Sebuah cerita tentang anak kampus yang bernama Grace yang kuliah di sebuah universitas terkenal. Memiliki wajah cantik, namun sifatnya keras kepala dan selalu melakukan kecerobohan hingga di setiap harinya selalu ada pertengkaran dengan seorang pria yang lebih tua setahun darinya.
Ethan, pria yang juga satu kampus dengan Grace namun memiliki sifat yang kebalikan dari gadis itu. Populer di kalangan para gadis, yang ternyata diam-diam menyukai sosok Grace yang diakui sebagai adiknya.
Namun, ternyata Grace telah menyukai orang lain, dan itu adalah Leon, teman dekat Ethan. Namun ternyata di balik itu ada hal membuat mereka mengalami berbagai halangan hingga kehidupan mereka memiliki konflik dan emosi yang komplek serta pertikaian yang kadang bisa merubah semuanya dan melewati masa-masa itu. Namun, Ethan segera menemukan bahwa cintanya tidak bisa membuat mereka tetap bersama. Karena ada hal yang menjadi hambatan, penasaran dengan kisah kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiavieth Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Beginikah rasanya menyukai seseorang?" Ethan mengutak-atik ponselnya karena bosan. "Kami sudah tumbuh bersama sejak kecil, rasanya tak mungkin jika kami bersama." Helaan nafasnya terdengar dipaksakan.
"Grace bukan hanya adikku, tapi dia seperti rumah yang memberikan sandaran untukku. Dia selalu menemaniku sejak mama dan papa sibuk dengan pekerjaannya."
Ethan memutuskan untuk keluar dari kamar, menuju dapur. Seperti biasanya, Grace akan bangun lebih pagi untuk memasak cake sebagai menu sarapan mereka. Bukan hanya itu, belakangan ini Grace terlihat lebih rajin membuat menu dessert yang di jual di kafe-kefe mewah yang terkenal.
"Kak Ethan, sini bantu aku sebentar!" Yang dipanggil dengan senang hati berjalan menuju kearahnya.
"Kamu masak apalagi hari ini?"
Grace mendorong tubuhnya bergeser dari sana. "Nanti akan kuberitahu, sekarang bantu aku membeli satu galon air. Kita kehabisan stok dirumah."
Huh! Wajah senang tadi berubah masam. "Aku harus membelinya kemana? Ini masih pagi sekali..."
"Di terminal jarak dua kilo dari sini."
Dua kilometer itu bukan jarak yang dekat, Ethan agak kesulitan untuk menyetujui perkataan Grace. Melihat ekpresi yang demikian, tiba-tiba gadis itu terbahak tanpa berhenti.
"Apa lagi kali ini? Tunggu, kamu baru saja mempermainkanku bukan?" tanya Ethan dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Suara tawa itu semakin meledak, Ethan mengerucutkan bibirnya, lalu berencana pergi. "Kak Ethan, tunggu! Kamu masih belum membantuku."
Ethan tak menggubris, ia lanjut terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. "Tadi kamu mengerjaiku, sekarang giliranku." Diam-diam Ethan menyengir di belakangnya.
"Kak Ethan..." Teriakannya itu terus terdengar.
"Nanti saja... Aku harus mandi dan bersiap pergi ke kampus. Bukankah kamu juga harus menyiapkan diri? Cepatlah, jika tidak kita akan kesiangan nanti."
Kesibukan Grace di dapur, kadang membuat terlambat tiba di kampus.
Matahari sudah bersinar terik, sesuai dugaan hal yang dicemaskan. Jalanan yang mereka lalui begitu macet, ditambah lagi deretan mobil saat lampu merah menyala membuat gerah para pengendara.
Begitu pergantian lampu hijau, Ethan melajukan motornya sekencang mungkin, itu tak menutup kemungkinan mereka lakan tiba di kampus dalam waktu singkat.
"Than, aku masuk duluan ya." Lagi-lagi dia tak peduli dengan orang lain, panggilan yang berubah seketika sudah biasa didengarnya.
Ethan fokus bejalan, dengan cepat menyusul Grace. Ketika ia hampir tiba di lokal tujuannya, tiba-tiba tak jauh dari sana Leon menyapa. "Akhirnya kamu datang juga, aku udah nungguin kamu daritadi." ujarnya sambil menepuk pundak Ethan.
"Kenapa emangnya?" Ethan terlihat tak peduli dan terus berjalan.
Menyadari itu Leon berdiri dihadapannya agar dia berhenti. "Yah, ketinggalan informasi. Kita terpilih masuk ke Kompetisi Teknologi Nasional di tingkat inovator muda, Than. Masa kamu nggak dikasih kabar." Mulutnya bahkan meruncing ketika menyampaikan kabar itu.
"Trus kenapa emangnya?" Ekpresi Ethan masih sama, Leon di muat sebal olehnya.
Huh! Helaan nafasnya terdengar kasar.
"Kamu masih nanya? Kita itu di suruh ikut lomba sama dosen dan ini nasional, universitas lain juga ikutan, kamu sanggup melawan mereka? Aku dapat kabar kalau Universitas Hirgwerd terkenal Paling jago masalah teknologi." Ethan menaikkan sebelah alisnya yang membuat Leon semakin gusar.
"Ya udah, aku cuma mau kasih tau itu aja. Pokoknya kamu tak boleh menolak, karena nama kita sudah tercatat dalam list!"
Setelah berbicara, Leon langsung masuk ke lokal. Jika saja dosen mereka tak segera tiba, mungkin Leon masih akan berceloteh panjang lebar tanpa jeda pada Ethan. Ah, dasar Ethan!
Sosok Ethan hanya tersenyum miring, langkahnya begitu santai sama sekali tak cemas sang dosen akdn memarahinya.
"Morning all!"
Dalam hal penjelasan materi hari ini, Ethan tampak begitu fokus dan serius sekali. Namun, tak lama setelahnya pintu diketuk mengetuk seseorang masuk, dan mendekati sang dosen lalu membisikkan sesuatu di telinganya.
Bisik-bisik terdengar, semua orang bertanya-tanya, hingga deheman di sertai suara batuk terdengar. "Saya harap nama-nama yang di sebut, segera maju dan ikut dengan kami."
Ketika nama Ethan di sebut, dia tak kaget lagi karena Leon sudah memberitahu hal ini sebelumnya. Mereka yang berjumlah sekitar lima orang segera maju untuk melakukan persiapan kompetisi.
Di laboratoriumnya, Ethan menghabiskan waktu berjam-jam untuk merancang dan membangun sebuah prototipe perangkat yang revolusioner. Meski awalnya terdengar sepele, namun Ethan cukup percaya diri bahwa teknologi buatannya dapat menjadi alat berguna untuk mengubah dunia.
Pada hari kompetisi, Grace begitu antusias menyiapkan poster pendukung untuk Ethan. Pagi-pagi dia telah membuat seisi kamarnya seperti kapal pecah. Saat memasuki kamarnya, Ethan begitu terkejut, "Grace, kamu sedang apa?"
Gadis itu hanya menyengir, diam-diam Ethan tersenyum sendiri melihat ekspresinya. "Cepatlah, sebentar lagi acaranya dimulai. Aku harus di sana lebih awal."
***
Di gedung M. Syafei, keadaan begitu ramai dengan semua orang berkumpul di sana. Baik di luar, maupun di dalam gedung, semua orang melihat kemampuan para inovator muda yang berbakat.
Ethan dengan percaya diri mempresentasikan proyeknya di hadapan para juri dan peserta kompetisi. Semua orang bisa melihat bagaimana caranya menjelaskan cara perangkatnya mengatasi masalah transportasi yang ramai dan polusi udara di kota-kota besar.
Sebenarnya Ethan hanya ingin menunjukkan bagaimana teknologi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi semua orang di daerah terpencil.
Hal itu membuat para juri terkesima dengan inovasi yang di kembangkan Ethan. Mereka bahkan tampak berdiskusi kecil di belakang layar, namun belum memungkinkan baginya bisa menang.
Begitu Ethan selesai, sorak-sorai disertai tepuk tangan terdengar riuh sekali, Grace segera menghampiri Ethan karena melihat peluh disertai keringat yang bercucuran di dahinya. "Than, minum dulu nih," ujarnya sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Berbicara panjang lebar membuat dirinya cepat haus. Bersyukurnya, Ethan bisa memiliki sosok Grace yang selalu siap dimana pun.
Ketika acara selesai, sambil menunggu hasil akhirnya, Ethan kembali dipanggil untuk diwawancarai secara pribadi. Bahkan salah satu juri memberi komentar positif, "Proyekmu luar biasa, kamu telah membuktikan bahwa anak muda memiliki pemikiran yang luar biasa dalam inovasi teknologi, seharusnya para anak muda sebayamu menjadikan itu sebagai contoh nyata untuk ditiru."
Kata-kata itu membuatnya semakin terdorong untuk terus maju. "Terima kasih atas dukungannya, Pak. Saya hanya berharap ini dapat menginspirasi semua orang untuk mengejar passion mereka di bidang teknologi."
***
Dua tahun kemudian…
Grace tersedak mendengar salah satu teman sekantornya berbicara. "Kamu ngomong apa sih?” tanyanya sambil membersihkan hidungnya yang terkena percikan minuman.
Melihat ekspresi Grace, lawan bicaranya hanya menjawab dengan tawa. "Masa kamu nggak penasaran sama bos kita sih, padahal semua orang sedang membicarakan ini di luar.”
“Oh ya?” Grace mengerutkan dahinya, berusaha mencerna ucapan Shan Shan, rekan kerjanya.
“Jelas. Pak Raffaele itu wakil ketua di perusahaan ini, kamu terlalu sibuk bekerja, makanya nggak pernah lihat wajah tampannya. Aku malah berharap bisa menjadi pacarnya.” Shan Shan berkhayal.
Semua orang disekitar Grace terdengar memuji sosok Juan, sementara ia hanya bisa mengangguk seolah setuju dengan pendapat mereka. Yah, setidaknya itu bisa membuatnya tenang bekerja.
Siapa yang tidak menginginkan seorang pria kaya dan tampan. Jika hanya membahas itu, Grace sama sekali tak terpengaruh.
Pernah suatu kali seorang rekannya kembali memuji pria yang sama, namun ia malah balik bertanya pada teman sekantornya. "Apa dia setampan yang kamu katakan itu? Perasaan kulihat dia biasa saja.”
Sebenarnya Grace sudah cukup lelah mendengarnya. Namun saat;berkata demikian, ia malah mendapat respon negatif dari orang di sekitarnya. "Hei, kamu nggak tahu membedakan pria tampan dan pria buruk. Mungkin kamu yang nggak punya selera normal.” Shan Shan menjadi orang utama yang membantah ucapan Grace.
Sebagai karyawan magang yang baru enam bulan bekerja, dia harus melakukan setiap pekerjaan di setiap menit dan detiknya. Keinginannya hanya satu, dia berharap bisa menjadi staf tetap di kantor itu.
Selama beberapa bulan ini, Grace sama sekali belum pernah melihat sosok asli Raffaele. Kabarnya dia menjadi pengganti Presdir utama yang sedang terbaring lemah di rumah sakit.
Grace bahkan juga mengetahui hal itu dari gosip yang beredar di kantor.
Hari ini Raffaele baru saja mengikuti kegiatan monitoring ke daerah pelosok yang sulit di jangkau. Begitu kembali, ia langsung meninjau kantor yang telah beralih kendali padanya.
"Hei, lihat bos kita. Aku yakin dia pria paling tajir di kota ini. Namun sayang sekali dengan sekretarisnya, gayanya terlalu lebay deh!”
“Mungkin ini baru pertama kali dia jalan bareng sama si bos.” seseorang melanjutkan obrolan Shan Shan, hingga suara tawa memenuhi ruangan itu.
Semua mata mengarah pada sosok yang menjadi topik perbincangkan mereka. Namun langkah mereka terlalu cepat, membuat Grace hanya sempat melihat punggungnya saja.
“Kamu terlambat, Grace. Mereka sudah masuk ke ruangan eksekutif.” lagi-lagi dia mendapat protes. "Andai kamu melihat wajah bagai dewa yang turun dari langit, kamu mungkin nggak bisa ngomong apa-apa."
"Aku masih harus membuat duplikat dokumen, jadi aku pergi sekarang.”
Semua orang di sana hanya saling pandang. Shan-shan juga terlihat menyusulnya di belakang.
“Justru aku juga nggak salah, karena kepala kalian membuat pandanganku terhalang.” gerutunya saat sudah menjauh dari mereka.
Huh! Shan Shan mendengus kesal. “Kamu sih, nggak cepat tanggap orangnya, makanya telat.”
Grace tak merespon dan menyibukkan dirinya dengan setumpuk pekerjaan yang harus di duplikat.
“Hay gengs, semuanya berkumpul. Aku punya kabar baru buat kalian.”
Semua orang tanpa terkecuali segera meninggalkan tugas mereka seperti biasa.
“Pak Raffaele sedang mencari asisten pribadinya," suaranya begitu heboh.
Namun, ketika kasak-kusuk terdengar, Grace malah sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ketika seruan itu terdengar, ia hanya melirik sekilas tanpa reaksi. “Grace kamu tak dengar itu?”
"What?" Grace malah balik bertanya.
“Kamu tak tertarik menjadi asisten pribadinya?” Shan Shan bertanya dengan alis sedikit terangkat.
Sayangnya gadis itu hanya menyengir.
Huh! ”Kamu sama sekali nggak bisa diajak kompromi. Berbeda sekali denganku.”
“Aku setuju. Jika bisa, aku akan memasukkan lamaran dengan harapan diterima bekerja. Maka setiap hari aku bisa bersama pak Raffaele," rekan kerja mereka lainnya bahkan berkata dengan mata yang berbinar-binar.
“Tunggu. Ini aneh, kenapa tiba-tiba pak Raffaele mencari asisten pribadi?”
“Aih, kamu masih nggak percaya? Bukannya sekarang dia sudah menetap di apartemen barunya. Jadi seorang bos pasti butuh orang untuk mengurus dan memasak makanannya. Yah, kalau nggak bisa masak, seenggaknya kan dia punya orang buat bantu pekerjaan rumahnya.”
“Dan yang paling penting, gaji yang ditawarkan juga lumayan loh! Lebih tinggi dari gaji kita sekarang.”
Grace mendengarkan ocehan tiga orang rekan kerjanya sekaligus. Ketika dia mengangkat wajahnya, mereka mengira Grace akan tertarik, namun ketika dia berkata ini. “Kalian coba saja, siapa tahu beruntung. Aku lagi nggak minat buat ikutan." Grace lalu mengemasi semua dokumen duplikasinya, lalu pergi
Hal itu membuat semua orang disana terperangah, "Kamu seriusan nih nggak mau ikut? Kamu ini kuno banget sih nggak punya selera tinggi.”