NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:839
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pusaran Kebohongan

Di dalam mobil, Aluna dan Fara diliputi keheningan yang canggung. Fara menatap ke luar jendela, sementara Aluna memandang lurus ke depan, merasakan ketegangan di antara mereka. Setelah tiba di sekolah, Fara berjalan lebih dulu, diikuti Aluna. Aluna tahu, ia harus menghadapi Fara dan teman-temannya, termasuk Revan, Damian, Liam dan Kian, yang sudah menunggu di dekat loker.

...Hanya ilustrasi gambar....

Revan, Damian, Kian, dan Liam melihat Fara dan Aluna memasuki sekolah, diam-diam berharap Fara tidak bertemu Valeria.

Tepat saat itu, Fara berkata kepada Aluna, "Lo duluan sana. Gue mau ke ruang guru. Semoga saja mereka memberikan gue kelas bareng dengan Damian atau Valeria."

Aluna hanya menatapnya tanpa berkata-kata. Ia bingung dengan tingkah Fara yang tiba-tiba ingin berada di kelas yang sama dengan Valeria, setelah semua yang terjadi. Tanpa menunggu jawaban dari Aluna, Fara berbalik dan berjalan menuju ruang guru, meninggalkan Aluna sendirian.

Setibanya di ruang guru, para guru menyambut kedatangan Fara sebagai murid baru. Mereka menyambutnya dengan hangat dan mulai menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan serta tata tertib dan fasilitas yang ada di sekolah ini.

Fara mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun pikirannya dipenuhi dengan satu tujuan: kelas. Ia tidak peduli dengan tata tertib atau fasilitas, yang ia inginkan hanyalah berada di kelas yang sama dengan Damian atau Valeria.

Setelah para guru selesai menjelaskan, Fara mengambil kesempatan untuk bertanya. "Permisi, Bu. Saya ingin bertanya, saya masuk kelas apa?"

Guru itu tersenyum. "Sebentar, Fara. Saya cek dulu, ya." Guru itu melihat data di laptopnya. "Kamu masuk kelas XI IPA 1. Kelas itu diisi oleh anak-anak yang berprestasi."

Fara terkejut. "XI IPA 1? Tapi itu kan kelasnya..."

Guru itu mengangguk, menyela kalimat Fara. "Iya. Kelas yang sama dengan Aluna, dan saya tahu kamu adalah saudaranya, kan?"

"Iya, Bu," kata Fara, sedikit kecewa karena ia tidak sekelas dengan Damian atau Valeria.

"Kamu tidak apa-apa sekelas dengan Aluna?" tanya guru itu.

"Iya, Bu, tidak apa-apa," jawab Fara, kembali tersenyum. Dalam hati, ia berkata, Enggak apa-apa deh gue enggak sekelas dengan Damian atau Valeria, tapi gue bisa sekelas dengan Revan.

Guru itu berkata, "Kalau begitu, mari saya antar ke kelas. Kami harap kamu betah di sini."

Dengan langkah mantap, Fara mengikuti guru itu menuju kelas. Ia tidak sabar.

Guru dan Fara sampai di kelas. Ia kemudian masuk. Saat Fara masuk, Revan, Kian, dan Liam terkejut melihat Fara memasuki kelas mereka. Guru menyuruh Fara memperkenalkan diri.

Fara melangkah ke depan kelas, memandang sekeliling dengan senyum tipis di wajahnya. Ekspresi Revan, Kian, dan Liam terlihat dingin, tetapi Fara memilih untuk mengabaikan mereka. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mulai berbicara.

"Halo semuanya," katanya dengan suara yang jelas dan percaya diri. "Nama saya Fara. Saya pindahan dari sekolah lain dan saya harap kita bisa menjadi teman yang baik. Terima kasih."

Perkenalan singkat itu terasa hambar dan tanpa emosi. Anak-anak lain di kelas hanya menatapnya, ada yang berbisik-bisik, tetapi tidak ada yang bereaksi lebih. Fara kemudian melirik ke arah Revan, Kian, dan Liam, senyumnya sedikit lebih lebar.

Guru yang mengantarnya menunjuk sebuah meja kosong di belakang Kian. "Fara, kamu bisa duduk di sana."

"Maaf, Bu. Saya ingin duduk dengan Aluna," kata Fara, dengan senyum manis.

Guru itu mengatakan, "Tapi Aluna sudah ada teman sebangkunya."

"Jadi, tidak bisa ya, Bu?" tanya Fara. "Kalau tukeran, dia yang di bangku kosong, saya yang duduk dengan Aluna?"

Guru itu menatap murid di samping Aluna, menanyakan persetujuannya. " Rani, apa kamu bersedia untuk pindah tempat duduk ?" tanya guru itu pada murid yang duduk di samping Aluna.

Rani terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa."

"Kenapa?" tanya sang guru, dahinya berkerut.

"Saya sudah nyaman duduk di sini," jawab Rani, singkat.

Guru itu berjalan mendekati Fara yang berdiri di depan kelas dengan cemas.

"Fara, sayangnya Rani tidak mau pindah tempat duduk," kata guru itu dengan nada menyesal. "Dia bilang sudah nyaman di tempatnya."

Fara menunduk, bahunya merosot. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Ia mengepalkan tangan, menahan rasa frustrasi yang muncul. Rencana yang baru saja terbentuk dalam pikirannya kini hancur begitu saja. Ia melirik ke arah Rani yang kembali fokus pada bukunya, seolah tidak peduli dengan situasinya.

Fara menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Fara mendekati Rani dan berbisik, "Kalau lo mau berikan tempat ini ke gue, gue akan berikan lo jajan gratis di kantin selama seminggu dan uang satu juta."

"Lo serius?" bisik Rani, matanya membelalak.

"Gue serius," jawab Fara dengan mantap.

Rani berdiri, "Oke, kalau lo mau di sini." Kemudian ia berkata kepada guru, "Bu, saya akan pindah. Fara bisa duduk di sini."

Guru mengangguk setuju. Rani berbisik lagi kepada Fara, "Ingat janji lo, mulai hari ini." Fara tersenyum, lalu Rani berjalan menuju bangku kosong, meninggalkan Fara yang kini duduk di samping Aluna.

Fara menatap Revan, namun Revan hanya melihat ke arah Aluna dengan tatapan penuh arti. Setelah pandangan Fara dan Revan bertemu, Revan segera memalingkan wajahnya dan melihat ke depan.

Setelah Fara duduk, suasana kelas kembali seperti semula. Namun, bagi Aluna, Fara, Revan, Kian, dan Liam, ketegangan itu justru semakin terasa.

Pelajaran dimulai. Guru mulai menjelaskan materi di depan kelas, tetapi bagi Aluna, suaranya terdengar jauh. Ia hanya bisa merasakan kehadiran Fara di sampingnya. Aluna mencoba membuat jarak, sedikit menggeser bangkunya dan meletakkan tasnya di antara mereka.

Fara, di sisi lain, tampak tenang. Ia membuka buku dan pulpennya, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sekilas, ia melirik Aluna, lalu kembali fokus ke depan, senyum tipisnya tidak pernah luntur.

Di bangku depan, Revan dan Kian terus melirik ke belakang. Kian bisa merasakan ketidaknyamanan Aluna, dan itu membuatnya kesal. Ia kemudian mengambil selembar kertas, menulis sesuatu, dan melipatnya menjadi kecil. Dengan gerakan cepat, ia memberikan kertas itu kepada Revan.

"Lewat sini," bisik Kian pada Revan.

Revan mengangguk, ia paham. Ia pura-pura mengambil buku dari tasnya, lalu dengan hati-hati meletakkan kertas yang dilipat itu di meja Aluna.

Aluna merasakan ada sesuatu di mejanya. Ia melirik kertas itu, lalu mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan Revan, yang memberikan isyarat dengan matanya untuk membaca kertas itu.

Aluna mengambil kertas itu, namun saat ia hendak membukanya, ia menyadari Fara melihatnya dari sudut matanya. Fara tidak mengatakan apa-apa, tapi ekspresinya berubah.

Fara menoleh sepenuhnya ke arah Aluna, tatapannya dingin dan tajam. "Buka," katanya, suaranya pelan tapi penuh perintah.

Aluna menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Fara menyadarinya. Ia merasakan mata Fara terpaku padanya, menunggu. Di depannya, Revan dan Kian sesekali menoleh ke belakang, raut wajah mereka tegang. Aluna merasa terperangkap di tengah-tengah.

Tangannya gemetar saat ia membuka lipatan kertas itu. Fara mengikuti setiap gerakannya, senyum tipisnya menghilang. Aluna membaca tulisan tangan yang rapi di dalamnya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Aluna mendongak, matanya bertemu dengan Revan dan Kian. Ada kelegaan dan harapan dalam tatapan mereka. Namun, saat ia menoleh kembali ke sampingnya, Fara menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

Fara merebut kertas itu dan membaca isinya. Ia mencengkeram kertas itu hingga kusut, rahangnya mengeras. Ia menatap Aluna, lalu ke arah Revan. Ini bukan lagi soal gosip atau tempat duduk. Ini adalah perang. Fara tahu, Aluna telah memilih pihak.

Bel berbunyi, waktu istirahat tiba. Guru pun keluar. Ketika guru telah pergi, Fara dengan cepat berdiri, berjalan ke samping Aluna, dan menyuruh Aluna untuk berdiri.

"Ayo," kata Fara.

"Ke mana?" tanya Aluna.

"Udah, ayo! Enggak usah banyak tanya, cepat bangun!" kata Fara.

Setelah Aluna berdiri, Fara menarik tangan Aluna. Revan ingin mencegahnya, namun Kian menghentikannya dan menyuruhnya untuk melihat apa yang akan Fara lakukan terlebih dahulu.

Fara terus menarik tangan Aluna hingga keluar kelas dan pergi.

Revan melihat itu dan berkata, "Kita harus ikutin," lalu ia, Kian, dan Liam mengikuti mereka dari belakang.

...Hanya ilustrasi gambar....

Fara dan Aluna terus berjalan di koridor. Aluna bertanya, "Kita mau ke mana?"

"Tunjukin di mana kelas Damian dan Valeria," kata Fara, masih menarik lengan Aluna. "Tunjukin, cepetan!"

Aluna berkata, "Ini kelas IPA 2."

"Kelas siapa? Damian atau Valeria?" tanya Fara.

"Mereka sekelas," jawab Aluna.

Fara pun menarik Aluna sampai masuk ke kelas itu. Ia melihat Damian sedang bersama Valeria, duduk berdua, mengobrol, dan tertawa.

...Hanya ilustrasi gambar....

Fara berkata, "Kenapa dia duduk dengan Damian? Dan kenapa mereka sekelas sih?"

Fara melepaskan lengan Aluna dan menghampiri Damian. Ia tersenyum dan berkata, "Damian."

Dengan senyum di wajahnya, Fara mendekati Damian dan Valeria.

Valeria dan Damian melihat ke arah Fara. Valeria kemudian berdiri, Damian pun ikut berdiri.

"Ngapain lo ada di sini?" tanya Damian, suaranya dingin.

Semua mata di kelas kini tertuju pada mereka. Suasana yang tadinya ramai dengan obrolan, mendadak hening. Fara tetap tersenyum. Ia menatap Damian dan Valeria bergantian.

"Kenapa? Gue kan cuma mau kenalan sama kalian," jawab Fara dengan nada ramah yang dibuat-buat.

"Gue murid baru di kelas XI IPA 1. Gue cuma mau nyapa kalian."

"Lo enggak perlu repot-repot," kata Damian, tidak percaya. "Kita udah tahu siapa lo."

Tepat pada saat itu, Aluna masuk ke dalam kelas. Di belakangnya, Revan, Kian, dan Liam juga terlihat berdiri di ambang pintu, melihat pemandangan di depan mereka.

Fara menoleh ke arah mereka. Senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi kesal. Ia tahu rencananya untuk menghadapi Damian dan Valeria secara pribadi sudah gagal.

"Lo jangan gitu, dong," kata Fara, senyumnya semakin lebar. "Apa salahnya kita kenalan lagi? Kita sudah lama tidak bertemu. Dan lo tahu enggak kenapa gue mau pindah sekolah ke sini? Itu karena lo. Jadi gue di sini mau ajak lo ke kantin bareng."

Fara mendekat dan langsung memeluk lengan Damian. Damian terkejut, mencoba menarik tangannya, tapi Fara menahannya.

"Kita nostalgia saat kita pacaran yuk," kata Fara, sambil melirik Valeria. "Romantis, suap-suapan di kantin."

Valeria hanya bisa menatap Fara, terkejut dan terluka. Ekspresi Damian berubah menjadi marah. Ia menarik lengannya dengan kasar, membuat Fara terdorong sedikit menjauh.

"Lepasin," kata Damian dingin. "Apa yang lo lakuin?"

Suasana di kelas semakin tegang. Semua mata tertuju pada mereka. Revan, Kian, dan Liam mengepalkan tangan mereka, sementara Aluna hanya bisa menunduk, tidak berani melihat.

"Kenapa sih, Damian? Lo kasar sama gue," kata Fara, berusaha tersenyum. "Apa salahnya kita mengulang lagi saat-saat pacaran kita? Lo masih cinta, kan, sama gue?"

"Stres lo!" balas Damian, suaranya naik. "Lo tanya gue masih cinta? Pikir sendiri dengan apa yang udah lo lakuin! Jawabannya Enggak! Bukan cuma itu. Lo udah bohongin gue! Lo bilang Revan yang ngehasut lo buat ninggalin gue. Lo juga bilang Revan berusaha ngerebut lo dari gue, dan kalau Revan itu orang yang licik."

Damian menunjuk ke arah Fara. "Itu yang lo omongin, tapi apa? Revan sudah cerita semuanya ke gue!"

Dalam hati, Fara berkata, " Sialan. Jadi dia sudah tahu." Ia hanya bisa diam, sandiwaranya telah terbongkar.

"Ditambah lagi, perbuatan lo terhadap Valeria! Lo jelek-jelekin dia!" kata Damian, amarahnya memuncak.

Damian kemudian melihat ke arah Valeria dan menarik tangannya. Fara mencoba mencegahnya, tetapi Damian menatapnya tajam dan mendorongnya pelan.

Damian terus menarik Valeria keluar kelas. Fara berteriak, "Damian!"

Namun, Damian tidak peduli. Ia terus berjalan sampai mereka berdua berada di luar kelas, tanpa memperdulikan siapapun dan meninggalkan Fara yang mematung di tengah-tengah tatapan semua orang.

Fara mematung di tengah kelas yang mendadak hening. Semua mata menatapnya. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan karena amarah yang memuncak. Semua sandiwaranya telah hancur. Ia telah dipermalukan di depan semua orang. Ia mengepalkan tangannya, menatap pintu yang tertutup di mana Damian dan Valeria baru saja keluar.

"Ini belum selesai," gumamnya, suaranya dipenuhi dendam. Tanpa menghiraukan siapa pun, ia berbalik dan bergegas keluar kelas, mencari Damian dan Valeria.

Sementara itu, Damian menarik Valeria menjauh dari kelas. Valeria masih terkejut dan terdiam. Begitu mereka berada di koridor yang sepi, Damian berhenti dan memegang bahu Valeria.

"Lo baik-baik aja?" tanya Damian, suaranya melembut. Ia menatap Valeria dengan cemas.

Valeria mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca.

"Damian... kenapa lo lakuin itu?"

"Karena dia pantas mendapatkannya. Semua yang dia bilang itu bohong. Gue enggak akan biarin dia menyakiti lo lagi," jawab Damian tegas.

Tepat saat itu, Revan, Kian, dan Liam datang menghampiri mereka. Revan menepuk pundak Damian.

"Bagus, Dam. Lo udah berani," katanya.

"Kita ke kantin aja, yuk?" kata Kian.

"Ayo," balas Revan. "Eh, Aluna?" Revan menoleh ke belakang, menyadari Aluna tidak bersama mereka.

"Oh iya, Aluna!" kata Liam.

Mereka melihat ke belakang, Aluna sedang berjalan sendirian.

Revan, Damian, dan Kian berjalan menghampiri Aluna. Revan-lah yang tiba lebih dulu. Ia berdiri di hadapan Aluna, yang hanya menunduk.

"Aluna," panggil Revan dengan lembut. "Ayo ikut kita ke kantin."

Aluna menggelengkan kepalanya pelan, air mata mulai menggenang di matanya. "Revan, gue... gue minta maaf. Gue udah bilang semuanya sama kalian. Gue tahu kalian pasti benci sama gue."

Revan menatapnya dengan tatapan penuh pengertian.

"Enggak, Aluna. Kami enggak benci sama lo. Kami tahu lo terpaksa. Kami tahu ini semua bukan salah lo," ucapnya, lalu menepuk pundak Aluna. "Justru kami khawatir sama lo. Ayo, kita ke kantin, bareng-bareng."

Aluna mendongak, melihat Revan, Kian, dan Damian yang mengangguk setuju. Ia melihat tidak ada kebencian di mata mereka, hanya ada kekhawatiran dan dukungan. Akhirnya, ia mengangguk.

"Makasih," bisik Aluna, suaranya parau.

Mereka pun berjalan bersama menuju kantin, meninggalkan koridor yang terasa dingin. Aluna berjalan di tengah-tengah mereka, merasakan kehangatan dan rasa aman yang sudah lama hilang.

Sesampainya di kantin, Valeria duduk dan menatap teman-temannya. Ada ketenangan baru di wajahnya.

"Tante Kiara bilang ayah lo sudah atur pertemuan," kata Valeria pada Kian. "Memanggil Fara, Risa, dan orang tua mereka nanti sore jam 3."

"Kalau begitu, kita ikut ke sana," kata Revan dengan tegas.

Kian segera mencegah Revan. "Jangan. Biar mereka menyelesaikan masalahnya. Ini 'kan masalahnya antara Valeria, Fara, Risa, dan orang tua mereka. Enggak etis kalau kita ikut gabung. Yang penting, semua bukti sudah kita tunjukin. Gue sudah kirim semua buktinya ke bokap gue."

"Tapi gue enggak bisa biarin Valeria sendirian," balas Revan.

"Dia enggak sendiri," kata Kian, melirik Damian dan Aluna. "Ada kita semua."

Damian mengangguk setuju. "Kian benar, Revan. Tapi gue juga enggak bisa tinggal diam. Gue mau lihat Fara dan Risa dapat pelajaran dari semua ini."

" Gue tahu, tapi biar ini menjadi masalah orang tua. Biar mereka yang menyelesaikan, lagian Valeria dia enggak benar-benar sendirian, Revan," kata Kian. "Di sana ada bokap gue, tante Valeria juga ada."

Revan terkejut. "Tante? Tante Kiara? Jadi Tante kamu datang, Valeria? Kok kamu enggak cerita? Sudah lama aku enggak lihat Tante Kiara."

Valeria tersenyum tipis. "Maaf, aku lupa. Aku terlalu fokus sama masalah ini," katanya. "Tante Kiara sudah di sini sejak kemarin. Dia yang bantu aku dan berkoordinasi dengan ayahnya Kian."

Revan menatap Valeria, senyum kecil terukir di wajahnya. "Syukurlah. Tante Kiara pasti bisa ngurus semuanya," katanya, lalu kembali menatap Kian.

"Jadi, kita enggak usah ikut, kan?" tanya Kian, meyakinkan Revan.

"Enggak," kata Revan. Ia kini merasa jauh lebih tenang. "Ada Tante Kiara di sana, semuanya pasti akan beres."

"Oke, kalau begitu," kata Damian.

Mendengar Damian setuju, Revan mengangguk lega. Keputusan sudah bulat. Mereka tidak akan ikut campur dalam pertemuan itu. Sekarang, semua ada di tangan para orang dewasa.

Kian melirik jam tangannya. "Istirahatnya sebentar lagi selesai. Ayo balik ke kelas," ajaknya.

Mereka semua berdiri. Revan, Kian, Liam, dan Aluna berjalan bersama menuju kelas XI IPA 1, sementara Damian dan Valeria berjalan menuju kelas XI IPA 2.

"Lo baik-baik aja?" tanya Damian pada Valeria saat mereka berjalan.

"Gue baik, Dam," jawab Valeria, suaranya terdengar lebih ringan. "Terima kasih."

Aluna berjalan di tengah-tengah Revan dan Kian, merasakan kehangatan dan rasa aman yang sudah lama hilang. Meskipun ia masih merasa cemas tentang apa yang akan terjadi di rumah, ia tahu ia tidak sendirian lagi.

Semua orang kembali ke kelas masing-masing, tetapi pikiran mereka tidak fokus pada pelajaran. Mereka semua menunggu jam 3 sore, menantikan kabar dari pertemuan yang akan mengakhiri semua drama ini.

Fara dan Aluna tiba di rumah. Di luar, mereka melihat Bram, ayah Fara, sudah berdiri di depan pintu.

"Papa? Papa ngapain di sini?" tanya Fara, terkejut.

"Enggak ada apa-apa, Fara. Kamu siap-siap, ikut Papa," jawab Bram, suaranya dingin dan serius.

"Ke mana?" tanya Fara.

"Sudah kamu enggak usah banyak tanya, ganti baju kamu. Papa tunggu di sini," kata Bram.

Fara masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya, meninggalkan papanya dan Aluna. Setelah Fara pergi, Aluna menyapa Bram.

"Om," sapanya pelan.

"Aluna," balas Bram. "Ada yang mau Om tanyakan sama kamu. Tadi pagi, papa kamu menghubungi Om."

Aluna terkejut. Ia menunduk, merasa gugup.

"Aluna, Om sudah tahu beberapa hal dari papa kamu dan Rex Adrian," kata Bram. "Tapi Om butuh dengar dari kamu sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aluna menatap Bram, matanya berkaca-kaca.

"Aluna, enggak usah takut," kata Bram, suaranya melembut. Ia meraih salah satu kursi di teras dan mempersilakan Aluna duduk. "Cerita saja sama Om semuanya."

Aluna duduk, ia menunduk dan menarik napas dalam-dalam. Air matanya kembali jatuh. Ia pun mulai bercerita, suaranya bergetar.

Ia menjelaskan bagaimana Fara memintanya untuk menyebarkan gosip tentang Valeria, dan bagaimana ia menolak. Ia menceritakan bahwa Fara tidak menyerah, melainkan menyuruh Risa untuk menyebarkan fitnah itu melalui akun anonim. Ia juga menjelaskan bagaimana Fara menggunakan namanya untuk memperkeruh keadaan, membuat Valeria marah dan salah paham padanya.

Aluna terus bercerita, mengungkap rasa sakitnya.

"Aku... aku terpaksa cerita semuanya ke Revan dan yang lain. Aku enggak punya pilihan, Om. Pas Fara pulang, dia marah banget. Dia bilang aku penghianat. Dia benci sama aku. Aku takut, Om."

Bram mendengarkan dengan saksama. Raut wajahnya berubah dari rasa ingin tahu menjadi terkejut, dan akhirnya menjadi marah. Ia mengepalkan tangannya saat mendengar bagaimana putrinya sendiri telah menyakiti Aluna dan memanipulasi situasi hingga merusak mentalnya.

"Jadi, dia memfitnah Revan dan Damian di depan umum, mencoba mempermalukan Valeria, dan membuat kamu takut," kata Bram, suaranya menahan amarah. "Om minta maaf, Aluna. Om benar-benar minta maaf."

Bram berdiri dan bergegas masuk ke dalam rumah. Ia melihat Fara sudah siap. Tanpa berkata-kata lagi, ia menarik tangan Fara. "Ayo."

Fara menatap papanya, bingung. Tatapan Bram begitu dingin dan tajam, tidak seperti biasanya. Ia tidak berani bertanya. Namun, sebelum pergi, Bram kembali menoleh ke arah Aluna.

"Aluna, Om dan Fara mau pergi sebentar," katanya, suaranya kembali melembut. "Kamu baik-baik di rumah, jangan ke mana-mana. Dan ini uang buat kamu. Kalau kamu mau makan, pesan GoFood saja, ya."

Aluna terharu melihat perhatian Bram. "Iya, Om. Terima kasih," jawabnya.

"Om tinggal dulu, hati-hati dirumah," kata Bram, lalu berjalan ke arah mobilnya. "Fara, cepat masuk," perintahnya dengan nada dingin.

Fara yang sudah di dalam mobil menatap papanya dengan bingung. Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bram. Ketegangan di antara mereka terasa begitu mencekam, membuat Fara semakin cemas. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres.

Ketika mobil mereka tiba di depan restoran, Fara melihat sudah ada mobil Rex Adrian, Tiara, dan Risa. Fara kini sadar bahwa pertemuan ini adalah sesuatu yang besar.

Tepat saat itu, Valeria dan Tante Kiara tiba. Mereka melangkah masuk, dan mata semua orang di ruangan itu menoleh ke arah mereka. Valeria terlihat sedikit gugup, tetapi Tante Kiara berjalan dengan percaya diri, wajahnya tenang namun tegas.

"Silakan, Kiara," kata Rex Adrian, menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Tante Kiara mengangguk dan duduk, sementara Valeria duduk di sampingnya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Suasana menjadi sangat canggung. Tidak ada yang berbicara. Bram menatap Fara, matanya dipenuhi kekecewaan. Tiara terlihat gelisah, sementara Risa menunduk, tidak berani menatap siapa pun.

Tante Kiara menatap Rex Adrian, memberi isyarat bahwa mereka siap. Rex Adrian mengangguk. Ia berdeham, memecah keheningan. Semua mata kini tertuju padanya.

Rex Adrian menatap Tiara dan Bram secara bergantian. Suasana hening, hanya ada suara dentingan sendok di dapur restoran.

"Terima kasih sudah datang," ujar Rex Adrian, memecah keheningan. "Langsung saja, kita di sini bukan untuk basa-basi. Kita di sini untuk membicarakan perbuatan anak-anak kita, terutama Fara dan Risa."

Tiara terlihat gelisah. "Rex, saya tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Putri saya tidak akan melakukan hal seperti itu," sanggahnya.

"Jangan mengelak, Tiara," jawab Rex Adrian dengan tegas. "Saya sudah tahu semuanya. Saya sudah punya bukti rekaman. Saya tahu putri Anda bekerja sama dengan Fara untuk menyebarkan fitnah tentang Valeria. Ini bukan hanya gosip biasa, ini adalah bagian dari taktik bisnis yang kotor."

Bram menatap Rex Adrian. "Aku sudah tahu, Rex. Aluna sudah menceritakan semuanya. Aku sudah dengar semua kebohongan Fara, dan bagaimana dia membuat Aluna takut," kata Bram, suaranya dipenuhi kekecewaan.

Mendengar nama Aluna disebut, Fara terkejut. Ia menatap papanya, tidak percaya bahwa Bram sudah mengetahui semuanya. Bram mengabaikannya, matanya masih terfokus pada Rex Adrian.

"Bram sudah tahu, Tiara, bagaimana Fara memanipulasi Aluna, membuat Aluna ketakutan, dan menuduhnya sebagai pengkhianat," lanjut Rex Adrian. "Dan saya tahu bagaimana putri Anda, Risa, digunakan sebagai alat untuk menyebarkan gosip ini di sekolah."

Rex Adrian kemudian mengeluarkan ponselnya. "Saya punya bukti, Tiara. Saya punya rekaman pengakuan dari putri Anda sendiri. Apakah Anda ingin mendengarnya?"

Tiara terdiam. Ia menatap putrinya, Risa, yang hanya menunduk dan tidak berani menatapnya. Fara melihatnya dan menatapnya penuh amarah, seolah menyalahkannya.

Tiara menatap Rex Adrian dengan sorot mata menantang. "Tapi kamu salah, Rex, jika mengartikan ini ada hubungannya dengan bisnis. Tidak ada sama sekali. Saya tidak tahu kenapa Risa bisa melakukan ini dan mau menuruti Fara," katanya, melirik ke arah Fara.

Ia melanjutkan, "Saya tahu kita rival bisnis, Rex, tapi saya tidak akan pernah mau melakukan suatu hal dengan cara seperti ini, apalagi dengan cara yang kekanak-kanakan."

Rex Adrian tersenyum tipis. "Saya tahu, Tiara. Saya juga berpikir sama. Namun, apa yang anak-anak kita lakukan ini memang terhubung dengan rivalitas bisnis kita," jawabnya dengan tenang, matanya menatap tajam ke arah Fara dan Risa.

Ia melanjutkan, "Masalahnya bukan hanya pada gosip. Anak-anak kita juga melakukan hal yang lebih serius. Ada motif yang lebih dari sekadar cemburu. Ini menyangkut masa depan bisnis dan keluarga kita."

Fara menatap Tiara dengan tatapan penuh amarah. Risa menunduk, takut akan tatapan mamanya. Bram hanya diam, mendengarkan semua yang dikatakan oleh Rex Adrian.

"Sekarang, saya minta kalian untuk jujur," kata Rex Adrian, beralih menatap Fara dan Risa. "Katakan semuanya kepada orang tua kalian."

Fara dan Risa saling melirik. Keduanya terlihat panik. Mereka tidak menyangka bahwa masalah ini akan sampai sejauh ini, hingga melibatkan orang tua mereka.

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!