Bima Satriya mati konyol, tapi terbangun di tubuh Dante Romano, bos mafia paling kejam di Sisilia. Saat semua orang menunggu perintah pembantaian darinya, sebuah suara asing bergema:
“Misi pertamamu: Jadilah orang baik, atau mati selamanya.”
Bisakah jiwa polos Bima mengubah dunia penuh darah menjadi jalan penebusan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perangkap
Rencana Dimulai
Malam terasa lebih dingin dari biasanya di Palermo. Vila Romano yang biasanya riuh dengan suara pesta, kali ini sunyi. Semua orang menahan napas, seakan badai sedang menunggu untuk pecah.
Bima—yang kini hidup sebagai Dante—duduk di ruang kerja besarnya. Tangannya menggenggam pena, menuliskan beberapa coretan di atas kertas. Giovanni berdiri di dekat jendela, menghisap rokok dengan wajah serius. Marco mondar-mandir, tak sabar.
“Boss, kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Kalau benar Salvatore sudah menjual kita ke Vittorio, setiap menit adalah bahaya.” Marco menghentikan langkahnya, menatap Bima dengan mata membara.
Bima menutup bukunya, menatap kedua orang kepercayaannya itu.
“Kita tidak bisa sekadar menembak kepala Salvatore begitu saja. Jika aku lakukan itu, keluarga Romano akan pecah. Ada separuh anak buah yang setia padanya. Mereka bisa memberontak, dan musuh hanya tinggal memungut sisa-sisa tubuh kita.”
Giovanni mengangguk pelan. “Jadi… perangkap?”
Bima menyunggingkan senyum tipis. “Ya. Kita akan buat dia mengaku dengan sendirinya, di depan semua orang.”
Sistem tiba-tiba berbunyi di kepalanya.
> [Misi Utama: Ungkap Salvatore tanpa pertumpahan darah internal.]
[Batas waktu tersisa: 7 hari.]
[Petunjuk: Gunakan kelemahan musuh.]
Bima memejamkan mata sebentar. “Kelemahan… semua orang punya itu. Dan aku akan menemukannya.”
---
Menyelidiki Salvatore
Selama beberapa hari berikutnya, Giovanni dan Marco bekerja seperti bayangan. Mereka mengumpulkan informasi kecil tentang Salvatore.
Siapa yang dia temui di luar jam kerja.
Ke mana dia sering menghilang.
Apa yang dia sembunyikan dari keluarganya.
Hasilnya mengejutkan. Giovanni datang ke Bima dengan setumpuk foto. “Boss, Salvatore sering ke sebuah klub malam di pinggir Palermo. Tapi dia tidak sekadar main perempuan atau judi. Dia bertemu dengan seseorang dari keluarga Vittorio.”
Bima meraih salah satu foto. Salvatore terlihat duduk di pojok klub, berbicara serius dengan seorang pria botak berkacamata hitam.
“Siapa orang ini?” tanya Bima.
Giovanni menjawab cepat. “Carlo ‘Il Serpente’. Salah satu tangan kanan Vittorio. Dikenal licik dan suka memanfaatkan kelemahan orang.”
Bima menaruh foto itu ke meja. Dalam hatinya, ia sudah bisa menebak: Carlo pasti memegang sesuatu yang bisa mengendalikan Salvatore. Entah hutang, rahasia, atau kelemahan pribadi.
---
Mengikuti Jejak
Malam berikutnya, Bima sendiri yang turun ke lapangan. Ia menyamar dengan jaket hitam sederhana, ditemani Giovanni dan Marco. Klub malam itu penuh dengan cahaya neon merah, musik keras, dan wanita yang menari di panggung.
Bima duduk di pojok gelap, menatap Salvatore yang baru saja masuk. Lelaki paruh baya itu berjalan dengan percaya diri, berjabat tangan dengan Carlo. Mereka duduk di meja VIP.
Bima berusaha membaca gerak-gerik tubuh mereka. Carlo terlihat menekan, sementara Salvatore terlihat gelisah, sesekali menunduk, lalu mengangguk cepat.
Giovanni berbisik di telinganya, “Dia sedang menerima perintah. Lihat cara tangannya gemetar.”
Bima mengepalkan tangan. “Sistem, apa yang sebenarnya menahan Salvatore?”
Sistem menjawab:
> [Analisis Singkat: Salvatore terlilit hutang besar akibat judi. Carlo menggunakan itu sebagai senjata untuk memerasnya.]
Bima hampir tidak bisa menahan tawa getir. “Jadi, kapten besar Romano ternyata dikendalikan hanya karena meja judi?”
Marco berbisik kesal. “Kalau begini, lebih mudah. Kita lunasi hutangnya, lalu tarik dia kembali.”
Bima menggeleng. “Tidak, Marco. Orang seperti Salvatore… kalau sekali saja menjual keluarga, dia akan melakukannya lagi. Aku harus tunjukkan wajah aslinya pada semua orang, agar tidak ada yang berani mengikuti jejaknya.”
---
Menyiapkan Perangkap
Keesokan harinya, Bima mengumpulkan Giovanni dan Marco di ruang rahasia. Di dinding terpampang peta besar Palermo, dengan jarum penanda di beberapa titik strategis.
“Dengarkan,” kata Bima sambil menunjuk peta. “Kita akan buat seolah-olah Romano sedang mengirim barang berharga. Informasi ini akan sengaja bocor ke Salvatore. Kalau dia memang pengkhianat, dia pasti akan memberitahu Carlo. Dan ketika itu terjadi, kita sudah siap menyambut.”
Giovanni menatap Bima, matanya penuh rasa hormat. “Boss… ini ide yang brilian. Tapi bagaimana kalau Salvatore curiga?”
Bima menyeringai. “Dia tidak akan curiga. Karena aku sendiri yang akan memintanya menjaga kargo itu. Dia akan merasa punya kesempatan emas untuk menunjukkan ‘loyalitasnya’.”
Marco terkekeh. “Licik juga kau sekarang, Boss. Kupikir sistem itu membuatmu lebih lembut, ternyata membuatmu semakin pintar.”
Bima menghela napas. “Aku tidak ingin melukai orang, Marco. Tapi kalau orang itu sendiri memilih jalan pengkhianatan… aku tidak bisa menutup mata.”
---
Umpan Diluncurkan
Dua malam kemudian, Bima memanggil semua kapten, termasuk Salvatore, ke ruang rapat besar. Suasana tegang, karena gosip tentang pengkhianat sudah menyebar.
Bima berdiri di depan meja panjang. “Ada kiriman penting yang harus sampai besok malam. Aku ingin Salvatore sendiri yang memimpin pengawalan. Aku percaya padamu.”
Salvatore tampak terkejut sesaat, lalu menunduk. “Tentu, Boss. Saya tidak akan mengecewakan Anda.”
Tatapan mata Giovanni dan Marco penuh curiga, tapi mereka menahan diri.
Begitu rapat bubar, Bima berdiri di balkon lantai dua, mengawasi Salvatore yang berjalan keluar dengan ekspresi gelisah. Dalam hati ia bergumam, “Ayo, jatuhlah ke perangkapku.”
Sistem berbisik pelan:
> [Umpan berhasil ditanam. Tunggu reaksi target.]
---
Malam Pengkhianatan
Hari pengiriman tiba. Truk besar berisi peti kayu disiapkan. Padahal, peti itu tidak berisi apa-apa selain batu dan besi tua. Umpan sempurna.
Salvatore memimpin konvoi, wajahnya terlihat tegang namun penuh percaya diri. Ia tidak sadar bahwa beberapa anak buah yang ikut bersamanya sebenarnya adalah orang-orang pilihan Giovanni, yang diam-diam melapor ke Bima.
Di pelabuhan tua, saat konvoi melewati gudang kosong, tiba-tiba sebuah mobil hitam muncul. Dari dalamnya turun Carlo bersama beberapa pria bersenjata.
“Salvatore,” kata Carlo sambil menyeringai. “Bagus sekali kau bawa hadiah untuk Vittorio.”
Salvatore terlihat ragu sejenak, lalu memberi isyarat pada anak buahnya. “Turunkan peti itu.”
Saat itu juga, Giovanni memberi sinyal lewat radio. Dari atap gudang, puluhan sniper Romano sudah mengarahkan senjata. Marco memimpin tim cadangan yang siap menyerbu kapan saja.
Bima sendiri keluar dari kegelapan, berjalan dengan langkah mantap. “Salvatore…” suaranya dingin, bergema di malam itu. “Aku memberimu kepercayaan. Dan lihat apa yang kau lakukan.”
Wajah Salvatore pucat pasi. “B-Boss… ini… ini tidak seperti yang Anda pikirkan…”
Carlo tertawa terbahak. “Hahaha! Dante, akhirnya kau datang sendiri! Romano akan runtuh malam ini!”
Bima mengangkat tangan, memberi isyarat. Lampu sorot tiba-tiba menyala, memperlihatkan pasukan Romano yang mengepung seluruh area.
Carlo langsung panik. “Sial, ini jebakan!”
Salvatore terduduk lemas, menyadari ia sudah terpojok.
---
Pengakuan Terungkap
Bima berjalan mendekat, menatap Salvatore yang gemetar. “Katakan di depan semua orang, siapa yang memberimu perintah?”
Salvatore menunduk, suaranya bergetar. “I-Itu… Carlo… Vittorio… mereka… mereka memeras saya… hutang saya terlalu besar… saya tidak punya pilihan…”
Semua orang yang hadir mendengar jelas. Para anak buah Romano yang tadinya mungkin ragu, kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kapten mereka adalah pengkhianat.
Bima menghela napas berat. “Kalau kau datang padaku lebih dulu, mungkin aku bisa menolongmu. Tapi kau memilih menjual keluargamu.”
Salvatore menangis, memohon. “Boss… ampun… saya—”
Bima mengangkat tangan. “Bawa dia ke sel bawah. Aku tidak akan membunuhnya… tapi dia tidak lagi bagian dari Romano.”
Marco ingin protes, tapi Giovanni menahan bahunya. “Biarkan Boss yang memutuskan.”
Carlo, yang panik, mencoba kabur. Namun pasukan Romano sudah lebih dulu menembaknya di kaki. Dia jatuh tersungkur, meraung kesakitan.
Bima menatapnya dingin. “Kirim pesan pada Vittorio. Jika dia ingin bermain kotor, aku akan selalu satu langkah di depannya.”
---
Setelah Badai
Malam itu, seluruh keluarga Romano kembali ke vila dengan rasa lega sekaligus tegang. Mereka tahu, pengkhianat sudah terungkap.
Di ruang kerja, sistem berbunyi:
> [Misi Berhasil: Salvatore terungkap tanpa pertumpahan darah internal.]
[Hadiah: Skill “Strategi Politik Lv.1” diperoleh.]
[Poin Kebaikan +500.]
Bima menghela napas panjang, duduk di kursinya. “Astaga… rasanya aku sedang main catur dengan nyawa manusia.”
Giovanni berdiri di sampingnya. “Boss, malam ini kau bukan hanya pemimpin… kau sudah jadi legenda. Semua orang melihatmu berbeda sekarang.”
Marco menepuk dadanya. “Kalau begini, Vittorio sendiri akan berpikir dua kali untuk menantangmu.”
Bima menatap ke luar jendela, ke arah langit Palermo. Dalam hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Jalan menuju “menjadi mafia baik” masih panjang, penuh jebakan dan darah.
Namun ia juga tahu satu hal: ia tidak sendirian.