Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16: Dugaan
Canda gurau, cerita-cerita lucu, itulah yang Andra dan Irma lakukan dalam setengah jam sebelum terjadinya keheningan diantara mereka.
Andra melihat jam di ponselnya, wajahnya nampak serius, sudah setengah jam berlalu namun ia tak pernah tahu alasan Irma menangis tadi. "Kak... kenapa kakak nangis diatap pabrik?"
Irma yang sedang mengambil pisang goreng terhenti, tatapannya... susah dijelaskan, kosong, sedih, kecewa, menyatu dalam mata beriris hitam segelap malam itu.
Bibir kecilnya itu terkulum, menyusun kata-kata dalam kepalanya, Irma menghela napasnya. "Jadi..." Irma mulai menjelaskan apa yang terjadi, mulai dari perusahaan papanya yang bangkrut, dibantu oleh papa Andrew yang disertai syarat yaitu menjodohkan Irma dengan Andrew.
Air mata Irma mulai mengalir. "Aku bingung harus gimana, mau memberontak, tapi perusahaan papa bisa bangkrut kapan aja, mau diam aja, tapi perasaan aku sakit setiap saat."
Andra terdiam menatap tubuh ramping itu, sebuah memori yang sudah lama terlupakan akhirnya teringat kembali.
Flashback on
Andra, anak berumur 7 tahun itu menuruni tangga dengan wajah penuh rasa kantuk, ia berjalan menuju dapur, mengambil sebuah gelas, mengeluarkan botol besar dari kulkas lalu menuangkannya ke gelas.
Dengan kaki kecilnya ia berlari ke tangga, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari kamar ibunya yang berseberangan dengan dapur.
Andra berjalan menuju kamar ibunya, langkah kakinya nyaris tidak terdengar, untuk lah pintu itu tidak tertutup rapat, jadinya ia bisa mengintip lewat sela-sela.
Andra tertegun, Rachel, sang ibu terduduk di tepi kasurnya, wajahnya tertutup oleh kedua tangannya yang terlihat sedikit lebih kurus dari sebelumnya, punggung ramping yang biasanya tegap dan memancarkan keceriaan, kini berubah menjadi bergetar pelan dan memancarkan kesedihan.
"Fahri... kamu bilang kalau aku akan nemuin seseorang lebih dari kamu, tapi... nggak ada satupun yang bisa kayak kamu," monolog Rachel, air matanya mulai keluar dan jatuh membasahi pahanya.
"Kamu yang selalu bikin ketawa, kamu yang gak pelit dalam berbagi, kamu yang tahu keadaan, kamu..." Rachel menjeda ucapannya. "Kamu... dan kamu... nggak ada yang bisa kayak kamu."
Flashback off
"Dra? Kamu kenapa?" lamunan Andra terbuyarkan, dengan mata yang sembab, irma menatap Andra dengan tatapan bingung.
Tanpa Andra sadari, mata kirinya mengalirkan air mata, dengan tangan gemetar ia mengusap air matanya. "Nggak kok," entah mengapa, Andra tiba-tiba memeluk Irma. "Jangan nangis lagi okey? Aku usahain kakak bebas lagi."
Irma mendongak. "Beneran?"
Andra tersenyum dan mengangguk. "Ya."
.............
Brak!
Andrew menggebrak mejanya, urat-urat di lehernya timbul, wajahnya memerah. "Brengsek!" matanya melotot menatap monitor yang menampilkan Andra dan Irma yang berpelukan dengan mesra.
Andrew menelpon Lukas. "Lukas, kalau kamu berhasil mengambil ponsel Irma dan Andra mengejar kamu, tendang saja, orang seperti dia harus dikasih pelajaran!"
"Ashiap bos," ucap Lukas yang terdengar di kecilkan.
"Bagus."
........
Andra dan Irma, kedua insan itu berjalan beriringan keluar dari cafe Ezel. "Kak Irma mau aku anterin?" ucap Andra, mereka berdua saling berhadapan.
Irma mengangkat ponselnya dengan tangan yang kebetulan dekat pinggir jalan. Suara deru motor kencang melaju, dan dalam sekejap mata ponsel Irma hilang, diambil pengendara motor itu.
Irma berbalik badan. "Jambret!"
"Bangsat! Kak Irma tunggu disini," ucap Andra, ia berlari kearah motornya yang terparkir, memakai helmnya dan langsung menancap gas mengejar jambret tersebut.
Setelah salip-menyalip pengendara lain, Andra akhirnya bisa mengejar jambret itu dan beriringan. "Woi! Berhenti nggak lu!" Andra terdiam setelah melihat luka dileher jambret itu.
Jambret yang mengenakan helm full face itu menoleh dan menatap Andra tajam. "Bacot lu!" Jambret itu menendang motor Yamaha R6 Andra dengan sangat keras membuat oleng.
BRUK!
Andra terjatuh hingga terguling beberapa meter, ia terdiam menatap langit, jantungnya berdetak sangat kencang. "Untung gua pake helm, bisa ketemu papa lebih cepet kalo nggak."
Andra berusaha menggerakkan tangan kirinya. "Ah fuck," tangannya tak bisa digerakkan, tangan kanannya menyentuh tangan kirinya, dan tidak ada rasa sama sekali. "Bener tarnyata, tangan gua patah."
"Eh masih hidup! Bantuin-bantuin!" teriak seorang warga.
Tak lama beberapa warga mengerumuninya. "Nak, kamu nggak apa-apa? Mau dianter ke rumah sakit?" tanya seorang ibu-ibu sembari melepas helm Andra.
Andra mengangguk. "Mau bu," ia mengorek kantung celananya, namun itu di hentikan oleh ibu-ibu tadi.
"Hubungin temannya nanti aja nak, sambil jalan aja," ucap ibu dengan suara yang sangat lembut. "Oh iya, motor kamu nanti dibawa warga ke rumah sakit juga ya."
Para warga berbondong-bondong menggendong Andra masuk ke dalam angkot kosong yang berhenti dipinggir jalan. "Bang tolong ya bang, bawa ke rumah sakit wijaya Mukti , saya yang bayar," ucap ibu-ibu tadi sembari duduk dan menaruh kepala Andra di kepalanya.
"Bu Endang, ibu mau ditemenin sama yang lain atau sendiri aja?" tawar salah satu warga. "Takutnya ibu nggak kuat turunin dari angkot."
Bu Endang menggeleng. "Nggak usah, entar saya bisa minta bantuan pak supir, mau kan pak?"
Supir angkot menoleh dan mengangguk, warga yang masih didalam angkot pun hanya bisa pasrah dan keluar dari sana, setelah menyisakan Andra dan bu endang, angkot tancap gas ke rumah sakit.
"Bu Endang, tolong ambil hp saya di kantong celana saya yang kanan dong," pinta Andra.
Bu Endang mengangguk, ia mengorek kantong celana Andra, mengeluarkan ponsel Andra dan mengembalikan pada sang pemilik. "Ini nak."
Andra membuka kontak Bagas. "Gas, tolong ke cafe Ezel, tadi ada jambret yang ngambil hp Irma, dan sayangnya gua nggak ambil lagi."
"Iya, emang sekarang lu dimana? Mau lapor polisi?" tanya Bagas.
"Nggak, gua tadi ditendang dari motor sama jambret itu, gua sekarang mau ke rumah sakit, tangan gua patah," jawab Andra. "Tolong anterin kak Irma kerumah nya gas."
Bagas terdiam sejenak. "Yaudah, ntar gua kabarin anak-anak buat jenguk lu."
"Thank you gas," Andra menutup telpon.
Andra terdiam menatap bu Endang, wanita paruh baya itu mengenakan daster bunga-bunga yang mulai usang dan kerudung panjang, entah mengapa Andra merasa kasihan pada bu endang.
Tangan bu Endang yang sudah keriput itu mengelap keringat di wajah tampan Andra. "Nak, kamu mirip banget ya sama Alfi, almarhum anak ibu," bu endang menggendong. "Salah, mungkin lebih tepatnya anak angkat ibu."
Andra tampak kaget. "Mirip sama saya bu?"
"Iya, mata kamu, rambut ikal kamu, kulit kamu, senyuman kamu, semuanya sama kayak anak ibu," jawab bu Endang.
Andra membulat. "Ibu ngambil anak itu dari panti asuhan atau gimana?"
Bu Endang tersenyum, ia menarik napas dan mulai menceritakan yang terjadi.
Flashback on
Bu Endang, wanita itu dengan susah payah ia mendorong gerobak sotonya, ia terhenti ketika mendengar suara tangisan bayi dari arah rumahnya.
Bu Endang mengganjal roda gerobaknya, ia membuka pagar yang sudah karatan dan segera menghampiri sumber suara. Dan benar saja, seorang bayi diselimuti kain, bu Endang menekuk lutut, tangannya yang berisi itu menggendong bayi tersebut.
Sembari menggoyang-goyangkan bayi kecil itu, bu Endang merasakan tekstur kain yang menyelimutinya, lembut, halus, dan warnanya... sedikit mengkilau, seperti kain mahal. Bu Endang mengerutkan dahi, terdapat secarik kertas dalam kain itu, dengan hati-hati, bu Endang menarik kertas itu.
Bu Endang, maaf tiba-tiba, saya salah satu pelanggan ibu, ibu baik, setelah mendengar cerita ibu, dimana ibu dan suami ibu ingin sekali punya anak, namun belum dikaruniai. Dan sepertinya, cuma ibu yang pantes dan bisa mengurus anak ini, saya sudah mengurus surat-suratnya, jadi ibu tinggal mengurusnya.
Bu Endang menitihkan air mata, lalu ia memeluk bayi itu. "Ya allah ya robbi, hamba tidak tahu hamba harus bersedih atau senang, kasihan sekali anak ini."
Flashback off
Bu Endang mengelap air matanya, tak disangka, menceritakan hal seperti ini dapat membuatnya bersedih. Berbeda dengan bu Endang, Andra terdiam, ia tampak kaget.
Andra menatap langit-langit angkot, lalu membatin. “Apa orang yang nitipin Alfi ke bu Endang itu orang tua asli gua? Lalu gua dan Alfi ini saudara kembar?”