NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:443
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan di Pasar Malam

Lampu-lampion berwarna-warni bergoyang pelan di sepanjang lorong pasar malam Nurendah. Suasana ramai dipenuhi pedagang yang menjajakan dagangan: rempah harum, kain berwarna, makanan ringan, dan mainan sederhana untuk anak-anak. Tawa dan suara tawar-menawar memenuhi udara, bercampur aroma harum sate, teh hangat, dan kemenyan dari altar kecil di sudut pasar.

Al Fariz berjalan di antara kerumunan rakyat. Tubuhnya masih terasa berat akibat latihan di hutan, tapi aura Tubuh Baja-nya sudah mulai memancar. Ia menatap wajah rakyat yang sebagian masih ragu, sebagian menunduk sopan, sebagian lagi menatapnya dengan sedikit takut—pekerjaan rumah untuk membangun kembali kepercayaan mereka belum selesai.

Malam ini, aku harus ada di sini. Rakyat harus merasakan aku hadir, meski luka ini belum sembuh sepenuhnya.

Ia menatap anak-anak yang berlarian, pedagang yang tersenyum kikuk saat melihatnya. Senyum tipis muncul di wajah Al Fariz. Rakyat, mereka adalah alasan ia bertahan, alasan ia menempuh Tubuh Baja.

Namun kedamaian itu pecah.

Di sudut pasar, bayangan bergerak cepat—gerakan lincah, tersamar oleh lampu-lampion yang berayun. Sekelompok orang bersenjata muncul, wajah mereka tertutup kain hitam, mata menatap dingin, gerak mereka pasti dan terlatih. Mereka bukan sekadar perampok, tapi pembunuh bayaran yang datang untuk menciptakan kekacauan.

Suara ledakan kecil terdengar ketika sebuah gerobak kayu dilemparkan ke tengah pasar. Orang-orang berteriak, pedagang berhamburan menyingkir. Lampion berjatuhan, pecahan kaca dan buah-buahan berserakan di tanah. Anak-anak menangis, orang dewasa menjerit mencari perlindungan.

Mereka ingin ketakutan, ingin chaos. Tapi aku… aku tidak akan mundur.

Al Fariz melangkah ke depan, tubuhnya tegap, mata menatap bayangan pembunuh. Tubuhnya terasa panas, urat-urat menegang, tetapi rasa sakit dari luka lama berdenyut kencang. Ia menahan napas sejenak, lalu bergerak, menepis salah satu pembunuh yang mencoba menyerang pedagang tua dengan pisau.

“Jangan sentuh mereka!” teriak Al Fariz, suaranya tegas, membelah suara panik di pasar.

Pedagang dan rakyat yang awalnya ketakutan mulai menatapnya dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Beberapa di antaranya, orang-orang biasa yang biasanya tunduk pada keadaan, kini mulai bergerak. Seorang pria paruh baya mengangkat tongkat, seorang gadis muda melempar batu kecil ke arah pembunuh, dan seorang anak laki-laki menendang kaki salah satu penyerang.

Mereka ikut membela… aku tidak sendiri.

Pertarungan pun terjadi. Al Fariz bergerak dengan cepat, menangkis serangan satu demi satu. Tubuhnya terasa lelah, luka lama di punggungnya menyayat setiap gerakan, tapi ia menahan rasa sakit itu, memanfaatkan energi Tubuh Baja yang baru ia capai. Pisau, tongkat, bahkan tangan kosong, ia gunakan dengan presisi, menghalau serangan tanpa harus membunuh terlalu banyak.

Seorang pembunuh melesat ke arahnya dengan belati. Al Fariz menangkis dengan lengan, belati terpental dan menebas gerobak kayu di dekatnya. Pecahan kayu beterbangan, menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga. Ia tersentak, hampir kehilangan keseimbangan, tapi sebuah tangan rakyat kecil menepuk bahunya, memberi stabilitas.

Mereka percaya padaku… aku tidak bisa gagal.

Di tengah kekacauan itu, seorang anak perempuan berlari ke arah pedagang yang jatuh, tangannya gemetar. Al Fariz cepat-cepat menahan tubuhnya, menempatkan diri di antara anak itu dan salah satu pembunuh. Tubuhnya berdarah, beberapa luka lama terbuka kembali karena benturan dan tekanan, tapi ia menunduk, menatap anak itu dengan tenang.

“Pergilah… cepat!” teriaknya. Suara itu tegas, bergetar, membawa aura perlindungan yang tak bisa diabaikan.

Anak itu menatapnya sebentar, lalu lari dengan cepat, menembus kerumunan yang kacau. Al Fariz berdiri, menatap pembunuh di depannya. Mata mereka dingin, gerakan mereka lincah, tapi tubuhnya lebih cepat, lebih kuat. Ia menendang salah satu, menjatuhkannya ke gerobak buah, sementara yang lain mundur sebentar, menghitung ulang strategi.

Kerumunan rakyat mulai menolong, melemparkan batu, memukul dengan tongkat, berteriak untuk mengalihkan perhatian pembunuh. Keberanian mereka muncul dari keberanian Al Fariz. Suara mereka, meski kecil, bersatu menjadi gelombang perlawanan.

Inilah kekuatan sejati—bukan hanya Tubuh Baja, tapi keberanian yang menular.

Pertarungan berlangsung sengit. Tubuh Al Fariz berdarah, keringat dan debu menempel, nafasnya tersengal. Setiap pukulan, setiap tendangan, hampir membuatnya roboh, tapi ia tidak. Ia menahan tubuhnya, menyalurkan energi Tubuh Baja ke setiap gerakan. Pembunuh demi pembunuh jatuh, bukan karena ia membunuh mereka, tapi karena ia menguasai medan dan tekad yang membakar.

Sementara itu, seorang pembunuh mencoba menyerang dari belakang, menyelinap di antara kerumunan. Al Fariz menoleh tepat waktu, menangkis serangan dengan siku, dan tubuh lawan terpental ke tumpukan sayur. Hidungnya mengeluarkan darah, tetapi matanya tetap fokus, tidak kehilangan keseimbangan.

Luka ini bukan akhir. Ini adalah bagian dari proses. Setiap darah yang tertumpah… setiap sakit yang kurasakan… adalah harga dari perlindungan.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, pembunuh mulai mundur, menyadari bahwa pasar malam ini bukan target mudah. Rakyat yang awalnya ketakutan kini berani melawan, dipimpin oleh keberanian Al Fariz. Suara teriakan, benturan kayu, dan langkah kaki mengisi udara, membuat pasar malam yang awalnya damai berubah menjadi medan perang singkat.

Al Fariz berdiri di tengah kerumunan, tubuhnya berdarah, wajahnya lecet, napasnya berat. Namun matanya bersinar. Ia menatap rakyat yang masih bertahan di sisinya. Mereka tersenyum samar, kelelahan tapi penuh semangat, karena mereka melihat Sultan mereka tidak menyerah.

Seorang pedagang tua menghampirinya, menepuk pundaknya, suaranya gemetar:

“Yang Mulia… kau… kau menyelamatkan kami…”

Al Fariz menunduk, menahan rasa sakit.

“Ini… rumah kita. Jangan biarkan mereka… mengambilnya.” Suaranya tegas, lembut, tetapi membawa berat tekad yang tak terbantahkan.

Lampion-lampion yang jatuh kini perlahan kembali tergantung, cahaya redup menyorot wajah-wajah yang kelelahan tapi lega. Pasar malam masih berantakan, tapi rakyat tahu satu hal: Sultan mereka, meski terluka, masih berdiri. Masih melindungi.

Aku berdiri… bukan hanya untuk diriku. Aku berdiri untuk mereka. Untuk Nurendah. Untuk masa depan.

Langit malam menyelimuti pasar, bintang-bintang menatap dari jauh. Tubuhnya berdarah, kaki terasa lelah, punggung nyeri, tapi Al Fariz berdiri. Aura Tubuh Baja-nya terpancar, membangkitkan keberanian dalam hati rakyat. Suara bisik batin terdengar:

Mereka akan datang lagi. Mereka selalu datang. Tapi aku siap. Kali ini aku tidak sendiri. Dan setiap langkah berikutnya, aku akan lebih kuat.

Pasar malam kini kembali damai, meski luka dan kerusakan masih tersisa. Lampion berayun pelan, suara air dari sungai di kejauhan menenangkan. Al Fariz menatap langit, napasnya berat tapi mata menyala. Ia menegakkan tubuhnya, menahan darah yang mengalir, dan mengangkat tangan ke udara seakan menantang dunia.

Aku berdiri… meski berdarah. Aku berdiri… meski hampir roboh. Dan aku tidak akan jatuh lagi. Langkah ketiga… sudah menanti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!