INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Altra Persona
Frenzzio mendudukkan Ingrid perlahan di kursi mobil. "Kau bisa?"
"Mmhm," Ingrid Berdehem pelan. Dia membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman.
Frenzzio menutup pintu mobil, kemudian masuk dari sisi lain. "Hen, air dan kotak obat," mintanya. Hen segera menyerahkan benda-benda itu ke tangan Frenzzio, sementara dia menyalakan mesin mobil, mengemudikan mobil pergi dari lokasi itu.
Frenzzio memutar tutup botol, lalu memberikan botol air kepada Ingrid. Ingrid segera meneguk air tersebut hingga hampir tandas. Rasanya seakan berhari-hari tenggorokannya tidak di basahi oleh air. "Terima kasih."
Frenzzio tidak menjawab. Dia menyeka lembut darah di sudut bibir dan dagu Ingrid.
"Aku bisa melakukannya sendiri, Frenzzio." Ingrid mencoba mencoba mengambil alih kain kasa dari tangan Frenzzio, tapi pria itu mengelak, menyisakan tangan Ingrid yang tergantung di udara.
"Apa saja yang mereka lakukan padamu?" Frenzzio melanjutkan aksinya. Ingrid mengalah, dia tak punya tenaga lagi untuk berdebat.
Ingrid menggeleng, tak lagi kuat mengeluarkan sepatah kata. Walau begitu, Frenzzio dapat sedikit menyimpulkan, terutama dengan melihat bagaimana kondisi Ingrid, dan kejadian saat dirinya menemukan Ingrid. Rambut Ingrid kusut berantakan, kedua pipi memar dan sedikit bengkak, sudut bibirnya tampak jejak darah, tangannya yang dililit tali lecet memerah. Tidak ada yang tidak terjadi.
Pandangan mata Ingrid mengabur, perlahan menghitam, kepalanya terasa berat, tubuhnya kehilangan kendali. Frenzzio sigap meraih tubuh Ingrid yang jatuh tak sadarkan diri, membawanya ke dekapannya. Frenzzio memejamkan matanya.
"Percepat."
"Baik, Tuan."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Sepasang kaki kecil berjalan berjinjit sambil mengendap-endap berharap Sang ayah tak menyadari kehadirannya. Ingrid menyibak tirai jendela sehalus mungkin, lalu bersembunyi di baliknya. Dia menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawanya agar tak keluar.
"Di mana, Tuan Putriku?" panggil Ricc seraya memindai sekitar.
Mata Ingrid melebar, tawanya terhenti, napasnya tertahan. Dia terus menggumamkan harapan dalam hati agar ayahnya tak menemukannya.
Harapan Ingrid sepertinya akan hancur, saat mendengar suara sapaan telapak kaki pada lantai mulai mendekatinya. Tirai disibak cepat, Ingrid berteriak kencang. Dia mencoba kabur, tapi Ricc menangkapnya lebih dulu, lalu menggelitik Ingrid, sampai gadis kecil itu tertawa keras.
"Kena kau, Ayah menang." Ricc terus menggelitiki Ingrid.
"Ya, ya, ayah hentikan, aku menyerah." Ingrid terus tertawa.
Ricc menghentikan aksinya. "Sekarang kau harus menghabiskan sayuran di piringmu."
"Ayah ... " rengek Ingrid dengan wajah memelas.
Ricc tak terpengaruh. "Ayo, selesaikan makan malammu." Ricc menggandeng tangan Ingrid, membawanya ke meja makan.
Ingrid duduk di kursinya dengan enggan. Matanya menatap malas sayuran yang tersisa di piring. Ingrid menyuapkan sayur pada mulutnya dengan berat, seharusnya dia mencari tempat persembunyian yang lebih baik tadi, jadi dia tidak akan ketahuan dan terjebak dengan para sayuran ini.
"Jangan memainkan makananmu, Ingrid." Ricc tersenyum melihat tingkah putri kesayangannya, hanya dialah obatnya setelah lelah bekerja.
Setelah drama dan waktu yang panjang, akhirnya Ingrid dapat membersihkan piringnya dari sayuran. Ricc memuji Ingrid, sementara si gadis kecil terus menekuk wajahnya.
Ricc melanjutkan kegiatannya dengan mencuci piring, sementara Ingrid bermain dengan boneka barunya tidak jauh darinya.
"Ayah!" seru Ingrid.
"Ya, ada apa, Sayang?" Ricc menyapukan spons berbusa pada piring.
"Saat aku dewasa aku akan menikah dengan Dario."
"Dario? mengapa?" Ricc meladeni perkataan anak dua belas tahun itu.
"Dia baik padaku, dia temanku."
"Hanya karena itu?" Ingrid mengangguk yakin.
"Bagaimana jika ada orang lain yang lebih baik dari Dario?"
"Tidak ada yang lebih baik dari Dario, Ayah."
"Termasuk Ayah?"
"Ayah berbeda," sembur Ingrid. Ricc tertawa lepas.
Ricc mengeringkan tangannya dengan handuk setelah selesai mencuci piring. Dia menghampiri Ingrid. "Dunia sangat luas, Sayang. Banyak orang yang akan kau temui nanti, Dario hanyalah salah-satunya. Dan ... selama itu kau masih dan akan selalu menjadi putri kecil Ayah." Pria itu mencubit gemas pipi berisi Ingrid.
Ingrid menggeleng tegas. "Aku menyukai Dario, bukan orang lain."
"Kita akan lihat saat kau dewasa nanti, Nona kecil." Ricc menggelitiki Ingrid, si gadis tertawa lepas, memantulkan perasaan positif ke seluruh dinding rumah.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Kelopak mata Ingrid perlahan terbuka, mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba menyapa. Kepalanya terasa berputar, tubuhnya masih terasa enggan untuk di gerakkan.
Bau khas obat-obatan menusuk penciuman Ingrid-ia benci ini. Ingrid melihat ke kanannya, karena merasa sesuatu menahan tangannya.
Frenzzio berada di sana, menggenggam erat tangannya dengan mata terpejam, sepertinya dia tertidur. Ingrid membiarkan tangannya tetap dalam genggaman hangat Frenzzio, karena pasti Frenzzio akan terbangun bila dia menarik tangannya.
Ingrid menatap intens Frenzzio. Saat tertidur, wajahnya terlihat sangat polos, Ingrid tersenyum tipis tanpa sadar.
Frenzzio, orang yang tidak pernah Ingrid harapkan. Tapi, dia selalu datang saat diharapkan maupun tidak. Pria yang hampir selalu bersamanya, selalu datang saat dia butuhkan. Pria yang menjadi sumber air mata dan senyumnya. Pria yang selalu bilang bahwa dia mencintainya. Entah itu benar adanya ataupun tidak, Ingrid masih tidak yakin, tidak yakin padanya atau dirinya sendiri—dia bingung.
"Orang lain ... " monolog Ingrid lirih.
Ingrid melirik ke arah jam dinding, waktu sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ingrid membicarakan membangunkan Frenzzio dengan mengguncang tangannya. "Frenzzio, bangun! Frenzzio." Frenzzio seketika terbangun dari tidurnya. Mata biru Frenzzio langsung tertuju pada Ingrid. "Ada apa, Amore? Kau baik-baik saja?"
Ingrid menggeleng. "Maaf membangunkanmu, tapi kita harus pulang."
"Tapi kau—"
"Tidak, aku sudah lebih baik, orang-orang di rumah akan curiga jika kita tidak pulang, terlebih Marcello pasti sudah ada di rumah, dia pasti menyadari kita tidak ada," jelas Ingrid sambil berusaha bangkit dari ranjang.
Seluruh tulangnya terasa sakit dan berat, kepalanya tak berhenti berdenyut.
Frenzzio membantu menopang punggung Ingrid. "Kau yakin?" Gadis itu berdehem mengangguk.
Frenzzio sebenarnya tidak setuju, namun mengingat kekeras kepalaan Ingrid, bagusnya dia mengalah untuk saat ini. "Okay, kita pulang. Tunggu sebentar."
"Ya."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Mobil yang dikemudikan Frenzzio memasuki pagar besi besar mansion Constanzo. Lampu pathway dengan cahaya kekuningan menerangi jalan aspal panjang yang mereka lalui. Jika berjalan kaki dari pagar menuju pintu utama sudah dipastikan itu sangat melelahkan dan menguras tenaga.
Frenzzio menghentikan laju mesin mobil tepat di depat tangga menuju pintu masuk.
Dia dan Ingrid keluar dari mobil, Frenzzio memberikan kunci mobilnya pada penjaga yang berjaga.
Ingrid berjalan lebih dulu, dia sudah bilang pada Frenzzio bahwa dia bisa berjalan sendiri, dan tidak memerlukan bantuan sejak di rumah sakit tadi. Frenzzio berjalan di belakang Ingrid, tak ingin mendahuluinya, agar dapat terus memperhatikannya.
Di dalam, seperti biasa, hampir semua lampu telah di padamkan, sunyi tanpa aktivitas. Ingrid lega, dia dan Frenzzio tak harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan omong kosong dari orang-orang.
Semua baik-baik saja, sampai derap langkah kaki asing di belakang keduanya menghentikan pergerakan mereka.
"Dari mana saja kalian berdua?"
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
lopyu thorr