Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Anak Haram
...•••...
"Jadi kemana perginya Tuan Benjamin, Benji?" Tanya Haya menyindir Ben yang tengah menyetir.
"Dia sudah pergi, jadi yang sedang bersama Nona saat ini adalah bodyguard pribadi Nona Hayaning." Jawab Ben sembari tersenyum simpul.
"Kalau begitu tanyakan pada Tuan Benjamin, apa dia menyukai Hayaning?"
Redam. Ben tidak menjawab, ia hanya melirik Haya sejenak sebelum kembali fokus menatap jalanan.
"Tch! Aku bingung dengan sikapmu Ben, padahal kamu yang bersikeras agar kita tetap dalam batas profesional tetapi kamu sendiri yang malah membingungkan." Hayaning semakin mengusiknya dengan sindiran.
Ben tetap diam, tetapi rahangnya mengeras. Hayaning bisa melihat bagaimana jemarinya menggenggam kemudi sedikit lebih erat, seolah sedang menahan sesuatu.
"Kamu tidak akan menjawab, ya?" Hayaning mendeseh, membuang pandangannya ke luar jendela.
Mobil terus melaju dalam keheningan, hanya suara deru mesin dan lalu lintas di luar yang terdengar. Tetapi di dalam mobil itu, ada ketegangan yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang mungkin bahkan Ben sendiri enggan paham dengan rasa ruwet dalam pikirannya.
"Ya, tidak apa-apa. Tidak usah dijawab, sebab aku sedang dalam suasana hati yang baik." Hayaning terkekeh kecil.
"Turut senang melihat Nona seperti ini," akhirnya Ben bersuara. Si banyak bicara yang semalam jenaka, kini justru lebih banyak terdiam.
Hayaning meliriknya sekilas sebelum kembali menatap keluar jendela. "Kenapa tiba-tiba pendiam?" tanyanya, nada suaranya terdengar ringan, tetapi penuh ketertarikan.
Ben tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi, seperti sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.
"Karena saya tidak mau menganggu kebahagiaan Nona, saya senang melihat kembali binar dimata nona Hayaning. Maka dari itu, tolong jangan redup lagi seperti hari-hari lalu."
Hayaning tersenyum samar. "Ya, semoga Benji."
Ben membalasnya dengan senyuman tipis, lalu ia menyalakan musik melalui head unit mobil.
Lagu dengan melodi lembut mengalun pelan, mengisi suasana menjadi rileks. Hayaning kembali menatap keluar jendela, sementara Ben tetap fokus mengemudi.
Perjalanan awalnya berjalan lancar, tetapi tiba-tiba ada kemacetan di depan sana. Ben melirik ke depan, memperhatikan banyak kendaraan yang mulai berhenti dan beberapa polisi yang tampak sedang mengatur situasi.
"Sepertinya ada kecelakaan, Nona," ucap Ben, matanya tetap fokus pada jalanan yang mulai melambat.
Hayaning menatap ke arah yang sama, melihat orang-orang yang berkumpul dan beberapa kendaraan yang terhenti tidak beraturan. "Kecelakaan serius?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya menyapu sekitaran.
Ben mengerutkan kening, menilai situasi sejenak. "Sepertinya. Ada beberapa petugas yang sudah berada di lokasi. Tapi, kita mungkin akan terjebak di sini untuk sementara waktu."
Hayaning menoleh kearah Ben, lalu kembali menatap jalan yang kini terhalang kendaraan.
"Kapan kita bisa lewat?"
"Sepertinya tidak sebentar. Polisi akan mengatur jalur dan memastikan keadaan aman. Sementara itu, kita harus sabar menunggu."
"Heum, baiklah."
Entah mengapa, Haya terpaku kepada kerumunan di depan sana dan juga tetiba perasaannya mendadak gelisah.
Hayaning memutuskan untuk menelpon suster Lastri, semoga saja tidak terjadi apa-apa.
"Hallo Sus, ibu baik-baik aja kan?"
"Ibu agak rewel Nona, beliau pingin cepat-cepat bertemu Nona."
"Aduh, aku kejebak macet nih, Sus. Ada kecelakaan di depan, tolong sampaikan sama ibu pelan-pelan, aku pasti segera datang setelah jalannya lancar," kata Hayaning dengan suara sedikit cemas.
"Saya akan sampaikan, Nona," jawab Suster Lastri dengan tenang. "Jangan khawatir, ibu memang agak gelisah, tapi beliau mengerti. Yang penting Nona hati-hati di jalan."
"Terima kasih, Sus," balas Hayaning, lalu menutup teleponnya dengan cepat.
Ia kembali menoleh ke arah Ben, melihat pria itu tetap fokus pada jalan meski mobil tidak bergerak. Rasa cemas di dadanya semakin menjadi, terjebak dalam kemacetan seperti ini, ia merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.
Seperempat jam berlalu juga dan mereka kini sudah berhasil keluar dari kemacetan, tak ada suara dari keduanya selama menunggu, entah tetapi Haya tiba-tiba tak bisa berpikir jernih, seperti ada yang mengganjal dipikirannya.
"Ponselnya Nona berbunyi," ucap Ben memberitahu, Haya segera mengangkat panggilan dari Suster Lastri.
"Kenapa? Sus... Kenapa suara Suster bergetar?" Tanya Hayaning makin pekat cemasnya. Benar ternyata, ada yang tidak beres.
"Nona... Ibu loncat dari lantai tiga,"
"Sus? Jangan bercanda..." Getir meliputi suara Hayaning hingga fokus Ben teralihkan.
"Nona... Cepatlah datang," tak ada lagi yang bisa dikatakan suster Lastri sebab ia saja syok ketika melihat ibu Luna sudah j*tuh dari rooftop lantai tiga, menyentuh lantai utama dengan keras dan... ah kondisinya sangat menakutkan untuk dideskripsikan.
Ketika panggilan itu mati, Ben lekas menanyai nona nya yang kembali memasang raut wajah seperti hari-hari kemarin.
"Ada apa Nona? Apa yang terjadi? Ia pun sama paniknya ketika matanya menatap sorot itu yang sudah kosong, tak ada binar lagi sedikitpun.
"Jalan Ben, cepat aku mau ketemu ibu... Cepat Ben.. cepat..." Hanya itu saja yang mampu Haya katakan dengan tak sabar, ia terdiam lagi, terdiam bagaikan seseorang yang jiwanya kembali tertinggal di tempat lain.
Ben tak bertanya, ia segera menekan pedal gas, membawa mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya. Tidak ada suara dari Hayaning, tidak ada protes seperti biasanya ketika Ben menyetir lebih agresif.
Matanya kosong, tangan Haya mencengkeram erat ponselnya seolah masih berharap panggilan tadi hanyalah mimpi buruk yang bisa ia hapus dengan satu tarikan napas.
"Jangan diam seperti itu, Nona," Ben ternyata tidak bisa redam, ia mendapatkan ketakutan yang lebih besar ketika melihat sorot itu lebih kosong.
Hayaning tetap terdiam. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tidak beraturan. Sebuah sensasi asing merayapi dirinya—ketakutan, cemas, dan rasa tidak percaya bercampur menjadi satu hingga ia bahkan tak bisa berpikir jernih.
"Ibu... ibu ngga mungkin..." gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
"Fuck!" Deru nafas Ben menderu kasar ketika Hayaning benar-benar dalam emosi yang tak stabil.
•••
"IBU NGGA MUNGKIN MELAKUKAN ITU! IBU INGIN BERTEMU DENGANKU, PUTRINYA... JADI NGGA MUNGKIN!"
Teriakan Hayaning menggema, memecah keheningan di antara kerumunan yang menyaksikan jasad itu tengah ditangani oleh polisi.
Ben refleks meraih pergelangan tangan Hayaning, menahannya agar tidak melangkah lebih jauh ke arah kerumunan. Ia bisa merasakan tubuh perempuan itu gemetar hebat.
"Nona, jangan begini..." Ben berusaha menenangkan, tetapi Hayaning menepis tangannya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku, Ben!" suara Hayaning bergetar, matanya memerah. "Aku harus lihat ibu... Aku harus lihat sendiri kalau itu bukan ibu!"
Orang-orang di sekitar mulai berbisik, beberapa dari mereka menatap dengan iba, sementara yang lain tampak tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Suster Lastri akhirnya muncul dari balik kerumunan, wajahnya penuh kecemasan.
"Nona... Mari kita bicara di dalam," pintanya, tetapi Hayaning tidak bergeming.
Dengan langkah terhuyung, ia berusaha menerobos barisan polisi yang sedang mengamankan lokasi. Namun, Ben kembali menahannya, kali ini lebih erat.
"Hayaning!" suara Ben sedikit meninggi, bukan untuk membentak, melainkan untuk menariknya kembali ke kenyataan. "Jangan melihatnya sekarang, tolong..."
Hayaning menatapnya dengan mata penuh amarah dan kesakitan, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan. Perlahan, kakinya kehilangan kekuatan, dan jika saja Ben tidak sigap menangkapnya, ia mungkin sudah jatuh berlutut di jalanan.
"Ibu..." bisiknya, emosinya pun hanyut dan ia tak lagi berekspresi apapun.
•••
"Ibu masih bersama saya beberapa saat lalu, tangannya menggenggam foto Nona Hayaning yang masih belia, lalu ia berkata. 'anaku cantik ya Sus, Hayaning nya ibu cantik..."
"Lalu ia bertanya untuk yang kesekian kali, kapan putrinya akan tiba, kapan Hayaning akan datang."
Suster Lastri menangis terisak, penuh penyesalan. Ia merasa sangat bersalah karena telah meninggalkan Ibu Luna, meskipun hanya untuk sejenak membuang hajat kecil. Begitu ia kembali, Ibu Luna sudah tidak ada di kamar perawatan. Jejak noda merah yang tertinggal di lantai akibat infus yang terlepas dengan paksa membuat suster Lastri semakin panik. Langkahnya segera mempercepat, berusaha mencari keberadaan Ibu Luna dengan penuh kecemasan pada saat itu.
"Sampailah ditemukan ibu Luna, ketika mendengar teriakan seorang perempuan dari arah lantai bawah." Semakin gemetar t*buh suster Lastri, lalu ia melanjutkan ucapannya, "Ibu Luna ditemukan, sudah bersimbah d*rah, keadaannya mengenaskan..."
Ben tentu saja merasa janggal. Ia yakin ada seseorang yang memang sudah merencanakan dan mengatur semua ini.
Pikiran itu melintas begitu saja di benaknya—sebuah firasat kuat yang sulit diabaikan. Ibu Luna begitu ingin bertemu Hayaning, namun justru berakhir seperti ini? Sesuatu terasa tidak masuk akal.
Ben mempererat pelukannya, merasakan tubuh Hayaning yang terasa begitu ringan, begitu rapuh dalam dekapannya. Perempuan itu masih diam, tak bereaksi sedikit pun.
"Fuck! Aku tidak bisa meninggalkan Hayaning sendirian," batin Ben. Matanya menajam, menatap di sekitar mereka. Pasti ada sesuatu—atau seseorang di balik semua ini.
Ia merogoh kantung celananya, lalu segera mendial nomor salah satu pengawal kepercayaannya.
"Segera lakukan, cari jejak yang tertinggal," perintahnya tegas setelah panggilannya tersambung.
"Dimengerti, Tuan," suara di seberang langsung merespons tanpa banyak bertanya.
Ben mengembalikan ponselnya ke saku, lalu menoleh ke arah Hayaning yang masih tak menunjukkan ekspresi apa pun. Matanya kosong, bibirnya sedikit terbuka, seolah masih berusaha memahami kenyataan yang baru saja menghantamnya.
Tak lama kemudian, Polisi datang memintai keterangan, dan mereka memberikan selembar surat yang tersimpan rapi di saku pakaian Ibu Luna.
Ben meraih surat itu dengan tangan kokoh, namun tak segera membukanya. Rahangnya mengatup rapat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang berputar cepat.
"Ini ditemukan di saku beliau," ujar salah satu petugas dengan nada hati-hati. "Mungkin ini penting untuk keluarga. Kami juga perlu mencatatnya sebagai barang bukti. Sejauh ini, kami baru bisa menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri."
Ben mengangguk pelan sebelum menoleh ke arah Hayaning. Perempuan itu masih terpaku, seolah tak sadar akan keadaan di sekelilingnya. Hatinya mencelos.
"Kami juga akan melakukan autopsi atas izin keluarga," lanjut petugas. "Bagaimanapun, ada kejanggalan dari insiden ini."
Ben kembali menatap surat di tangannya. Ia tahu, jika ada yang janggal, maka ini bukan sekadar tragedi biasa. Namun, yang lebih ia khawatirkan sekarang adalah Hayaning—perempuan itu masih tak bereaksi, seolah membiarkan dirinya tenggelam dalam keterpurukan.
"Haya..." Ben berbisik, mengguncang tubuhnya perlahan. "Saya di sini, jangan tenggelam dalam pikiranmu sendiri." Ia menepuk-nepuk pipi perempuan itu, tetapi ia masih tak bergeming. Hayaning tetap diam, membuat Ben semakin waspada. Ia harus segera membawanya pergi dari sini sebelum perempuan itu benar-benar runtuh.
Ben mendekat, meletakkan tangannya di bahu Hayaning dan menunduk sedikit untuk menatapnya lebih dekat. "Hayaning... Kita harus pergi dari sini."
•••
"Karma buat lo anak haram!" Pekik Diandra, kakak keempat Hayaning dengan suara emosional yang meluap-luap.
"Itu karena lo udah rebut kebahagiaan keluarga gue!"
Bara, sang kakak tertua menahan Diandra yang ingin menghampiri adik bungsunya.
"SUDAH DIANDRA, HENTIKAN!" Seru Bara dengan suara memekik agar adiknya ini berhenti memaki-maki Hayaning.
Miris sekali memang hidup Hayaning, bukannya disambut dengan pelukan menenangkan, ia malah disambut dengan makian-makian yang memojokkan nya.
Ben tak terima Hayaning dihina-hina, padahal perempuan ini tengah terguncang hebat psikologisnya. "Saya tidak menyangka, anggota keluarga Nona Hayaning seberacun seperti ini, menjijikan, bedebah. Kalian semuanya monster, bersngsek!"
Suasana menjadi tegang seketika. Diandra menggeram, matanya menyala penuh kebencian saat mendengar ucapan Ben. Bara masih menahan tubuhnya agar emosi adiknya tidak menjadi-jadi, sementara kakak-kakak lain hanya memandang tanpa niat menghentikan konflik ini.
Hayaning tetap diam, berdiri di tengah-tengah semua itu seperti sosok yang tak memiliki tempat.
"Beraninya lo bicara seperti itu?!" bentak Diandra, berusaha melepaskan diri dari pegangan Bara. "Ini urusan keluarga kami! Lo cuma orang luar, jadi minggir sebelum—"
"Sebelum apa?" Ben menyela dengan suara rendah nan tajam. Matanya menatap mereka dengan penuh penghinaan. "Sebelum kalian menyalahkan dia lebih jauh? Sebelum kalian merobek-robeknya dengan kata-kata kalian yang busuk?"
Tidak ada yang menjawab.
Ben menghela napas kasar, rahangnya mengatup kuat. Ia melirik sekilas ke arah Hayaning yang masih diam, lalu kembali menatap keluarga itu dengan sorot dingin. "Saya tidak peduli siapa kalian atau seberapa besar kebencian kalian, tapi mulai sekarang, jangan pernah coba-coba menghinakan Nona Hayaning lagi. Jangan pernah berani untuk menyentuhnya, sebab saya tak akan tinggal diam." Ujar Ben menggertak.
Setelah mengatakan itu, ia meraih tangan Hayaning dan menariknya pergi dari sana tanpa menunggu izin dari Hayaning.
"Bodyguard sialan!" Pekik Diandra tak terima.
•••
Ben membawa Hayaning ke kediamannya. Ia mendudukkannya di sofa kamarnya dengan hati-hati. Ia bergegas ke dapur, menuangkan segelas air putih, lalu kembali dengan langkah cepat.
"Minum dulu, Nona. Ayo..." ujar Ben, suaranya lembut sekali.
Hayaning tidak merespons. Tatapannya kosong, masih tenggelam dalam keterpurukan yang membekapnya sejak tadi. Ben menghela napas, lalu berjongkok di depannya, menatapnya dengan penuh kesabaran.
"Kalau Nona terus begini, saya tidak akan tinggal diam," lanjut Ben, suaranya lebih lembut kali ini. Ia menyodorkan gelas itu lebih dekat. "Tolong... minum dulu, seteguk saja."
Namun, Hayaning tetap diam. Wajahnya datar, tak menunjukkan emosi apa pun. Perlahan, Ben menarik kembali gelas itu dan meletakkannya di atas meja.
Ia mengepalkan tangan, menahan frustrasi. Ben gelisah melihatnya seperti ini, lebih dari yang kemarin—begitu hancur hingga kehilangan cahaya di matanya.
"Non—Hayaning, jangan seperti ini..." Ben berbisik, menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menepuk pipi perempuan itu dengan pelan, mencoba membawanya kembali kepada kenyataan. "Berteriaklah, menangis, pukuli saya kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Jangan diam seperti ini..."
"HAYANING!!" Teriak Ben tercekat, cemas melingkupi seluruh jiwanya. "Hey.... Ayok lihat saya, teriaki saya, marah pada saya, pukuli saya, sakiti saya. Jangan seperti ini Haya, come on little Rose!" Ben mengucapkannya kembali sembari mengguncang tubuhnya. Ia ingin Hayaning meluapkan emosinya, ia ingin Haya mengekspresikan rasa sedihnya.
Tetapi tetap sama. Tak ada reaksi.
Sial!
Ben semakin mengeratkan rahangnya, lalu tanpa berpikir panjang, ia menarik tubuh Hayaning ke dalam pelukannya erat, seakan mencoba memberikan kekuatannya.
Dalam dekapan hangat itu, usaha dan upaya Ben akhirnya membuahkan hasil, membuat Hayaning kembali bereaksi.
"Benji..."
Ben lega sekali mendengarnya, ia renggangkan pelukannya dan segera menangkup wajah Haya dengan lembut.
"Iya Hayaning, ini saya Benji, saya ada disini."
"Ben...ibuku... ibuku..."
Ben mengangguk cepat. "Iya, saya tahu, Haya... Saya tahu," suaranya penuh ketenangan, tapi matanya menyiratkan kepedihan mendalam.
Sejenak, Hayaning hanya menatapnya, bibirnya bergetar, napasnya tersengal seperti sedang menahan sesuatu yang begitu besar di dadanya. Lalu, seolah tali yang mengekang emosinya terputus begitu saja—Tangisnya pun pecah.
"Ibuku, Ben... Ibuku pergi... Ibuku—" Suaranya patah-patah, tangisnya semakin keras, lirih, rintih, sampai mengguncang tubuhnya sendiri.
Ben membiarkannya. Ia membiarkan Hayaning mencengkram jasnya, memukul dadanya, mencurahkan semua amarah, kesedihan, dan ketakutannya yang ia pendam.
"Kenapa... kenapa aku ngga bisa menyelamatkan ibu? Kenapa aku ngga ada di sana?"
Ben mengusap punggungnya, membiarkan perempuan itu meronta sepuasnya, melakukan apapun yang dapat membuat emosinya teruraikan.
"Ibu... Argghhhh..."
Hayaning berteriak begitu kencang, suaranya menggema di ruangan, penuh dengan kepedihan yang menguar dalam sanubarinya yang hancur.
Ben tetap di sana, tetap memeluknya, meskipun hantaman tangan kecil Hayaning mengenai dadanya berulang kali. Ia tidak mengelak, tidak mundur, membiarkan perempuan itu menyalurkan kesakitannya dengan cara apa pun yang bisa ia lakukan.
Akhirnya, setelah lama menguarkan emosinya, Hayaning mulai kelelahan. Pukulan-pukulan itu mereda, dan Ben mulai erat merengkuhnya, menenangkan tubuhnya yang mulai lemas. Tanpa sadar, Ben mengecup kening Hayaning berulang kali, sebuah tindakan spontan yang keluar dari hati, mencoba memberikan sedikit kenyamanan dalam keputusasaannya.