Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat
"Evan, apa kamu menyakiti Lika? Kamu memukulnya?" tanya papa dengan tatapan mengintimidasi.
Mungkin saja putranya ini pria yang ringan tangan dan memukuli menantunya.
"Tidak, pa! Aku tidak pernah memukulnya sama sekali!" bantah Evan. Ia tidak pernah melakukan hal seperti itu.
"Malik, kamu jangan bicara sembarangan!" kini Evan bicara pada Lika. Tidak terima tuduhan seperti itu.
"Tuh kan , Pa. Om Evan pemarah!" adu Lika. Evan kembali ke setelan awal.
"Lika katakan pada papa, apa saja yang dilakukan Evan padamu?" tanya papa akan memastikan kembali.
Pria paruh baya itu tahu putranya terpaksa menikah, tapi tidak boleh kasar juga dengan istrinya.
"Om Evan sering menyentil kening Lika, menarik hidung bahkan mencubit pipi juga, pa!" itu kdrt yang Lika maksud. Karena saat Evan melakukan itu, ia merasakan sakit. Ia disiks pria itu.
Papa dan mama jadi menahan senyum mendengar penjelasan menantu mereka. Ternyata itu kdrt yang dimaksud.
Dan Evan menggeleng melihat si Malik mengadukan hal itu. Memang bocah lah.
"Terus om Evan sering manggil Lika, Malik-Malik, pa." ia juga tidak suka dipanggil seperti itu. Jadi diadukan saja semua, biar Evan tidak memanggilnya seperti itu lagi.
"Namamu kan memang Malik!" timpal Evan. Ia tidak salah, memang namanya begitu.
"Malika, om Evan. Bukan Malik!" protes Lika penuh penekanan. Malik-Malik-Malik, seperti nama pria saja.
"Sudah-sudahlah!" mama pun menengahi. Jika Evan dan Lika seperti ini, yakin sekali keduanya keseringan berdebat dan tidak pernah akur. Bagaimana mau menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis.
"Lika, nanti biar mama nasehati Evan ya supaya jadi suami yang baik dan bertanggung jawab pada istrinya." ucap mama sambil tersenyum. Putranya harus sering dinasehati.
Lika loading sejenak, kok malah dinasehati begitu. Maksudnya kan ingin pernikahan ini segera dituntaskan. Mereka bercerai segera.
"Benar, nanti papa juga akan menasehati Evan. Bagaimana pun suami harus bisa membimbing istrinya. Menjadi kepala keluarga yang bijak dan bertanggung jawab." jelas papa. Ia akan menasehati putranya untuk menerima pernikahan ini.
Meskipun Lika belum dewasa, Evan harus bisa lebih bijak dalam menyikapinya. Keduanya hanya masalah waktu saja.
Lika makin terdiam. Papa sama saja dengan mama. Malah mendukung untuk tetap bersama. Ia ingin perceraian.
"Evan, papa mau bicara sama kamu!"
Evan melirik Lika dengan sengit. Ia pasti akan dinasehati habis-habisan. Memanglah si Malik itu bocah kematian yang menyebalkan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Kini di ruang kerja sang papa, Evan duduk sambil menundukkan kepala. Sepertinya ia akan disidang.
"Evan-"
"Pa!" sela Evan cepat. Ia tidak bisa terus begini. "Aku tidak yakin dengan pernikahan ini."
Terdengar suara hembusan nafas kasar setelah perkataan pria itu.
"Mau kamu apa, Evan?" tanya sang papa. Ia tidak mengerti dengan anak semata wayangnya.
"Aku tidak bisa bersamanya." ucap Evan kembali. Ia harus mengatakan penolakannya.
"Papa lihat sendiri. Malik-,Malika itu masih labil dan sifatnya masih kekanak-kanakkan." jelas Evan. Tidak ada harapan dari pernikahan iki.
Menurut Evan, si Malik itu belum siap menikah. Seharusnya wanita masih menikmati masa mudanya.
"Lagian dia juga ternyata tidak hamil. Aku seharusnya tidak jadi bertanggung jawab." ucap Evan kembali. Ia melihat papanya dan langsung menundukkan kepala. Wajah papa mulai menyeramkan.
"Jadi kalau Lika tidak hamil, kamu mau lepas tanggung jawab?" tanya papa dengan sorot mata tajam. Evan sudah tertangkap basah tidur bersama Lika. Jadi harus mempertanggung jawabkan meski Lika tidak hamil.
"Ta-tapi, pa-".
"Tidak ada tapi-tapi. Kamu harus tanggung jawab sampai akhir. Terimalah pernikahan mu ini Evan. Ini pernikahan keduamu!"
"Tapi, pa-"
"Jika sampai kamu berpisah dari Lika, lihat saja!" ancam papa. Meski terkesan egois dan tidak memikirkan perasaan putranya, papa yakin ini yang terbaik untuk Evan.
"Saat ini Lika masih terlalu muda dan kekanak-kanakkan seperti yang kamu bilang, dan seiring berjalannya waktu semua bisa berubah. Jangan sampai terulang kembali seperti Aura. Kamu menceraikan Aura dan 5 tahun kemudian, kamu kembali mengejarnya!" jelas papa mengingatkan Evan akan pernikahannya pertamanya.
Setelah 5 tahun berlalu, Evan pun menyesal telah menceraikan Aura dan berharap bisa kembali lagi.
Saat itu Aura sama seperti Lika, berusia 20 tahun juga saat menikah dengan Evan.
Evan diam. Aura dan si Malik itu sangat berbeda. Meski sama-sama berusia 20 tahun, Aura tidak sebocil ini. Sifatnya tidak kekanak-kanakkan.
Tapi si Malik, beda jauhlah. Kekanak-kanakkan sekali sifatnya. Ia benar-benar menikahi anak di bawah umur.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Beberapa saat kemudian, mobil melaju cukup kencang menuju rumah.
"Om, tadi bicara apa sama papa?" tanya Lika ingin tahu. Ia melihat pada pria yang fokus menyetir. Jangan lupakan wajah pria itu yang seperti kanebo kering.
Evan malas menanggapi pertanyaan Lika. Ia masih tidak rela menjalani pernikahan dengan anak bau kencur di sampingnya.
Papanya tetap memaksa, meski ia sudah mengatakan penolakan. Tapi malah papa bersikeras untuk mencoba bertahan.
"Om Evan!" panggil Lika kesal sekali. Evan malah diam saja. Apa sedang sariawan?
"Kamu ini berisik sekali, aku pusing tahu!" ucap Evan sambil membuang nafasnya berkali-kali.
Lika mendengus. Ia yakin sekali kalau tadi Evan dimarahi sama papa. Makanya pak tua itu harus baik-baik padanya, biar ia tidak mengadu.
Kini Evan sudah berada di kamar. Ia membaringkan tubuh di tempat tidur empuknya. Tubuh terasa lelah dan butuh istirahat.
Ting, ponselnya bunyi pesan masuk.
Evan membuka pesan tersebut. Ada nomor baru yang meneleponnya.
08xx: selamat malam om Evan
08xx: saya Amel, temannya Lika
08xx: salam kenal ya om
Dahi Evan mengernyit membaca pesan tersebut. Temannya Lika mengirim pesan.
Evan melempar ponsel ke bantal, ia mengabaikan pesan tersebut. Baginya tidaklah penting. Karena sekarang ia mau tidur.
Tok,
Tok,
Tok,
Baru terpejam terdengar suara ketukan pintu yang cukup kuat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan bocah kematian itu.
Papa meminta untuk bertahan dengan si Malik dengan sifatnya yang seperti ini. Hari sudah malam dan si Malik menggedor pintu seperti hari masih siang. Tidak tahu aturan.
Tok,
Tok,
Tok,
"Om Evan, buka pintunya atau aku dobrak nih!!!" teriak Lika dari luar. Menggedor pintu dengan tidak sabaran.
"Arghhh!" Evan kesal sekali dibuatnya.
Dengan terpaksa Evan bangkit dan membuka pintu. Kini menatap Lika dengan tatapan membunuh.
"Om Evan, kena-"
Belum lagi Lika menyelesaikan ucapannya, Evan menutup mulut berisik itu dengan telapak tangan besarnya.
"Kamu berisik sekali, ini sudah malam akhhh!" ucap Evan lalu meringis kesakitan. Si Malik menggigit telapak tangannya.
"Tangan om Evan bau! Om baru cebok ya!" Lika mengelap-ngelap mulutnya dengan wajah jijik.
"Astaga!"
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁