Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penderitaan Statistik
Ruang kelas terasa begitu sunyi, hanya suara spidol yang beradu di papan tulis dan suara dosen yang terus menjelaskan rumus-rumus panjang yang bahkan kayaknya gak ada ujungnya. Angka, simbol, rumus, variabel semuanya campur aduk di kepala.
"Anak-anak, tolong perhatikan. Ini penting untuk ujian akhir nanti," suara dosen terdengar tegas tapi monoton.
Mita menatap papan tulis dengan mata setengah terbuka, lalu menunduk ke buku catatannya yang sudah penuh coretan asal. "Pala gue pusing, sumpah," keluhnya lirih.
Nayla yang duduk di sebelahnya langsung menutup mulutnya pakai tangan, menahan tawa. "Lo doang? Nih, gue dari tadi liatin papan tulis kayak liat kode WiFi rumah orang. Sama sekali gak ngerti!"
Mita menoleh dengan wajah lesu. "Gue tuh udah berusaha fokus, tapi angka-angka ini kayak joget di depan mata gue."
"Joget? Ini mah bukan joget, Mit. Ini angka lagi demo minta perhatian. Tadi 1 sama X aja kayaknya lagi debat siapa yang paling penting," balas Nayla sambil pura-pura garuk kepala.
Beberapa teman di sekitar mereka menahan tawa, sementara dosen menatap sekilas ke arah dua gadis itu. Nayla langsung pura-pura nulis cepat di buku catatannya, seolah-olah dia paling fokus di dunia.
"Lanjut ya, anak-anak. Perhatikan di sini," kata dosen lagi.
Nayla membisiki Mita pelan, "Lo rasa gak sih, dosen kita tuh kayak punya kekuatan sihir? Semakin dia ngomong, makin berat kelopak mata gue."
Mita langsung nyengir. "Parah sih, Nay. Gue rasa mata gue udah 80 persen dalam mode tidur."
"Fix, kita butuh kopi satu teko," bisik Nayla.
Dosen masih menulis panjang lebar di papan, dan Nayla menatap angka-angka itu lagi. Ia mendesah pelan sambil menutup wajahnya dengan buku catatan.
"Ya Tuhan, kenapa sih statistik gak bisa kayak cinta gak perlu dicari rumusnya, tinggal dirasain aja," gumam Nayla lemas.
Mita langsung ngakak pelan. "Cinta lo kayaknya juga butuh rumus deh, Nay, biar gak salah orang mulu."
"Ck, dasar lo, Mit! Udah tau pala gue mau meledak, masih aja lo roasting!"
Mereka berdua tertawa kecil, berusaha menahan diri agar tidak ditegur dosen. Tapi suasana kelas yang tadinya tegang langsung terasa sedikit lebih hidup karena tingkah dua mahasiswi itu.
Begitu dosen menutup spidol dan berkata, "Oke, cukup sampai sini ya pertemuannya," Ucap dosen itu singkat, lalu ia merapikan buku-bukunya dengan gerakan tenang tapi tegas. Tanpa menunggu jawaban atau reaksi dari mahasiswa, ia melangkah keluar dari kelas
seluruh kelas langsung seperti hidup lagi. Suara napas lega terdengar di mana-mana. Beberapa mahasiswa langsung merapikan buku, ada yang rebahan di meja, ada juga yang langsung buka ponsel termasuk Nayla dan Mita.
"YA AMPUN... AKHIRNYA SELESAI JUGA!" seru Nayla sambil menepuk dadanya dramatis. "Gue pikir tadi bakal wafat terhormat di medan perang statistik."
Mita ngakak. "Sumpah, Nay, lo tuh kayak sinetron. Tapi gue setuju sih, itu tadi berat banget. Otak gue panas."
Nayla langsung selonjoran di kursinya, mengibas-ngibaskan buku catatannya seolah jadi kipas. "Gue ngerasa setiap rumus yang ditulis dosen tuh kayak nyedot energi hidup gue. Kayak dementor, tau gak lo?"
"Yang di Harry Potter itu?" tanya Mita sambil nyengir.
"Iya! Tapi ini versi akademik. Sumpah, abis ini gue butuh boba sama gorengan biar hidup lagi."
Mita tertawa lagi. "Lo tuh, Nay, makan terus yang diomongin."
"Ya mau gimana, Mit. Dari pagi gue cuma makan telur, itu pun satu butir doang! Makan nasi uduk buru buru karena takut telat. Gue butuh makanan, dan kebahagiaan," ucap Nayla dramatis sambil meletakkan tangan di dada.
"Udah, yuk cabut. Sebelum dosennya ingat belum ngasih tugas tambahan."
"NAH! Itu baru ide bagus. Ayo cabut sebelum bencana datang!"
Mereka berdua langsung berdiri, memasukkan buku ke tas dengan cepat. Nayla sempat menatap papan tulis yang masih penuh rumus dan bergumam pelan, "Sampai ketemu lagi minggu depan, wahai penderitaan statistik..."
"Udah, Nay, jangan dilihatin, nanti trauma kambuh," celetuk Mita.
"Wkwk iya, iya. Yuk, gas!"
Mereka pun melangkah keluar kelas sambil tertawa. Nayla masih sempat nyeletuk, "Abis ini gue butuh healing... atau cowok ganteng yang bisa bantuin ngerjain tugas statistik. Kalo bisa, jangan kayak tetangga gue yang genit itu."
"HAHA! Lo tuh gak bisa move on dari dia, Nay!"
"Apaan sih, Mit! Gue cuma trauma, bukan suka!" bantah Nayla sambil nyengir.
Dan begitulah kelas berakhir dengan tawa dua sahabat yang seolah jadi cahaya di tengah penderitaan statistik.
Mereka berjalan santai ke arah kantin dengan langkah malas tapi lega, udara kampus itu terasa lebih segar setelah perjuangan menghadapi statistik. Begitu sampai, Nayla langsung menjatuhkan diri ke kursi plastik berwarna oranye.
"Astagaa, Mit..." keluhnya sambil menatap ke langit-langit, "kalo gue lama-lama natap papan tulis tadi, gue yakin otak gue bakal minta tolong. Kayak 'tolong Nayla, gue gak sanggup lagi ngitung itu semua!'"
Mita langsung ngakak keras sampai pelayan yang lewat sempat melirik. "HAHA iya! Angka-angka itu tuh kayak punya dendam pribadi sama kita. Tadi dosen nulis rumus aja gue udah pengen pamit hidup."
"Untung dia gak nyuruh kita maju ke depan. Bisa-bisa gue pura-pura pingsan," celetuk Nayla sambil pura-pura nyender di meja.
Mereka pun memesan dua gelas orange juice. Begitu minumannya datang, Nayla langsung meneguk setengah gelas tanpa napas. "Haaahhh! Seger banget! Rasanya kayak hidup gue balik lagi."
"Padahal baru aja sejam lalu lo bilang pengen mati karena statistik," ucap Mita menggoda.
"Namanya juga manusia, Mit. Cepet menyerah, tapi cepet juga bahagia."
Mereka tertawa bareng. Nayla menaruh sedotan di mulut, matanya fokus ke ponsel yang tiba-tiba bergetar.
"Eh, grup rame nih," ucapnya.
Mita langsung mendekat, "Apa tuh? Jangan-jangan ada tugas?"
Nayla membuka grup dan matanya langsung membesar. "MIT! DOSEN GAK JADI HADIR!"
Beberapa detik hening. Lalu mereka saling pandang dengan ekspresi yang sama antara syok, bahagia, dan histeris.
"SERIUSAN?!" teriak Mita.
"SERIUS! NIH LIAT CHAT-NYA!" Nayla menunjukkan layar HP-nya.
Tanpa pikir panjang, mereka langsung berdiri dari kursi, saling peluk, lalu muter-muter di tempat seperti anak kecil yang menang undian.
"YEYYY NGGAK MASUUUKK!" teriak Nayla dengan suara cempreng khasnya.
"YEYYY BEBASSS!" sahut Mita, ikut jingkrak-jingkrak sambil ketawa ngakak.
Orang-orang di sekitar kantin sampai menoleh, tapi Nayla gak peduli.
"Biarlah dunia tahu, gue bahagia!" serunya sambil mengangkat tangan ke langit-langit kantin.
Mita menepuk dahinya sambil ketawa. "Gue malu tapi ikut seneng!"
"Udah Mit, kita rayain dulu kemenangan kecil ini. Hidup terlalu berat buat gak dirayain!" ucap Nayla sambil ngelap air mata ketawa.
Mereka pun duduk lagi, masih tertawa sambil menyeruput jus yang tinggal setengah.
"Abis ini mau ke mana?" tanya Mita.
"Entah. Tapi yang jelas bukan kelas!" jawab Nayla santai, lalu bersandar ke kursi dengan wajah sumringah.
"Gimana kalo kita ke mall aja, Nay?" ucap Mita tiba-tiba dengan semangat membara sambil nyedot orange juice-nya sampai berbunyi srrt srrt.
Nayla yang baru aja rebahan di meja langsung mendongak cepat, ekspresinya antara kaget dan gak percaya. "HAH? Yang bener aja, Mit? Mall?" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan dramatis. "Liat gue, Mit. Nih orang kismin, belum gajian, saldo tinggal dua digit, dompet isinya struk belanja sama kartu nama abang bakso."
Mita ngakak sampe hampir keselek sedotannya. "Yaelah Nay, gue kan gak nyuruh lo belanja. Kita jalan-jalan aja, cuci mata gitu lho. Gue juga udah stres liat angka-angka statistik."
"Tapi..." Nayla menatap langit-langit kantin sambil narik napas panjang, "kalo gue ngeliat diskon, tuh tangan gue suka gerak sendiri, Mit. Tiba-tiba aja masuk toko dan beli sesuatu yang gak gue butuhin. Nanti gue malah makan mie instan seminggu."
Mita menyengir, "Tenang aja, Nay. Kali ini lo gak bakal bangkrut. Gue yang belanja, lo yang nemenin. Udah gitu, nanti gue traktir ramen di food court."
Nayla langsung tegak di kursinya, matanya membulat kayak lampu bohlam. "Hah!? SERIUS lo? Jangan PHP gue, Mit. Ramen, bukan seblak kan?!"
"Ramen asli, Nay. Bukan yang instan, sumpah!" ucap Mita sambil ngacungin tiga jari.
"Gas! Langsung gas!" Nayla berdiri sambil mengangkat tasnya, wajahnya langsung sumringah seketika. "Tadi gue miskin, sekarang gue bahagia! Nih hidup cepat banget berputarnya!"
"Baru denger kata ramen aja langsung semangat," goda Mita.
"Lo gak ngerti, Mit. Ramen tuh bisa nyembuhin luka hati, stres, bahkan rasa lapar dan miskin gue!" Nayla menepuk dadanya sendiri penuh keyakinan.
Mita ngakak sambil berdiri juga. "Ayo deh, sebelum lo berubah pikiran."
"Let's go!" Nayla berteriak kecil sambil berjalan ke arah pintu kantin, langkahnya ringan, rambutnya bergoyang mengikuti gerakan cerianya. "Ramen, aku datang!"