NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Sementara itu, Alma justru memulai hari dengan semangat yang berbeda.

ia yakin bahwa mimpinya akan segera terwujud.

Ia menata rambut seadanya, berdandan tipis, lalu keluar rumah dengan langkah ringan.

Percakapannya dari Harsya tadi pagi tidak merusak mood-nya, tapi Alma bertekad untuk tidak membiarkannya menentukan arah hidupnya.

Di kelas ia mengikuti materi sampai selesai, mencatat poin-poin penting, bahkan bertukar kontak dengan beberapa peserta lain.

Dan setelah kelas berakhir… di sebuah kafe kecil tidak jauh dari tempat kursus, Alma membuka laptopnya menelusuri setiap postingan yang berkaitan dengan dunia fashion.

Pandangannya tertuju pada satu akun postingannya berisi beberapa sketsa pakaian yang ia pikir konsepnya sangat menarik. Tangannya cekatan mengirimkan pesan pada sang pemilik postingan.

"“Hallo saya Alma Hapsari,saya lihat sketsamu konsepnya menarik saya lagi cari partner untuk butik .Kalau kamu tertarik, boleh kita ngobrol?.”Tulis Alma.

Tidak disangka sang pemilik akun sedang online dan dengan cepat membalasnya.

“Halo Alma, terima kasih sudah menghubungi. Kapan bisa bertemu?.”Balasnya hangat.

Ada degup kecil di dada Alma — bukan tentang romantisme, tapi ambisi.

"Ini jalanku." Ujarnya dalam hati.

"Hari ini juga boleh."

Siang itu Alma mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah studio, studio itu berada di ruko dua lantai yang tampak sederhana tapi estetik—jendela besar, tanaman rambat, dan papan nama kayu bertuliskan RENA Atelier.

Begitu Alma masuk, aroma kain baru dan bau cendana bercampur tipis.

Ruangan luas, penuh manekin, kain, dan mood board di dinding.

Semua terasa… hidup.

“Alma?.”

Sebuah suara memanggil.Seorang perempuan berambut pendek, berpenampilan artsy dengan kacamata bulat mendekat sambil tersenyum.

Rena — dan senyumnya bukan basa-basi, melainkan rasa respect pada sesama pekerja kreatif.

“Kamu lebih cantik dari fotomu,” canda Rena ringan sambil menyalami Alma.

Alma tersenyum kecil — bukan karena pujiannya, tapi karena cara Rena berbicara membuatnya merasa setara, bukan objek.

Rena mengajaknya masuk kedalam ruangan kerjanya.

“Aku suka gaya desain kamu — clean, feminin, tapi mature, karakter kuat dari sketsa kamu…" Ujar Alma bukan pujian yang berlebihan .

Perkataan itu membuat Rena tersipu.

“Aku punya rencana buka butik kecil,kenapa aku ajak kamu kerja sama? karena aku butuh partner yang solid."Ujar Alma hati hati.

Rena menanggapinya dengan santai tapi serius.

“Kita tidak perlu terburu buru,“ Pikirkan dulu kalau deal, saya ingin kontrak eksklusif."Lanjut Alma.

"Fine , aku pikir pikir dulu nanti aku kabari, senang bisa bertemu kamu."

Alma pun berpamitan,sepanjang jalan ia tidak henti henti bersenandung hatinya berbunga bunga karena ia tahu tinggal selangkah lagi mimpinya akan terwujud.

Malam itu Alma terlihat gelisah menunggu Harsya datang.

Ia sudah memikirkan kalimatnya matang matang untuk menyampaikan rencananya pada Harsya.

Ia beberapa kali melirik kearah jam dinding detik detik penantian itu terasa lambat, begitu bel berbunyi ia langsung bergegas membukanya.

Harsya berdiri di depan pintu ,menatap Alma dengan senyum lelah namun hangat.

“Kelihatannya bahagia sekali kamu?,”tanyanya sambil mengecup kening Alma.

Alma menggandeng lengan Harsya dan membimbingnya duduk diruang tamu

“Capek Mas?,mau dibuatkan kopi atau teh?.”Tawarnya

"Kopi saja." Sahut Harsya pelan.

Alma segera beranjak kedapur,tidak lama ia datang dengan secangkir kopi yang aromanya memenuhi ruangan.

"Minum dulu Mas."

Harsya mengangguk perlahan menyesap kopinya.

"Jadi gimana, kapan rencana mau buka?."Tanya Harsya sejurus kemudian.

"Maunya sih secepatnya tapi.." Almaterdengar ragu meneruskan kalimatnya, jemarinya saling bertaut.

Harsya memperhatikannya dengan detil,Lalu sebuah senyum muncul — lembut, tetapi sulit dibaca.

“Kamu sebutkan nanti berapa angka totalnya.Mas siap bantu, kamu nggak perlu pusing soal dana.”

Alma menunduk, namun dakam hatinya ia bersorak karena tanpa ia minta Harsya peka akan hal itu.

"Terima kasih ya Mas."

Harsya kembali tersenyum — kali ini datar, tapi terkontrol.

Ia menarik Alma ke pelukannya, mencium keningnya dengan lembut.

“Mas cuma minta satu… jangan sampai kesibukan baru bikin kamu jauh dari Mas, ya?”

Kalimat itu terdengar hangat — tapi ada nada kepemilikan yang samar di ujungnya.

Alma balas memeluknya meski pikirannya berkelana.

Harsya melirik arlojinya, wajahnya berubah sedikit tegang. Sudah terlalu larut.

Ia menatap Alma, ragu untuk mengucapkan apa pun.

“Baiklah, Al… Mas dukung rencana kamu.Mas bangga kamu ada keinginan untuk maju.”

Nada suaranya lembut, tapi kecemasan di matanya tidak bisa disembunyikan.

“Mas mau pergi?,” tanya Alma pelan, seperti sudah tahu jawabannya.

“Mas harus pulang.”

Harsya mencoba tersenyum, tapi senyumnya lebih mirip permintaan maaf.

Alma mengangguk, meski hatinya berat.

Ia memeluknya erat — bukan untuk meminta, tapi seolah ingin menyimpan potongan kecil kebersamaan itu.

Harsya membalas pelukan itu dan mengecup kening Alma pelan.

“Jangan begini dong, sayang… jangan bikin Mas merasa bersalah,” bisiknya.

Dengan berat, Alma melepaskannya dan mengantar sampai depan pintu apartemennya.

Sesaat sebelum masuk mobil, Harsya menengok kembali ke arah lobi.

Ada sesuatu di sana yang selalu menahan langkahnya — rasa dihargai, dipilih, dibutuhkan.

Sesuatu yang tidak ia dapatkan di tempat lain.

Ia akhirnya masuk ke dalam mobil dan menutup pintu.

Mesin mobil menderu pelan, keluar dari basement parkir, menuju jalan malam kota.

Tapi ketenangan lampu-lampu kota tidak setenang kepalanya.

Ia memgingat jelas saat Alma bicara tentang rencana bisnisnya, matanya berbinar — percaya diri, penuh arah.

“Akhirnya dia punya dunianya sendiri…” ia tersenyum tipis tanpa sadar.

Ada rasa lega janjinya pada Alma sedang terwujud bukan sekadar tempat tinggal, bukan sekadar kenyamanan, tapi masa depan.

Namun setelah itu, terbersit tanya di benaknya, jika Alma menemukan dunianya sendiri apakah ia masih membutuhkan dirinya?.

Atau justru itu ia tidak lagi menjadi bagian dari dunianya?.

Refleks tangan kirinya mengetuk setir pelan, gelisah tanpa diminta.

“Kenapa aku paranoid begini…” gumamnya hambar.

Sebelumnya, ia yakin Alma akan tetap berada di orbitnya .

Tapi kini Alma mulai membangun dunia sendiri ,maka perlahan ia akan kehilangan kendali.

Setelah Harsya pergi Alma duduk di depan meja kerjanya dengan laptop terbuka, daftar biaya dan estimasi modal terpampang jelas. Ia sudah menghitung berkali-kali — memastikan semuanya realistis, tidak berlebihan.

Saat hendak mengirimkan daftar itu ke Harsya lewat pesan, jemarinya terasa kaku.

Berulang kali ia mengetik… lalu menghapus lagi.

Setelah tarik napas panjang, Alma akhirnya menekan tombol send.

Detik terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.

Jantungnya berdegup tidak karuan.

Notifikasi berbunyi.

"Baik, Mas transfer besok."Alma menatap layar itu cukup lama.

Alma mengembuskan napas perlahan.

Ada kebahagiaan karena ia akhirnya bisa memulai mimpinya… tapi juga ada sedikit kekosongan yang sulit dijelaskan.

Ia membalas singkat

"Terimakasih ya Mas." Tulisnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!