Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Untuk Mereka
Udara di ruang sidang terasa dingin, begitu pula tatapan hakim pada Bu Ratmi yang duduk di kursi terdakwa. Hari itu, Bu Ratmi menjalani sidang perdananya sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Wajahnya yang biasanya sombong, kini terlihat pucat dan tegang. Ia menatap jaksa yang berdiri di depannya, suaranya terdengar tegas saat membacakan dakwaan.
"Saudari Ratmi, Anda didakwa atas kasus pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong yang merugikan Saudari Misha," kata jaksa, suaranya lantang. "Anda didakwa telah mengunggah video dan foto-foto Saudari Misha di media sosial dengan caption yang provokatif, yang menyebabkan Saudari Misha dihujat, difitnah, dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari masyarakat."
Hati Bu Ratmi mendidih. Ia tidak terima. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan emosinya.
"Anda juga didakwa telah menyebarkan berita bohong, bahwa Saudari Misha adalah wanita penggoda, wanita penghancur rumah tangga, dan wanita yang memiliki hubungan terlarang dengan seorang pria bernama Rendy Wicaksana," lanjut jaksa. "Padahal, semua itu tidak benar. Semua itu adalah fitnah belaka."
Bu Ratmi tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ia bangkit dari duduknya. "Tidak! Itu tidak benar! Dia memang wanita penggoda! Dia memang wanita murahan! Saya tidak berbohong!" teriaknya.
Hakim mengetuk palu. "Terdakwa, harap tenang! Anda diberi kesempatan untuk membela diri nanti! Sekarang, dengarkan jaksa!"
Bu Ratmi kembali duduk, namun ia masih misuh-misuh. Ia menatap tajam jaksa, seolah ingin membunuhnya.
"Atas perbuatan Anda, Saudari Misha mengalami kerugian materiil dan immateriil yang sangat besar," kata jaksa. "Reputasinya hancur, usahanya terganggu, dan ia mengalami trauma psikologis yang mendalam. Oleh karena itu, kami menuntut Saudari Ratmi untuk dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku."
Jaksa kembali duduk. Kini giliran pengacara Bu Ratmi yang berbicara. Namun, pengacara itu hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tidak bisa berbuat banyak. Bukti-bukti yang diajukan oleh Rendy terlalu kuat.
"Apakah terdakwa memiliki keberatan?" tanya hakim.
Bu Ratmi bangkit lagi. "Saya keberatan! Ini semua bohong! Saya tidak bersalah!" teriaknya. "Dia yang salah! Misha yang salah! Dia yang pantas dihukum! Bukan saya!"
Hakim mengetuk palu lagi. "Terdakwa! Jika Anda masih membuat gaduh, saya akan perintahkan petugas untuk mengeluarkan Anda dari ruang sidang!"
Bu Ratmi tidak peduli. Ia terus berteriak, memaki-maki. "Saya tidak takut! Saya tidak salah! Kalian semua bersekongkol! Kalian semua dibayar oleh Misha!"
Suasana di ruang sidang menjadi gaduh. Pengunjung yang hadir, termasuk Bu Susi, Bu Endah, dan Bu Nanik, menatap Bu Ratmi dengan tatapan iba. Mereka tahu, Bu Ratmi sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosinya.
Ia terus berteriak. Petugas pengadilan akhirnya dengan paksa menarik Bu Ratmi keluar dari ruang sidang. Bu Ratmi masih terus meronta, memaki-maki.
"Lepaskan saya! Saya tidak bersalah! Misha! Wanita sialan! Semoga kamu mati! Semoga kamu hidup menderita!" umpatnya.
Di luar ruang sidang, Misha yang sedang menunggu, mendengar teriakan Bu Ratmi. Hatinya terasa sakit. Ia tidak tahu, mengapa Bu Ratmi begitu membencinya. Ia hanya bisa berdoa, semoga hati Bu Ratmi bisa dilembutkan.
****
Di balik pintu kaca Warung Bahagia, hiruk pikuk siang hari terasa begitu hidup. Pesanan datang tanpa henti. Misha dan Bu Lastri hilir mudik, melayani para pembeli yang membeludak. Antrean panjang tak hanya memenuhi ruang dalam warung, tapi juga mengular hingga ke trotoar, bahkan ke bahu jalan. Hal ini membuat lalu lintas di gang itu menjadi tersendat.
"Mbak, nasi goreng satu ya!" teriak seorang pelanggan.
"Iya, Mas! Sebentar ya, antreannya panjang," jawab Misha sambil tersenyum ramah.
Di luar, suara klakson mobil bersahutan. Beberapa pengendara motor dan mobil terlihat kesal. Wajah mereka memerah, meluapkan kekesalan pada antrean yang mengganggu.
"Woi! Minggir dong!" teriak seorang pengemudi ojek online. "Antre kok sampai ke jalan! Bikin macet saja!"
Seorang pengendara mobil membunyikan klakson panjang. Ia membuka kaca mobilnya dan berteriak, "Tolong tertib! Jangan menghalangi jalan! Ini jalan umum, bukan cuma milik kalian!"
Pak Raharjo yang melihat keributan itu dari balik jendela dapur, segera keluar. Ia mencoba menenangkan para pengendara yang marah. "Mohon maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Mohon bersabar, ya. Kami akan segera atasi."
Namun, ucapan Pak Raharjo tidak banyak membantu. Kemarahan para pengendara semakin menjadi-jadi. Mereka menatap Pak Raharjo dengan tatapan penuh emosi.
"Atasi bagaimana?! Ini sudah macet parah!" teriak seorang pengendara. "Kalau warung kalian bikin macet, tutup saja sekalian!"
Ucapan itu membuat hati Pak Raharjo mencelos. Ia tidak menyangka, keramaian warungnya akan membawa masalah baru.
"Maaf, Pak," kata Misha, mendekati Pak Raharjo. "Ini salah saya. Saya seharusnya bisa lebih cepat."
"Bukan salah kamu, Misha," jawab Pak Raharjo. "Ini salah Bapak. Bapak tidak tahu kalau akan seramai ini."
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya datang. Ia memakai seragam oranye khas petugas kebersihan jalan. Ia menatap kerumunan itu dengan tatapan heran. "Ada apa ini? Kok macet sekali?" tanyanya.
Seorang pengendara motor menunjuk ke arah Warung Bahagia. "Ini, Pak! Warung ini bikin macet! Antreannya sampai ke jalan!"
Pria paruh baya itu menoleh ke arah Warung Bahagia, lalu tersenyum tipis. "Oh, Warung Bahagia. Warung ini memang terkenal, Mas. Masakannya enak. Mungkin Masnya bisa coba nanti."
"Enak apanya?! Bikin macet saja!" bentak pengendara itu.
Pria paruh baya itu hanya tertawa. Ia kemudian mengambil sebuah plang kecil, lalu menaruhnya di pinggir jalan. Di plang itu tertulis, "Mohon maaf atas ketidaknyamanan. Warung Bahagia sedang ramai. Mohon bersabar. Terima kasih."
****
Plang itu tidak banyak membantu. Pengendara masih saja mengeluh. Namun, setidaknya, mereka sedikit lebih tenang. Misha menatap pria paruh baya itu. Hatinya terasa hangat. Ia tidak menyangka, pria yang tidak ia kenal akan membela warungnya.
Sore itu, Pak Raharjo, Bu Lastri, dan Misha duduk di Warung Bahagia yang kini sudah sepi. "Kita harus mencari solusi, Pak," kata Misha. "Kita tidak bisa terus-terusan bikin macet."
"Iya, Nak. Bapak juga bingung," jawab Pak Raharjo. "Mau sewa tempat yang lebih besar, Bapak tidak punya uang."
Misha terdiam. Ia memikirkan semua ide. Ia ingin membantu Pak Raharjo dan Bu Lastri. Mereka sudah banyak membantunya, dan kini, giliran Misha yang harus membalas kebaikan mereka. Ia tahu, ia akan menemukan solusinya. Ia tidak akan menyerah.
****
Di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari Warung Bahagia, Rendy menyaksikan keributan yang terjadi. Hatinya ikut merasa tidak nyaman melihat Misha dan Pak Raharjo harus berhadapan dengan kemarahan para pengendara. Ia tahu, masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu.
Rendy mengambil ponselnya, lalu menelepon sekretarisnya. "Tolong carikan sebuah ruko di sekitar sini. Ukurannya harus lebih besar dari warung itu, dan yang paling penting, harus memiliki lahan parkir yang luas, jauh dari jalan raya utama."
Sekretarisnya mengangguk. "Baik, Pak Rendy. Saya akan segera mencarikan."
Rendy menutup teleponnya, lalu kembali menatap Warung Bahagia. Ia melihat Misha, Pak Raharjo, dan Bu Lastri sedang berunding, wajah mereka dipenuhi kebingungan. Rendy tersenyum tipis. Ia tahu, ia akan memberikan mereka kejutan.