Maaf, Jika Aku Memilih Dia

Maaf, Jika Aku Memilih Dia

Bab 1 Berangkat ke kampus

"Hei, bangun... bangun... Kau kira ini masih jam berapa?" Teriakan Ethan membuat seorang gadis bernama Grace terbangun. Gadis itu mengucek kedua matanya, kemudian bangkit dari sana dengan mulut menguap karena rasa kantuk yang belum hilang.

"Memangnya udah jam berapa sih?" Grace melihat kearah jendela, cahaya terang matahari telah menembus jendela dan menyilaukan matanya. Namun, udara pagi begitu dingin hingga orang malas untuk masuk ke kamar kecil.

"Sudahlah, nggak usah banyak tanya. Segera mandi dan berkemas, setelah buatkan sarapan." tegas pemuda yang usianya terpaut jarak satu tahun dengan Grace.

Ethan, dia adalah sosok kakak laki-laki bagi Grace yang tinggal di rumah yang sama. Pria itu sengaja memasang tampang galak agar Grace mau menurut perintahnya.

Namun di saat Ethan berlalu dari sana, Grace tampak menggerutu sendiri. "Dia terlalu memaksaku bangun pagi, sedangkan dia sendiri saja bahkan lebih sering kesiangan." Gadis itu terlihat sangat tak senang, "Huh, dia benar-benar menyebalkan!" Dia berkata saat sebelum memasuki kamar mandi.

Bruakk... dentuman suara pintu di banting menimbulkan bunyi yang keras, hingga pendengarnya terkejut. Dan benar saja, Ethan langsung berlari ke asal suara untuk memastikan. "Grace, apa yang terjadi?"

Hening, tak ada jawaban, gadis itu malah tertawa cekikikan dari dalam kamar mandi. "Rasain! Makanya jangan bikin kesal!" ujarnya berbisik.

Ethan yang merasa di kerjai, langsung tersenyum miring, di benaknya seakan tengah menyimpan sebuah rencana. "Awas kamu nanti!"

Sementara Grace yang pura-pura tak tahu apa-apa, dengan santainya malah bersenandung kecil, sambil menyikat giginya. "Hei... Grace! cepat sedikit. Ingat, hari ini giliranmu membuat sarapan." lagi-lagi teriakan Ethan membuat bising telinga yang mendengar, suaranya memenuhi ruangan hingga Grace terlihat jengkel.

"Aku tak peduli." ia berkata dengan nada ketus. Namun, suaranya sengaja di buat pelan sekali. Siapa yang menduga Ethan akan menguping di depan pintu kamar mandi, pria itu bahkan jelas mendengar ucapannya.

"Jadi begitu ya? Lihat saja nanti..." Ethan langsung beranjak dan perigi menuju dapur. Sorot matanya terlihat serius, namun hatinya tengah berpikir untuk melakukan sebuah rencana untuk mengerjai Grace.

Pintu kamar mandi terbuka, Grace baru saja keluar, dan hendak pergi ke kamar dan bersiap untuk berangkat kuliah seperti hari biasa.

Ethan sengaja muncul di saat sebelum Grace benar-benar masuk ke kamarnya, dengan dua tangan yang sedang membawa piring berisikan beberapa potong roti bakar dan secangkir kopi cappucino, Aromanya begitu harum dan menusuk hidung, di tambah lagi dengan tampilan roti bakar dengan isian selai coklat yang begitu menggoda, membuat yang melihatnya serasa ingin makan.

Grace sampai berhenti di depan pintu kamarnya, melihat ekspresi Ethan yang saat ini tengah menikmati menu sarapan yang menggugah selera makannya. Dengan jarak ruang makan dan kamarnya yang tak begitu jauh, membuatnya dengan cepat segera mempersiapkan diri seadanya.

Bahkan gadis itu muncul di samping Ethan secara tiba-tiba, tanpa ada polesan bedak dan lip gloss seperti biasanya. "Kak Ethan, bagi dikit ya..."

Begitulah Grace, jika ada maunya, dia pasti akan berkata lembut sambil memberikan tatapan yang sengaja di buat memelas berharap pria itu akan merasa kasihan padanya, namun Ethan malah menggeleng, sambil menggeser piringnya, sambil membelakangi gadis itu hingga wajah polos gadis itu berubah cemberut menerima perlakuan yang demikian dari pria yang sudah di anggap kakak sendiri.

"Kakak..."

Ethan menyipitkan sebelah matanya sambil menoleh ke belakang. "Apa?"

"Boleh minta satu? Habisnya jika kamu yang masak selalu enak..."

Grace memicingkan matanya, berharap pria itu akan berbelas kasihan padanya dengan memberikan sepotong roti bakar yang masih tersisa di depannya.

"Nih!" Ethan meletakkan piring berbahan melanin di depannya, sesuai harapan Grace. Tentu saja, seorang Ethan tak mungkin tega membiarkan adik sepertinya kelaparan.

Begitu matanya terbuka, Grace tertawa lebar saat melihat sepotong roti bakar yang masih utuh, dan belum di sentuh sama sekali. "Terima kasih banyak kak Ethan..."

Bukannya langsung sarapan, gadis itu malah langsung berkemas dan menyandang tas kuliahnya, lalu berjalan terburu-buru dan bersiap akan segera pergi.

"Kenapa kamu tak makan sarapannya dulu?" tanya Ethan penasaran.

Grace yang tadinya terfokus pada rencananya untuk pergi, segera mengalihkan pandangannya pada pria yang masih duduk di depan meja makan menikmati minumannya. "Aku mau buru-buru..." sahutnya tenang,

"Jadi, kamu nggak nungguin aku nih? Kenapa kita nggak berangkat bareng aja? Lagipula, kita kan atu tujuan."

Grace mengeleng cepat, sambil terus melakukan rencananya, "Maaf, aku harus melakukan sesuatu dan buru-buru. Kalau begitu aku pergi duluan ya, bye!" Pintu tertutup seiringnya gadis itu keluar dari rumah dan meninggalkan pekarangannya.

Ckckck, "Dasar! Hebat sekali kamu? udah di bikinini sarapan, bukannya di tungguin. Lihat saja efeknya nanti!" Setelah berkata demikian, pria itu menyeringai.

Tak peduli ada yang bertanya karena penasaran, Ethan lalu bangkit meninggalkan meja makan, dan beralih pada motor yang terparkir di halaman rumahnya.

Sementara Grace yang tengah berjalan pelan di atas trotoar, tampak tersenyum sambil menatap menu sarapan buatan Ethan. Bahkan saat akan menyeberang di zebra cross pun, ia segera menyantapnya tanpa memeriksanya lebih dulu. "Aku yakin, jika roti ini di masak dengan sepenuh hati rasanya akan sangat lezat..."

"Huekk!" Tiba-tiba, Grace kembali memuntahkan potongan yang telah di gigitnya tadi sambil menggerutu. "Dasar Ethan si4lan!!?" Amarahnya memuncak seketika,sambil mengusap lehernya yang terasa panas. "Beraninya dia memasukkan banyak merica ke dalam makananku!"

Matanya berkedut, wajahnya berubah jadi merah padam. Grace segera berlari ke arah minimarket yang tak jauh dari sana."Aku harus mencari minuman manis agar panas di tenggorokanku jadi hilang!"

Di dalam minimarket, deretan minuman yang tersusun rapi di etalase kaca yang terlihat begitu menggugah selera. Grace memilih sebotol minuman rasa buah, lalu keluar setelah membayarnya, kemudian gadis itu meminumnya dengan cepat hingga rasa panas di tenggorokannya hilang. "Ethan benar-benar menyebalkan, awas nanti jika ketika sampai di rumah." Tanpa sadar, Grace berhasil meremukkan botol minumannya yang sudah kosong.

Grace dan Ethan, dia orang yang berwatak sama, sifatnya yang keras kepala dan tak mau kalah membuat mereka jarang akur. Keduanya hidup mandiri tanpa pengawasan orang dewasa sejak memasuki usia remaja.

Sejak lima tahun lalu, orang tua mereka menjalani bisnis yang mengharuskan mereka keluar negeri. Namun, sifat keduanya yang begitu mirip membuat orang akan berpikir kalau mereka adalah saudara kandung.

"Ah, si4lan! Kenapa tiba-tiba rusak begini sih!?" Ethan belum berangkat!

Pria itu ternyata masih berkutat dengan motornya yang tak bisa menyala sejak tadi. "Jika begini, aku akan terlambat, seharusnya aku memeriksa ini dari kemarin." keluhnya dengan penuh rasa sesal.

Saat ia mencoba menghidupkannya sekali lagi, hasilnya tetap nihil. "Ini takkan bisa di perbaiki sekarang, karena waktunya akan sangat panjang."

Dalam kebuntuan situasi, Ethan tak mulai gelisah sambil mengedarkan pandangannya kesana-kemari. Di satu sisi matanya terfokus pada sebuah objek yang membuat dirinya tersenyum lebar. "Nah, aku pergi dengan sepeda saja, sepertinya itu akan lebih baik."

Ia langsung bereaksi mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar dari pagar rumah. "Aku akan pastikan Grace masih belum jauh dari sini, kita lihat saja nanti." ujarnya kembali menyeringai, tanpa berhenti mengayuh.

Lima menit bersepeda, tak jauh dari sana Ethan melihat sesosok wanita yang tengah berjalan lambat di persimpangan jalan. "Itu pasti dia..."

Lagi-lagi Ethan menyeringai saat memikirkan sesuatu yang hanya di ketahui dirinya sendiri. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat, dan dengan sengaja melewati Grace dan berpura-pura menyemrempet sedikit. "Hampir saja..."

"Ethan...!" gadis itu memekik keras hingga semua orang yang mendengarnya menutup telinga.

Ethan menghentikan sepedanya, lalu menoleh ke belakang sambil tersenyum sinis. "Apa? Butuh bantuanku?" tanyanya sambil melipat tangan dan kedua alis yang sengaja di naikkan.

Grace berlari kecil menuju kearah sepeda berhenti. Nafasnya sesak karena jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri tadi. "Kamu sengaja kan?" Grace menarik nafas dalam-dalam. Rasa kesalnya tak dapat di pungkiri lagi karena masalah merica dan sekarang perkaranya malah bertambah.

"Tidak, aku tak sengaja."

Lelaki itu menjawab tanpa beban. "Ethan... kamu membuat tenggorokanku perih karena merica..." Grace mencubit lengan kokoh milik Ethan,

"Aww...! Kenapa kamu kasar sekali?"

Saat itu Ethan menatap sepasang mata Grace. "Aku tak sengaja, apa kamu menikmatinya?"

"Ya, dan lihat saja pembalasanku nanti." Grace melipat tangannya dengan muka sebal. Namun, Ethan mengalihkannya, dan melirik jam yang melingkar di tangannya.

"Astaga, sepertinya 8 menit lagi pukul delapan. Kalau begitu aku akan pergi..." Belum sempat Ethan mengayuh sepedanya Grace dengan sigap menahan tangannya. "Aku ikut denganmu. Apa kamu tega ninggalin aku sendirian?" Grace mengedipkan-ngedipkan kedua matanya sambil memelas.

Ethan terpaksa menunda waktunya, dan melipat dua tangannya ke atas dada. "Tapi ini hanya sepeda, apa kamu yakin kita boncengan dengan sepeda?"

Tanpa persetujuan gadis itu langsung duduk di belakang sambil memeluk pinggang Ethan. "Jalan..."

Pria itu tak bisa mengelak dan segera mengayuh sepedanya sambil diam-diam tersenyum senang. Ia tahu Grace takkan mungkin memperpanjang masalah lagi, terlebih keadaannya sedang terjepit.

Saking kencangnya bersepeda, dalam sekejap saja mereka tiba di depan sebuah gedung bertingkat, Universitas unggul Cove Hartley, kampus tempat mereka kuliah. Keduanya memasuki pagar besi disertai dengan beberapa orang lainnya.

"Kita tepat waktu! Jika sampai terlambat sedikit saja, mungkin kita akan terkurung di luar gerbang," ujar Grace sambil melihat ke belakang, beberapa orang lainnya tengah berlarian karena tak ingin terlambat.

Gadis itu menghela nafas lega, dan merasa dirinya beruntung karena bisa terhindar dari hukuman. "Kakak Ethan, makasih banyak loh! untung ada kakak, coba kalau tidak, aku akan terlambat hari ini. Aku masuk duluan ya..." Grace menepuk pundak pria itu dengan keras sebelum pergi meninggalkannya begitu saja, gadis itu tanpa peduli kalau pukulannya tadi membuat Ethan meringis kesakitan.

"Huh! Kalau tahu begini lebih baik aku membiarkannya jalan sendirian." Ethan menggerutu kesal setelah mendapat perlakuan begitu. Itu karena dirinya masih harus memarkirkan sepedanya, sementara punggung gadis itu malah tak terlihat lagi.

"Ethan..." seseorang memanggil namanya sambil melambai pada Ethan, saat menoleh orang itu malah datang menghampirinya. "Leon?"

"Kamu sendirian? Dimana adikmu? Bukankah kamu biasanya selalu pergi barengan sama Grace?"

Ethan melebarkan bibirnya karena malas menjawab, bahkan saat Leon berbicara panjang lebar padanya matanya fokus pada jalan yang akan dilaluinya. Namun, tiba-tiba mereka berhenti. Sosok seorang gadis cantik dengan mata biru, rambut yang ikal dan pita bandana di rambut, terlihat berjalan dengan disertai beberapa pasang mata yang juga menatapnya dari kejauhan.

"Dia cantik bukan?"

Ethan, tak bergeming begitu di tanyai dan bahkan dia membuang muka sambil berbicara sendiri. "Jika di bandingkan Grace, masih kalah jauh..."

"Apa?"

Terpopuler

Comments

Hakim Bohiran

Hakim Bohiran

Jangan diam aja thor, para pembaca sudah gak sabar nih!

2023-12-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!