Di sebuah hutan yang lebat dan rimbun,terbaring lah sebuah tubuh penuh luka. Ya benar dia adalah Rangga bocah kecil yang menjadi korban kejahatan para perampok bagai mana kisah selanjutnya ikut terus perjalanan Rangga...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memperkuat Martapura
Angin semilir sore itu menambah sejuknya suasana. Di ufuk barat, langit tampak merona merah jingga, menampilkan lukisan alam yang mempesona. Di atas sebuah batu besar yang menjorok ke arah lembah, tampak seorang gadis berdiri tegak, memandang lurus ke arah cakrawala. Rambutnya yang panjang dan hitam berkibar tertiup angin, seolah menari mengikuti irama alam. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.
Dari arah belakang gadis itu, sesosok tubuh tua renta berjalan tertatih, menghampirinya. Langkah wanita tua itu pelan, ditopang tongkat kayu yang setia menemaninya.
"Ariani Dewi, apakah kau jadi pergi sekarang?" panggil nenek itu, suaranya bergetar dimakan usia.
"Ya, Nek. Hari ini juga aku akan pergi. Sudah cukup lama aku merepotkan Nenek di sini," jawab Ariani Dewi, membalikkan badannya dan menatap nenek itu dengan sorot mata yang teduh.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, apa boleh buat. Nenek tidak bisa menahanmu lebih lama lagi, Nak," kata nenek itu, dengan nada sedikit sendu.
"Terima kasih banyak atas pertolongan dan kebaikan Nenek selama ini. Hamba tidak akan pernah melupakannya," ucap Ariani Dewi, tulus.
"Sudahlah, Nak. Hal kecil seperti itu jangan terlalu kau pikirkan. Lagipula, sudah sepantasnya kita saling tolong-menolong, bukan?" ujar nenek itu, bijak.
"Apakah Nenek tahu, siapa yang menang dalam pertarungan tempo hari itu?" tanya Ariani Dewi, teringat kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia terluka parah dan diselamatkan oleh nenek ini.
"Sayangnya, Nenek tidak tahu, Nak. Saat itu, Nenek terlalu panik dan buru-buru membawamu pergi dari sana," jawab nenek itu, dengan nada menyesal.
"Kelabang Ireng itu benar-benar sakti mandraguna," gumam Ariani Dewi, lebih kepada dirinya sendiri. Bayangan pertarungannya dengan Kelabang Ireng, pemimpin kelompok sesat yang ditakuti, kembali terlintas di benaknya.
"Kau benar, Ariani. Dia memang sakti. Tapi, pemuda yang bertarung dengannya itu, Nenek yakin dia bukan pemuda sembarangan. Cara dia bermain pedang, mengingatkan Nenek pada seseorang," kata nenek itu, dengan nada menerawang, seolah sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Maksud Nenek?" tanya Ariani Dewi, penasaran.
"Dengarkan baik-baik, Nak. Nenek akan bercerita tentang seorang pendekar yang pernah menggegerkan dunia persilatan di masa lalu," kata nenek itu, memulai ceritanya.
Ariani Dewi merasa tertarik. Ia pun duduk di samping nenek itu, di atas batu besar, siap mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Puluhan tahun silam," nenek itu memulai, "baik golongan putih maupun golongan hitam, sangat segan dengan seorang pendekar pedang yang bernama Raja Alam. Orang-orang menjulukinya 'Pendekar Pedang Kembar Tanpa Tanding'. Karena, pada masa itu, tidak ada yang mampu menandingi permainan pedangnya yang luar biasa."
Nenek itu berhenti sejenak, menarik napas, sebelum melanjutkan. "Raja Alam adalah pendekar dari aliran putih, yang sangat ditakuti oleh golongan hitam. Setiap pendekar golongan hitam yang berhadapan dengannya, saat itu pula nyawa mereka melayang. Banyak yang menganggapnya kejam dan tidak mengenal ampun. Namun, bagi golongan putih, dia adalah pahlawan, pelindung kaum lemah."
"Dia benar-benar ditakuti pada masanya. Jika ada suatu masalah yang menyangkut namanya, orang-orang lebih memilih untuk menghindar daripada harus berurusan dengannya. Namun, sekarang, tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah tiada," nenek itu mengakhiri ceritanya, dengan nada yang sedikit sendu.
"Jadi, maksud Nenek, pemuda yang bertarung dengan Kelabang Ireng itu adalah muridnya Raja Alam?" tanya Ariani Dewi, mencoba menyimpulkan.
"Bisa jadi, Nak. Karena jurus-jurus yang dia gunakan, sangat mirip dengan jurus-jurus Raja Alam," jawab nenek itu, dengan nada setengah yakin.
"Menurut Nenek, apa ciri-ciri khusus yang bisa membuktikan bahwa dia adalah murid Raja Alam?" tanya Ariani Dewi, semakin ingin tahu.
Nenek itu terdiam sejenak, berpikir keras, mencoba mengingat-ingat detail yang mungkin terlupakan. "Kalau tidak salah..." katanya kemudian, dengan suara yang lebih pelan, seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Ya, ya! Dia menggunakan dua pedang kembar! Dulu, Raja Alam selalu menggunakan dua pedang kembar dalam setiap pertarungannya," jawab nenek itu, dengan nada yang lebih yakin.
"Tapi, apa benar pemuda kampung itu murid Raja Alam?" gumam Ariani Dewi, masih diliputi keraguan. Sulit baginya untuk percaya bahwa pemuda yang ia temui, yang tampak seperti pemuda desa biasa, adalah murid dari seorang legenda.
"Jika dia benar-benar murid Raja Alam, sebaiknya kau jaga sikapmu padanya, Ariani," nasihat nenek itu.
"Memangnya kenapa, Nek? Apa yang akan terjadi jika aku berbuat macam-macam dengannya?" tanya Ariani Dewi, tidak mengerti.
"Jika kau sampai bermusuhan dengannya, kau belum tentu bisa menang melawannya. Bukan Nenek merendahkan kemampuanmu, Ariani. Tapi, alangkah lebih baik jika kau bisa bersahabat dengannya," jelas nenek itu, dengan bijaksana.
"Baik, Nek. Aku mengerti," jawab Ariani Dewi, mulai memahami maksud nenek itu.
"Apakah kau jadi berangkat hari ini juga, Ariani? Bukankah sebentar lagi hari akan gelap?" tanya nenek itu, mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Nek. Aku tetap akan berangkat hari ini, meskipun mungkin aku akan kemalaman di hutan," jawab Ariani Dewi, menegaskan keputusannya.
"Baiklah, Nak. Hati-hatilah kau di jalan. Semoga para dewa melindungimu," kata nenek itu, mendoakan.
"Terima kasih, Nek. Aku pamit dulu," ucap Ariani Dewi, berpamitan.
Ariani Dewi pun bangkit berdiri, dan mulai melangkahkan kakinya, meninggalkan nenek itu. Ia terus berjalan ke arah utara, menembus hutan belantara, dengan tekad yang kuat di dalam hatinya.
***
Sementara itu, Rangga, Arya Soma, dan Dewi Sekar telah tiba di gerbang Kerajaan Martapura. Melihat kedatangan raja dan patih mereka, para prajurit yang berjaga di gerbang segera membuka pintu gerbang dengan sigap, dan memberikan penghormatan.
Dari dalam istana, para senopati dan pejabat kerajaan bergegas keluar, menyambut kedatangan raja mereka dengan penuh hormat. Hari itu juga, Dewi Sekar diperkenalkan kepada seluruh penghuni istana dan rakyat Martapura sebagai permaisuri baru mereka, mendampingi Raja Rangga. Kabar gembira ini disambut dengan sukacita oleh seluruh rakyat Martapura. Mereka mengelu-elukan nama Rangga dan Dewi Sekar.