Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 16
Studio musik SilverDawn sore itu ramai. Suara gitar sedang di-stem, drum dipukul pelan, dan beberapa staf mondar-mandir menyiapkan latihan. Begitu pintu terbuka, Kevin masuk bersama Anton. Topi, hoodie, dan masker masih melekat, seolah ia tak ingin satu pun orang melihat wajah lelahnya.
“Kev! Lu nggak apa-apa, kan?” tanya Daren, gitaris, yang langsung menghampiri. “Katanya tadi sempet kejar-kejaran sama fans?”
Kevin hanya mengangkat bahu, melempar hoodie ke sofa, lalu duduk sambil menghela napas panjang. “I’m fine. Just a bit exhausted.”
Anton yang berdiri di belakangnya langsung memotong dengan nada kesal. “Exhausted? Lu itu nyari masalah sendiri, Kev. Kalau tadi nggak ada yang nolong, gue nggak tahu sekarang gimana jadinya.”
Mata para member lain langsung tertuju padanya. “Ada yang nolong?” tanya Chris, drummer, sambil menghentikan ketukan stiknya.
Anton mengangguk, wajahnya jelas masih gusar. “Iya. Cewek. Fans. Dan tahu nggak? Kev malah kasih nomor pribadi dia ke cewek itu.”
“Apa?!” seru Riku. Ia menatap Kevin dengan kaget sekaligus tidak percaya. “Kev, are you insane? Lu tau kan itu bisa bahaya banget?”
Kevin mengangkat kepalanya perlahan, menatap mereka tanpa ekspresi berlebihan. “She saved me. Kalau bukan karena dia, gue pasti kejebak di tengah fans tadi. I owed her something.”
Eren menggeleng cepat. “But still, nomor pribadi itu too risky. Cewek bisa aja obsessed, mulai ngikutin lo, spam chat, bahkan nge-track lokasi.”
Chris ikut menimpali, “Bro, gue saranin langsung ganti nomor aja sekarang. That’s the safest way.”
Kevin bersandar ke kursi, menutup mata sejenak. “No. Aku nggak mau ganti nomor. At least not now.”
Anton mendengus keras, berjalan mondar-mandir sambil mengusap tengkuknya. “Kev, lo tuh keras kepala banget. Gue manager lo, lo harus dengerin gue. Kalau ada satu aja masalah muncul gara-gara ini, bukan cuma lo, tapi semua member kena imbasnya.”
Suasana di studio jadi sedikit tegang. Riku, yang biasanya jadi penengah, menunduk lalu berkata dengan suara lebih tenang, “Kev, kita ngerti. Lo mungkin ngerasa berhutang budi. Tapi jangan lupa, kita ini public figure. Satu langkah kecil bisa jadi headline besok pagi.”
Kevin membuka mata, menatap temannya dengan serius. “I know, Rik. Trust me, I know the risk. But... somehow, I believe dia bukan tipe yang bakal bikin masalah. Aku cuma... Ngerasa she deserves that trust. Just this once.”
Ruangan terdiam sejenak. Semua menatap Kevin, mencoba membaca ekspresinya. Di balik ketenangan itu, mereka bisa melihat ada sesuatu yang lain sebuah kelelahan dan keinginan untuk punya hubungan normal dengan orang di luar dunia hiburan.
Anton akhirnya berhenti berjalan, menghela napas panjang. “Fine. Tapi gue bakal awasi terus. Kalau ada tanda-tanda aneh sedikit aja, nomor itu harus diganti. Clear?”
Kevin mengangguk pelan. “Clear.”
Suasana mereda, latihan pun mulai. Namun, masing-masing member SilverDawn masih menyimpan kegelisahan. Kevin mungkin terlihat yakin, tapi mereka tahu, sekali saja kepercayaan itu salah tempat, konsekuensinya bisa sangat besar.
Dan di sudut sofa, Kevin memejamkan mata sebentar sebelum mengambil gitar. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap Meira benar-benar berbeda dari fans lainnya.
____
Telepon genggam itu masih berada di tangan Meira. Jemarinya yang mungil menggenggam erat seolah benda itu bisa mewakili kehadiran Kevin di ruang apartemennya yang kini terasa hampa. Layar ponsel berulang kali menyala, menampilkan nomor yang baru saja ia dapatkan. Nomor pribadi Kevin. Sebuah angka yang bagi jutaan orang di luar sana mungkin mustahil dimiliki.
Meira menatap layar itu lama sekali, seperti berharap ada jawaban dari bayangan Kevin yang tersisa. Hatinya bergemuruh, campuran antara rasa senang, bangga, juga ketakutan.
“Apa gue harus hubungin dia? Just to say hi? Tanya kabarnya?” gumamnya pelan, seakan sedang berdebat dengan dirinya sendiri.
Ia berjalan bolak-balik di ruang tamu. Tatapannya sesekali jatuh pada pigura besar Kevin yang tergantung di dinding. Seolah gambar itu ikut menilai kegelisahannya. Meira menarik napas panjang. “Tapi... kalau gue hubungin sekarang, keliatan banget gue nggak sabaran. Kayak stalker. Apa Kevin bakal ilfeel?”
Ia menjatuhkan diri di sofa, menatap ponsel yang masih dalam genggaman. Layar ponselnya kini gelap, tapi angka-angka nomor itu sudah ia hafal di luar kepala. Ia mencoba menenangkan pikirannya. Rasanya ia ingin sekali tahu, apakah Kevin sudah sampai studio dengan selamat, apakah ia baik-baik saja setelah kejar-kejaran tadi. Bukankah wajar menanyakan itu? Toh Kevin habis datang ke apartemennya, bahkan sempat duduk di sofa yang kini masih menyimpan sedikit aroma parfum sang idol.
“Kalau gue diem aja, kayak nggak peduli,” bisiknya lirih. “Tapi kalau gue nelpon... apa gue ganggu?”
Meira menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu berguling ke sisi lain sofa. Perasaan itu benar-benar membuatnya tersiksa. Selama ini ia hanya bisa memandang Kevin dari jauh dari layar televisi, konser, atau majalah. Kini, untuk pertama kalinya ia punya kesempatan nyata untuk berbicara langsung. Kesempatan itu ada tepat di tangannya, tapi ia takut salah langkah.
Ponselnya kembali ia angkat, jempolnya bergerak ke arah tombol “Call”. Layar menampilkan nama kontak yang tadi ia simpan terburu-buru. Nama kontaknya My Kevin.
Namun, tepat sebelum menekan tombol hijau itu, ia berhenti. “Gila... kalau gue telpon sekarang, pasti dia lagi sama temen-temennya. Atau lagi sama manajernya. Bisa-bisa gue malah dicap ganggu.”
Ia bangkit, berjalan ke dapur, menuangkan segelas air. Namun gelas itu hanya ia letakkan di meja tanpa disentuh. Kepalanya terlalu penuh dengan dilema.
Meira kembali duduk, kali ini menatap ponsel dengan sorot lebih lembut. “Kev… gue cuma pengen tau lo baik-baik aja. That’s all. Apa itu salah?”
Air mata tiba-tiba menitik tanpa ia sadari. Ada rasa getir di dadanya. Bukan hanya karena Kevin mungkin terlalu jauh untuk digapai, tapi juga karena dunia seolah mengingatkan ia hanya fans, sementara Kevin adalah bintang.
____
Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam ketika Kevin akhirnya keluar dari ruang latihan bersama teman-teman SilverDawn. Tubuhnya terasa lelah, suaranya masih serak karena terus bernyanyi sejak sore. Ia menghela napas lega, bersiap menuju mobil yang sudah menunggu.
Namun, langkahnya terhenti saat ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk. Kevin melirik sekilas layar, dan matanya sedikit melebar. Nama itu Meira.
Ia buru-buru menjauh dari kerumunan, tidak ingin Anton atau anggota band lain melihat. Punggungnya menempel ke dinding koridor, lalu ia buka pesannya.
“Kev... lo udah pulang dengan selamat? Gue cuma pengen pastiin aja, tadi sempet kepikiran.”
Kevin terdiam sejenak. Ada sesuatu yang hangat membaca pesan itu tulus, meski agak nekat. Bibirnya tersenyum tipis, lalu ia mulai mengetik balasan.
“Iya, I’m fine. Baru selesai latihan. Thanks udah peduli.”
Ia sempat ragu, namun kemudian menambahkan kalimat tegas:
“But please, Meira... nomor ini jangan pernah lo kasih ke siapa pun. Kalau sampai tersebar, I’ll have to change it. Dan soal rahasia tadi... tolong simpan baik-baik. Gue percaya sama lo.”
Pesan itu terkirim. Kevin menghela napas panjang, menatap layar yang kini gelap kembali. Ada rasa tenang sekaligus cemas. Ia tahu, memberi nomor pribadi pada seorang fans adalah kesalahan besar. Tapi entah kenapa, pada Meira, ia merasa berbeda meski tetap harus berhati-hati.
Dari kejauhan, Anton memanggilnya. Kevin segera menyimpan ponsel ke saku, menegakkan tubuh, lalu berjalan kembali bergabung seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, di hatinya, ia sadar satu hal hubungan aneh ini baru saja dimulai.