Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Satu tahun telah berlalu sejak terakhir kali mereka ke desa Pleret. Dona dan Misda duduk di bangku kayu depan rumah sederhana Ki Jombrang, dukun pintar yang sudah mereka kenal baik. Dona mengelus perlahan permukaan susuk yang tertanam di pipinya, ragu apakah sihir di dalamnya masih terasa kuat. Misda menatap ke kejauhan, bibirnya mengatup pelan seolah menahan kecemasan.
“Kalau susuknya melemah, kita nggak bakal bisa lawan apa-apa,” gumam Dona pelan.
Sang juru kunci datang membawa sesajen, langkahnya mantap menandakan ritual segera dimulai. Dona dan Misda saling bertukar pandang, berusaha menguatkan diri sebelum kembali menyelami dunia mistik yang membelit mereka.
"Kalian berdua, ikut aku!" perintah Ki Jombrang terdengar tegas, membuat Misda dan Dona saling bertatapan, mata mereka menyiratkan ragu sekaligus penasaran. Tapi tanpa berkata apa-apa, keduanya mulai melangkah pelan di belakang pria tua itu. Suara binatang malam yang melengking menusuk keheningan, seolah ikut menggema ketakutan di dada mereka.
Ki Jombrang menggenggam sesajen dengan erat, langkahnya mantap meski rimbunan hutan jati yang setengah buatan manusia mengelilinginya. Misda menggigit bibir bawahnya, Dona menelan ludah berulang kali; takut merayap pelan di hati mereka, tapi enggan terlihat jelas. Ketika mereka memasuki hutan larangan, hutan asli yang masih jarang tersentuh manusia, suasana berubah semakin sunyi dan mencekam.
Tiba-tiba Ki Jombrang berhenti, napasnya memburu, suara yang keluar dari tenggorokan sedikit bergetar menahan sesuatu.
"Perjalanan masih jauh. Kalian harus yakin memilih. Lanjut atau cukup sampai sini?" tanyanya, pandangan tajam tertuju pada mereka berdua.
Misda dan Dona saling bertukar tatap, dadanya berdegup tak menentu. Setelah sesaat hening yang menegangkan, keduanya akhirnya mengangguk mantap. Perjalanan harus diteruskan.
Hujan deras sudah membasahi tubuh mereka hingga tak ada lagi rasa dingin yang terasa.
"Sudah terlanjur basah, Ki," ujar Dona dengan nada bertekad.
"Kita harus lanjutkan perjalanan ini. Kami mau kaya raya, nggak mau pulang dengan tangan hampa. Jadi primadona, bukan yang terlupakan." Ki Jombrang melemparkan senyum sinis, matanya tajam menatap kedua gadis itu.
"Kalau kalian yakin, jangan pernah menyesal saat gelap semakin merenggut kalian." Suaranya berat dan dingin.
"Keputusan kalian sudah terpatri. Kalian bakal jadi budak iblis, hidup dan mati terserah pada golongan itu."
Dona dan Misda saling bertukar pandang, lalu mengangguk pelan, wajah mereka menampakkan campuran kecemasan dan tekad yang membara.
Ki Jombrang berbalik melangkah, diikuti oleh dua gadis cantik yang tak lagi bisa mundur. Dalam hati mereka, harapan untuk sukses dan kaya raya mengalahkan ketakutan, meski harus mengikuti ritual aneh yang dipimpin oleh sang dukun. Langkah mereka bergema di bawah langit kelam, menuju takdir yang belum pasti.
Pria tua itu melangkah pelan hingga tiba di mulut gua yang diapit dua pohon besar menjulang. Misda dan Dona saling menggenggam tangan dengan erat, napas mereka tersengal dalam ketegangan yang makin mencengkeram. Ki Jombrang duduk bersila dengan tenang, perlahan meletakkan sesajennya di hadapan.
"Kalian duduk bersila di belakangku. Pejamkan mata kalian, dan jangan sekali-kali membukanya sebelum aku beri izin. Melanggar, celaka menanti," katanya dengan suara berat yang membuat kedua gadis itu menggigil, rasa takut merambat sampai ke ujung jari mereka.
Sunyi merundung, hanya suara binatang malam yang bergaung di kejauhan. Asap dupa perlahan menyelimuti udara, menari-nari di sekitar mereka. Pintu gua terbuka lebar, dan Misda bersama Dona duduk bersila, mata tertutup rapat, menunggu perintah dari Ki Jombrang.
Ki Jombrang duduk bersila dengan wajah serius, bibirnya bergerak lirih mengucap mantra. Di sekelilingnya, udara terasa berat, seolah bergetar oleh kekuatan gaib yang mengelilingi ruangan itu. Di pojok ruangan, Misda dan Dona terpaku, mata mereka tertutup rapat.
Dona mengerutkan alisnya, dadanya sesak saat ada sensasi dingin menyusup ke kulitnya, terutama di area pribadi yang membuatnya hampir tak tahan. Tangannya bergetar pelan, ingin membuka mata dan memberontak, tapi ingatan tentang pesan Ki Jombrang menghentikannya.
Misda pun merasakan hal yang sama; tubuhnya seolah disentuh oleh sosok tak terlihat yang membuat bulu kuduknya meremang. Meski demikian, keduanya menahan diri, bertahan dalam keheningan dengan mata terpejam, telinga menangkap alunan mantra sang dukun yang terus mengalir bagai bisikan ajaib yang menjaga mereka tetap tenang.
Tanpa Dona sadari, tubuhnya terasa ringan, seolah melayang-layang hingga membawanya masuk ke sebuah goa gelap di depan mata. Kedua kelopak matanya tertutup rapat, dia berusaha keras menahan diri agar tak membuka mata.
Berbeda dengan Misda yang berdiri tak jauh, langkah kakinya gemulai menari-nari mengelilingi Ki Jombrang, sosok dukun itu. Bola mata Misda tetap terpejam, namun setiap gerakannya membawa aura lain, seperti bukan dirinya sendiri. Dona seolah kerasukan oleh sosok sinden pemilik susuk Jalatunda yang mengalir deras dalam darah dan kulitnya.
Di sisi lain, Ki Jombrang malah terkekeh pelan, terpana pada lekuk tubuh Misda yang bergerak penuh godaan. Usia tua tak menghalangi pandangannya terperangah, mengikuti irama tarian yang memikat itu tanpa ragu, langkah kakinya menuntun masuk lebih dalam ke gua.
Sementara itu, Dona terbaring lunglai di atas batu besar, kulitnya nyaris tanpa pembungkus, tubuhnya menggeliat pelan. Matanya masih terpejam, merasakan aura mistik yang menyelimuti, terjebak dalam ritual asing yang harus ia jalani. Rasa aneh berbaur gelisah menusuk hati, tubuhnya seperti diseret oleh kekuatan yang tak terlihat.
Ki Jombrang mulai melangkah mendekat, matanya melembut melihat Misda yang seolah terhipnotis oleh sosok sinden di dekatnya. Napas pria tua itu memburu, wajahnya sedikit memerah, tergoda oleh godaan yang sulit ditolak. Namun tiba-tiba, Misda melonjak, tangannya mencengkeram leher Ki Jombrang dengan sekuat tenaga.
Tubuh sang dukun mendadak kejang-kejang, wajahnya berubah pucat, napasnya tersekat. Ki Jombrang yang selama ini dikenal sebagai juru kunci sekaligus sosok penuh bayang-bayang kelam, kadang melecehkan pasiennya, akhirnya terjatuh tanpa daya. Dona yang berdiri di samping terperanjat, matanya membesar melihat kejadian itu.
“Kenapa... kenapa Ki Jombrang bisa mati?” suaranya bergetar penuh cemas.
Sementara itu, Misda menggigil hebat, tangannya masih gemetar saat menyadari sosok sinden itu telah mengambil alih tubuhnya, membalas dendam dengan cara yang tak terduga. Rasa takut dan bingung mengurung keduanya di dalam keheningan malam yang tiba-tiba jadi sangat mencekam.
Misda menatap Dona dengan mata yang berkilat gelisah.
"Jangan banyak tanya, Dona. Ayo, cepat pakai bajumu lagi. Kita harus keluar dari gua ini sekarang juga."
Suaranya bergetar, seolah menahan ketakutan yang menguasai dirinya. Tangan Misda gemetar saat mengulurkan pakaian itu, napasnya tersengal menahan rasa panik.
"Kalau ketangkap orang-orang Ki Jombrang, kita nggak cuma bisa mati begitu saja. Mereka nggak bakal diam kalau gurunya mati mengenaskan, apalagi karena ulah pasiennya sendiri. Pengikut Ki Jombrang itu banyak, mereka pasti cari kita."
Meski tubuhnya bergetar, tekad di matanya tetap menyala kuat, sebuah janji diam untuk bertahan hidup, seberapapun beratnya risiko yang menghadang.
Tiba-tiba suara aneh yang mirip dengan suara Ki Jombrang membuat Misda dan Dona bergidik sebelum meninggalkan gua tersebut. Di mana suara Ki Jombrang seperti menakuti kedua gadis itu.
"Suatu hari nanti, tubuh kalian tidak akan diterima bumi dan langit. Karena susuk yang tertanam dalam tubuh kalian hanya bisa aku lepaskan. Sedangkan aku sudah mati karena ulah kalian. Maka tunggulah kesengsaraan kalian akan tiba karena manusia seperti kalian tidak bakal punya rasa terimakasih. Bahkan melenyapkan nyawa juru kunci seperti aku,"