Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
Pulang kuliah Evan sendiri yang menjemput Jelita, mata sembab Jelita jadi perhatian Evan. Ada perasaan kesal bercokol didadanya saat ini. Apa lagi saat orangnya memberi laporan apa yang terjadi antara Boy dan Jelita.
Jelita masuk mobil dan duduk disamping Evan. Begitu duduk Jelita memperlihatkan senyum termanis yang dia punya. Tapi sayang Evan menanggapinya dingin.
"Ada apa? Apa ada masalah pada pekerjaanmu. Sikapmu sedingin itu padaku," ucap Jelita bernada protes.
"Tidak ada masalah dengan pekerjaanku." sahut Evan datar.
"Trus tuh muka kenapa ditekuk gitu, kelihatan gak senang gitu," sungut Jelita sembari memalingkan mukanya menatap Evan lekat.
Terdengar helaan napas panjang dari bibir Evan. "Aku hanya tak senang istriku menagisi lelaki lain." gumam Evan sangat pelan nyaris tak terdengar.
Jelita tersenyum, hari ini Evan terlihat begitu lembut. Apa karena suasana hatinya yang lagi sendu.
"Aku dan Boy sudah putus," ujar Jelita sembari menatap kedepan.
"Putus?"
"Hemm."
Evan tersenyum, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya jemari kokohnya yang menggengam erat Jemari jelita. Membawanya kepangkuannya. Entah mengapa hati Jelita terasa begitu damai karenanya.
"Kita makan siang dimarkas," ujar Evan setelah hampir sampai di Mansion yang menjadi markas Evan. Jelita hanya mengangguk sebagai tanda setuju.
Kali ini hanya ada Evan dan Jelita di meja makan, sementara yang lain makan ditempat lain.
"Kenapa hanya kita, yang lain mana?"
"Mereka makan disebelah, kenapa? kamu gak mau makan berdua aja."
"Tentu saja mau, aku juga merasa canggung kalau harus makan bersama mereka."
"Ya sudah, cepat habiskan makanmu. Ada sesuatu yang akan aku perlihatkan padamu."
"Baik."
Setelah selesai makan siang Evan membawa Jelits masuk keruang kerjanya. Jelita duduk disofa tepatnya didepan Evan.
"Kiara keruanganku sekarang," titah Evan melalui sambungan telpon.
Tidak berapa lama Kiara sudah hadir diruang kerja Evan.
"Jelita, pergilah dengan Kiara. Ada beberapa berkas perusahaan milik papamu yang harus kau pelajari, Kiara akan membantumu." jelas Evan.
"Berkas perusahaan? Kau ingin aku belajar dengan Kiara?" Tanya Jelita dengan mengerutkan kening.
"Iya berkas prusahaan. Kiara hanya akan memberitahu apa yang tidak kamu tahu. Bukan mengajarimu."
"Ck, apa bedanya," sungut Jelita.
"Menurutlah, nanti aku akan memberimu hadiah." bujuk Evan sembari menatap Jelita. Jelita balas menatap Evan dengan bola mata membulat.
"Apa kau kira aku anak kecil!" Sungut Jelita semakin kesal. Evan terkekeh melihat wajah manyun Jelita yang menggemaskan.
"Baguslah kalau kau tidak mau. Aku tidak perlu repot menyiapkan hadiah untukmu,"
"Mana bisa begitu, sudah diucapkan mana boleh ditarik lagi. Aku akan pelajari berkasnya, sebaiknya kau tidak lupa siapkan hadiahnya," ujar Jelita sembari beranjak pergi.
Evan menghela napas berat. Dia harus membujuk Jelita agar mau belajar memimpin perusahaan milik papanya. Kesehatan Sasongko akhir-akhir ini tidak begitu baik,ditambah ada beberapa pihak yang ingin menggulingkan tampuk kepemimpinan yang dia pegang sekarang.
Jelita menatap nanar semua berkas diatas beja. Menumpuk setinggi gunung, kapan akan selesai kalau begini.
"Sebanyak ini?" Tanya Jelita tanpa beralih dari tumpukan berkas dihadapannya.
"Nona bisa mepelajarinya sedikit-demi sedikit." ujar Kiara sembari duduk dihadapan Jelita.
Jelita menghela napas dalam. Dia mulai membuka berkas dan mulai membacanya. Ini tidak terlalu sulit mempelajari manajemen prusahaan. Ini sesuai dengan pendidikan yang sedang dia tempuh, manajemen bisnis. Keseriusan Jelita membuat Kiara salut, awalnya dia berpikir akan kesulitan membimbing nona muda Jelita. Nyatanya dia begitu jenius dan sangat serius.
Setelah kurang lebih tiga jam berkutat dengan berkas-berkas perusahaan Jelita memutuskan untuk istrahat dan dilanjutkan lain waktu.
"Hari ini cukup sampai disini, kepalaku sudah hampir pecah," ujar Jelita. Sembari meletakkan berkas yang ada ditangannya keatas meja. Sementara sudut matanya melirik ke Kiara.
"Baiklah nona," jawab Kiara sembari menatap Jelita yang sudah beranjak bangkit meninggalkan ruang kerjanya.
Jelita beranjak pergi keruang kerja Evan, dengan gerakan pelan Jelita membuka handle pintu, lalu melangkah masuk.
"Sudah selesai?"Tanya Evan begitu melihat Jelita masuk ruang kerjanya.
"Berkas sebanyak itu bagaimana aku bisa menyelesaikannya dalam waktu tiga jam," sungut Jelita sembari duduk di Sofa. Evan tersenyum tipis, lalu menghampiri Jelita, ikut duduk disampingnya.
"Pelan-pelan saja, masih banyak waktu untuk mempelajari semuanya. Tapi harus luangkan waktu setiap hari," ujar Evan bernada tegas.
Jelita menatap Evan dengan seksama, memindai wajah berekspresi datar itu tak tersisa.
"Van, apa yang terjadi pada papa? Perintahmu ini bukan tanpa alasan kan?" Tanya Jelita dengan suara lembut. Dia tau sesuatu telah terjadi, entah pada perusahaan atau pada papanya.
Evan menarik napas dalam, lalu beranjak bangkit berjalan menuju lemari di belakang meja kerjanya. Dia membuka salah satu pintu lemari yang terkunci, lalu mengambil map berwarna coklat, membawanya kepada Jelita.
"Tuan Sasongko saat ini dalam keadaan tidak baik, tidak tau apa yang terjadi kedepannya. Beberapa waktu yang lalu dia bahkan sempat pingsan di mansion. Tapi kemudian dia membaik." jelas Evan hati-hati.
Jelita diam sembari menggenggam erat map ditangannya. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri sekali. Papanya sakit? Kenapa dia tidak diberi tahu?
"Kenapa baru beritahu aku sekarang," bisik Jelita dengan mata berkaca-kaca. Dia hanya punya papa dia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa papanya. Tak terbayang hidup sendiri tanpa papanya, dia tidak memiliki saudara kandung, sementara saudara sepupu satu-satunya menganggapnya sebagai musuh.
"Tuan melarangku memberitahu penyakitnya padamu. Kalau dia tau aku memberitahukan semuanya padamu, dia pasti akan marah padaku. Tapi aku merasa kau wajib tau, agar bisa bertindak selayaknya seorang anak, sekaligus sebagai pewaris tunggal tuan Sasongko."
Jelita menatap Evan lekat, rasa takut tiba-tiba mendera hatinya. Bayangan buruk seketika melintas dibenaknya.
"Aku tidak perduli tentang perusahaan, aku hanya peduli tentang papa. Perusahaan bukankah ada kau suamiku."
Evan tersenyum, dengan lembut dia menyeka air mata dipipi Jelita. Lalu menggenggam jemari halus jelita dengan erat.
"Masalahnya tidak segampang yang kamu pikirkan Je. Benar perusahaan adalah milik tuan Sasongko, dan aku menantunya, tapi didalamnya ada beberapa pemegang saham yang juga memiliki hak suara atas prusahaan. Kalau sampai berita kesehatan tuan Sasongko bocor keluar, bukan tidak mungkin tampuk kepemimpinan jatuh ketangan orang lain. Apa kamu rela perusahaan yang dibangun oleh tuan di pimpin orang lain?"
Jelita tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. Mana rela dia menyerahkan perusahaan pada orang lain.
"Kenapa tidak kamu saja yang maju sekarang, kamu lebih paham tentang prusahaan. Van aku sungguh tidak mau mengurus prusahaan." ujar Jelita memelas.
"Aku pasti maju. Tapi kamu tetap harus belajar, jangan mengandalkanku. Kau tau pekerjaanku ini bertaruh nyawa." jelas Evan.
"Diam! apa bagimu nyawamu itu tidak ada harganya. Kalau kau begitu ingin mati kenapa menikahiku!" pekik Jelita sembari memukul lengan Evan dengan tangannya.
Evan meraih tubuh Jelita yang sudah terisak oleh tangisnya. Memeluknya dengan lembut. "Hey, kenapa marah. Kalau aku mati kau bisa menikahi lelaki yang lebih baik dariku. Aku hanya pengawal pribadi, kehilangan orang sepertiku kau pasti tidak akan rugi," bisik Evan sembari menge cup kening Jelita.
"Aku tidak mau pria lain," ucap Jelita ditengah tangisnya. Dia hanya ingin Evan, cuma Evan.
"Hey, sudah jangan menagis. Wajahmu jelek kalau menangis," bisik Evan sembari menyeka air mata Jelita dengan tisu.
"Aku memang jelek. Aku bahkan tak sebanding dengan Kiara," sungut Jelita sembari menjauhkan tubuhnya dari Evan.
Evan menggelenkan kepalanya pelan, wanita kalau marah suka keluar jalur. Tadinya bahas apa, eh nyambungnya kemana.
"Gadis bodoh. Aku setuju menikahimu karena kau lebih dari wanita manapun, termasuk Kiara. Paham!" ujar Evan sembari menyentil kening Jelita dengan jarinya.
"Sakit," rengek Jelita sembari mengusap jidatnya yang terasa panas. Evan meraih kembali tubuh istrinya memeluknya dengan penuh kasih sayang. Jelita memejamkan matanya menikmati rasa nyaman dari pelukan Evan.
"Van, aku ingin mengunjungi papa. Dia sakit tapi aku malah tak berada disampingnya. Kau tau kan, hanya papa yang aku miliki saat ini," bisik Jelita.
"Malam ini kita akan menginap dimansion papamu. Tapi ingat, jangan mengungkit masalah penyakitnya. Bersikaplah seolah kau tidak tau apapun. Kalau dia tau kau sangat sedih karena penyakitnya. Takutnya malah beban untuk tuan." ujar Evan memperingati Jelita agar menjaga sikapnya nanti.
Jelita menarik tubuhnya dari rengkuhan Evan, menatap wajah tampan itu lekat. "Evan, kenapa kau memanggil mertuamu dengan sebutan tuan. Mulai saat ini panggil dia papa. Dan minta dia menujukmu sebagai penggantinya."
"Kau ingin aku memegang kendali perusahaan. Tidak takut aku menghianatimu?" Tanya Evan sembari menatap lekat bola mata Jelita.
"Kau berniat menghianatiku?" Jelita balik bertanya.
"Sekarang belum. Tidak tau nanti," sahut Evan dengan ekspresi datar.
"Aku akan membunuhmu kalau kau berani menghianatiku." Ancam Jelita dengan wajah garang. Evan terbahak mendengar ancaman istrinya.
Dengan lembut dia menge cup kening Jelita. "Aku tidak memiliki siapapun kecuali dirimu. Aku bahkan rela menukar nyawaku demi kebahagiaanmu. Saat aku menikahimu, aku hanya berharap bisa dekat dan melindungimu. Tapi ternyata aku bisa mendapatkan perhatianmu, itu lebih dari cukup. Dan hatimu, aku bersedia menunggu tanpa batas waktu," bisik Evan. Ungkapan hati yang membuat dada Jelita bergemuruh. Haru dan bahagia memenuhi rongga dadanya. Evan apa kau tak sadar hatiku sesungguhnya sudah kau miliki sepenuhnya...
To be continuous