidak mencoba lagi." Tanan tersenyum.
"Semangat," kata mereka. Lalu kelompok di pojok sana merokok, bahkan diam-diam mencampur rokok itu dengan mengisi tembakau ganja.
Tanan memilih diam saja, tak ingin melapor, karena ada sebagian polisi lah dalangnya. Dia memilih membaca Al-Qur'an saja dengan suara pelan di sudut.
"Tanan, makanan ini untuk kami semua?" Salah satu di antara mereka bertanya.
Tanan menghentikan mengaji sejenak, lalu menyahut, "Iya, Bang, bagi-bagi saja. Bagian aku, sudah aku sisihkan, ini." Tanan menunjukkan satu kotak kecil di sampingnya. "Makan saja bang ramai-ramai. Itu buatan ibuku, di bawah juga ada cemilan itu dari pulut dan pisang."
Mereka membuka tempat makanan itu.
"Ibumu memang baik, ini makanan yang paling dirindukan. Ibuku dulu juga membuatkan makanan waktu aku kecil." Salah satu diantara mereka tampak melamun, mengenang masa lalunya.
"Sudah, nanti kau menangis meratap!" Teman yang duduk di sampingnya menepuk pundaknya.
"Ya. Ayo kita makan!"
Sementara itu, Khanza tampak sibuk di tokonya. Walaupun ada karyawan, namun untuk langganan tetap dan langganan tertentu hanya mau di layani oleh Khanza.
"Dekat bagian lehernya dibuat seperti ini bisa Khanza?" Seorang ibu dengan gaya elegan memperlihatkan gambar di ponselnya. "Ini Tante lihat di aplikasi tok, banyak model begini."
Khanza melihat secara detail. "Insyaallah bisa Tante. Bisa aku minta fotonya."
"Boleh." Dia mengirim foto itu pada Khanza.
Lalu memegang model baju lain. "Kalau ini untuk seumuran Tante bisa Khanza?" tanyanya.
"Bisa, tapi modelnya begini. Kalau yang seperti di patung ini, ini model anak remaja. Heheh," jelas Khanza terkekeh kecil.
"Iya, Tante make nampak ketek juga gak pede. Bagian tangannya gelembung bunga gitu bisa nggak? Trus ditambahi pecahan kilauan gitu, bisa?"
Khanza tampak berpikir sejenak, lalu membuka ponselnya. "Maksudnya tante, kilauan seperti ini?"
"Benar, benar!" Wanita itu tampak semangat. "Tapi, lengannya nggak kayak gini, gelembung kayak baju princes. Tau?" Dia menatap Khanza.
Akhirnya Khanza menggeser gambar-gambar di ponselnya. "Kayak gini Tante?" tanya Khanza.
"Nah, benar. Kalau kayak gini, berapa biayanya dan berapa lama selesai?"
"Kalau ditambah kilau seperti yang Tante maksud, agak mahal, kita harus beli perhiasan dulu, di pecah dan dibentuk dulu, jahitnya manual ini, waktunya juga agak lama. Lebih dari 14 harian ini," jawab Khanza.
"Oh, enggak apa-apa. Nah, yang ini saja di dulu kan ya, baru ini."
"Baik, Tante."