Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5.
Waktu pun berlalu. Matahari sudah agak tinggi, sinarnya menyorot tajam menembus celah jendela loji besar yang tidak berdebu. Namun, entah mengapa, kini hawa di dalam rumah besar milik Tuan Menir itu terasa lembap dan dingin seperti pagi buta.
Di dapur belakang, Mbok Piyah sibuk menyiapkan anglo kecil. Arang sudah menyala, asap kemenyan mulai mengepul perlahan, menggumpal di udara, meninggalkan aroma pekat kemenyan. Di atas tampah kecil, bunga mawar, melati, kenanga, dan cempaka disusun dengan rapi seperti hendak menyambut sesuatu yang bukan dari dunia ini.
Dengan tangan gemetar, Mbok Piyah melangkah perlahan menuju kamar Nyi Kodasih. Lantai tegel warna kelabu di sepanjang lorong berderit pelan setiap kali dipijak, seperti mengaduh.
Di dalam kamar, Nyi Kodasih duduk lemas di tepi ranjang. Tatapan matanya kosong, menatap lurus ke dinding seakan melihat sesuatu yang tak tampak oleh orang lain. Wajahnya pucat, dan di pangkuannya tergeletak selembar surat. Tinta hitamnya sudah mulai luntur terkena keringat dingin yang membasahi tangannya. Surat dari Tuan Menir.
“Nyi, apa lagi yang harus disiapkan?” tanya Mbok Piyah, berdiri canggung di ambang pintu sambil menatap Kodasih.
“Aku juga tidak tahu, Mbok...” Kodasih menjawab pelan, suaranya hampir seperti bisikan. “Kita tunggu saja Mbah Jati…”
Mbok Piyah mengangguk perlahan. “Kalau begitu, saya ke dapur dulu menyiapkan minuman dan makanan, siapa tahu Nyi nanti lapar.”
Ia meletakkan anglo kecil dan tampah berisi bunga ke lantai kamar, lalu segera keluar. Tapi baru saja melangkah ke lorong lagi, perasaan tak enak kembali menghampiri.
Loji itu… terasa lain.
Masih pagi, tapi lorong sudah terasa seperti senja. Suara burung di kebun belakang mendadak lenyap. Udara terasa tebal, seperti sedang mengendap sesuatu yang buruk. Langkah Mbok Piyah melambat saat melewati ruang tengah.
Dan di sanalah ia mencium itu lagi.
Aroma cerutu. Tajam dan familiar. Aroma yang hanya ada kalau Tuan Menir sedang duduk membaca koran di kursi kulit kesayangannya.
Padahal Tuan Menir... sudah meninggal kemarin sore.
Mbok Piyah berhenti. Tenggorokannya tercekat. Saat kedua matanya menatap ke arah sudut ruang tengah.
Di tempat itu, yang remang-remang karena tirai belum dibuka sepenuhnya, ia merasa ada sesuatu. Sosok. Duduk. Menatapnya. Tak jelas, hanya bayangan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri satu per satu.
Langkahnya menjadi gugup. Ia mempercepat jalannya meninggalkan ruang tengah, melewati ruang makan.. lalu melangkah di lorong agak panjang menuju ke dapur. Tapi sebelum sampai, dari belakangnya terdengar bunyi...
"Tuk... Tuk... Tuk..."
Seperti bunyi sepatu kulit yang melangkah di atas lantai tegel kelabu. Perlahan. Berat.
Mbok Piyah membeku di tempat. Nafasnya tercekat.
Ia menoleh.
Kosong.
Tapi aroma cerutu itu masih ada... lebih kuat... dan kini bercampur bau tanah basah.
“Pak... Di... Nah.... Yem..” teriak Mbok Piyah memanggil siapa saja orang orang pegawai di loji Tuan Menir itu.
Seorang perempuan muda yang kurus memakai kain batik lusuh, dengan punggung terbuka seperti Mbok Piyah, datang dari dapur karena suara teriakan Mbok Piyah.
“Mbok! Gusti... kenapa, Mbok? Sakit?” teriak Tiyem nama perempuan itu berjalan tergopoh gopoh menghampiri Mbok Piyah yang wajahnya pucat pasi. Tiyem masih memegang tampah berisi daun pisang yang tadi hendak dipakai bungkus nasi ransum para mandor kebun kopi.
Mbok Piyah menunjuk arah yang baru saja dilewati. Wajahnya masih pucat pasi.
“Aku nyium itu lagi, Yem... bau cerutu... sama tanah basah...” katanya terbata.
Yem menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Mbok Piyah . Sinar matahari pagi sebenarnya sudah menembus dari sela-sela jendela loji, tapi di ruang itu seperti tetap gelap. Tidak seperti biasa nya. Udara juga mendadak dingin.
“Ah, mungkin perasaan Mbok Piyah saja. Bau tanah basah dari luar, Mbok. Kan semalam hujan, tanah masih basah,” ujar Tiyem berusaha menenangkan. Tapi matanya sendiri tak lepas dari ruang itu. Dia pun sudah mendengar kabar Tuan Menir dihukum mati dan menjadi hantu.
Mbok Piyah menggeleng. “Kau tahu, Yem... bau itu bukan dari luar. Dari dalam seperti tadi malam saat aku lewat. Dan baru saja aku mendengar suara langkah kaki bersepatu. Tapi aku menoleh kosong tak ada apa apa..
Tiyem terdiam. Udara pagi yang biasanya segar kini terasa lembab. Bulu kuduknya perlahan berdiri. Dia mengambil nafas dalam dalam, berdoa lalu menoleh ke arah Mbok Piyah yang masih gemetaran .
“Ya sudah Mbok, kita berdoa pada Gusti.. semoga Tuan Menir tenang di alamnya.. dan kita tidak kehilangan pekerjaan.. Kita tunggu Mbah Jati.. “ ucap Tiyem sambil menggandeng tangan Mbok Piyah diajak melangkah ke dapur pelan pelan.
🌸🌸🌸
Siang harinya, Mbah Jati telah datang bersama Pak Karto, Kang Pono, dan Arjo.
Laki-laki tua yang mengenakan baju sorjan dan kain batik lereng sogan itu tampak tenang. Wajahnya keriput, namun matanya tajam dan dalam, seperti menyimpan banyak rahasia masa lalu. Di jari manisnya melingkar sebuah cincin akik berwarna kehitaman yang memantulkan kilau aneh saat terkena cahaya matahari. Sebilah keris pusaka dengan warangka kayu cendana, yang dikenal sebagai aji pengandel, terselip rapi di pinggangnya, diselubungi kain mori tipis.
Pak Karto mempersilahkan Mbah Jati masuk ke dalam loji besar itu. Sementara dia akan memanggilkan Nyi Kodasih.
“Ayo, Jo. Kita pulang saja. Sepertinya Kodasih tidak mau pergi dari loji ini,” bisik Kang Pono, nada suaranya dipenuhi kekecewaan dan sedikit rasa takut.
“Nanti dulu, Kang,” jawab Arjo lirih, matanya tak lepas dari sosok Mbah Jati. “Kita lihat dulu bagaimana Mbah Jati melakukan pengusiran arwah Tuan Menir.”
Tidak lama kemudian Pak Karto datang sambil membawa anglo kecil dan tampah kecil berisi bunga bunga yang tersusun rapi. Kodasih tidak mau keluar dari kamarnya.
“Ini Mbah, Nyi Kodasih masih lemas dan sedih. Dia di kamar.” Ucap Pak Karto sambil menaruh anglo dan tampah kecil di lantai ruang depan. Di hadapan Mbah Jati yang duduk bersila.
Tanpa berkata-kata, Mbah Jati membuka buntalan kain mori putih yang dibawanya. Di dalamnya terdapat beberapa benda: kemenyan, bunga tujuh rupa, kendi berisi air dari sumber mata air Sendang Surodipo, dan sebuah cermin kecil berbingkai kuno.
Dia menaruh beberapa potong kemenyan ke atas anglo kecil itu. Asap tipis mulai membumbung ke udara, menari-nari membentuk bentuk-bentuk aneh.
Pak Karto, Kang Pono, Arjo dan beberapa pegawai di loji itu ikut duduk bersila di lantai ruang depan itu. Sedangkan sosok Mbok Piyah kini tidak tampak karena masih ketakutan.
Tiba-tiba terdengar suara desahan berat, diikuti bau cerutu yang menusuk hidung. Kang Pono dan Arjo saling berpandangan, mereka merasakan suhu udara turun drastis. Dari balik kabut asap kemenyan, sesosok bayangan tinggi mulai terlihat samar.
"Tuan Menir Hendrik Van Der Vliet ... wis wayahe sampeyan lunga. Raga panjenengan sampun sirna, aja nyandhang bumi iki terus. Iki dudu tanah panjenengan maneh..." ucap Mbah Jati lirih namun tegas, dalam bahasa Jawa halus.
Cermin di depannya tiba-tiba berembun. Bayangan wajah laki laki bule dengan sorot mata tajam muncul di permukaannya. Dia mengenakan jas kolonial putih dengan noda noda tanah basah bercampur darah, wajahnya pucat, dan bibirnya tampak bergerak, namun tak bersuara.
Hanya Mbah Jati yang melihat bayangan wajah itu di cermin nya.
Mbah Jati mengambil kendi dan memercikkan air suci ke cermin. Seketika telinga Mbah Jati mendengar suara tawa seorang laki laki. Disusul hembusan angin kencang yang membuat dedaunan beterbangan.
Tanah bergetar pelan. Asap kemenyan makin tebal. Kang Pono hampir jatuh mundur, namun Pak Karto menopangnya.
Mbah Jati terus membaca mantera dalam bahasa Jawa kuno, suaranya seperti bergetar di antara dimensi.
"Sira tangi saking lelampahan suci... bali marang swargaloka... mulyo ingkang langgeng..." (Engkau bangun dari perjalanan suci kembali ke surga, mulya abadi selamanya...)
...
Guys reader tersayang, bantu koreksi kalau ada salah dan typo ya 🙏🙏🙏♥️♥️♥️♥️🥰🥰🥰🥰🥰
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk