Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tenang Dalam Kenangan
Memindai barang-barang Mama, menyentuh haru di benak Mala. Selama ini, begitu marah, begitu kecewa pada Mama ... menyalahkan Mama atas trauma medusa yang Mala alami. Namun, kali ini menghirup kembali aroma membekas di pakaian-pakaian Mama, langsung melenyapkan tumpukan dendam.
Tak kusangka kemarin itu pelukan terakhir kita, ya, Ma? Untungnya kita telah saling memaafkan.
Air mata Mala hendak kembali tumpah. Ia sendirian di kamar Mama. Hanya ingin kembali tenang dalam kenangan Mama tanpa bising pertanyaan para tetangga.
Umur tak ada yang tahu, ya, Mbak Mala? Kemarin baru saja rewang bareng, loh!
Kurang lebih begitulah omongan orang-orang yang berulang-ulang berdengung di telinga Mala.
Mala lelah dan rasanya sangat mengantuk, menyandarkan kepala pada bantal yang masih menyimpan aroma Mama. Membenamkan wajah dan baru terasa rindu yang amat sangat.
Penyesalan memang datang terakhir, bagaimana ini, Ma? Mala terlalau rindu.
Mala sebenarnya lama mengetahui dari guru mengaji yang selalu ia dengarkan ceramahnya, bahwa tak boleh meratapi kepergian seseorang yang meninggal dunia seperti ini. Lebih baik berusaha tegar dan cukup mendoakan.
Bibir Mala melantunkan doa-doa, lirih dan syahdu. Kedua matanya hampir terpejam saat ...
"Mala!" Ayah memanggilnya.
Mala begitu lemas untuk sekadar mendongak pada ayahnya. Tapi ia bergumam menjawab, berharap ayahnya tidak memanggil untuk menemui tamu lagi. Bagaimanapun Mala butuh waktu sendiri untuk berduka.
Ayah Mala sibuk membuka laci. Terdapat map-map lama yang ingin ia tunjukan. Mala melirik sedikit ketika sekali lagi Ayah memanggil sedikit keras.
"Apa yang ingin Ayah tunjukkan," gumam Mala malas.
"I-ini polis asuransi Mama...!"
"Hah?" Nada suara Mala berubah meninggi.
"Kuburan Mama masih basah, Yah! Mungkin saat ini saja Mama masih ditanya-tanya malaikat penjaga kubur!" bentak Mala pada ayahnya.
Mala tahu ini tak sopan. Tapi kesabarannya juga sudah habis. Dari tadi tak melihat wajah sedih sang ayah, dan kali ini ... baru beberapa jam sudah membicarakan asuransi kematian Mama.
Ayah Mala tertegun karena putri tunggalnya kemudian menangis histeris. Memutuskan untuk tidak melanjutkan maksud dan tujuan rencananya membahas polis asuransi tersebut. Lalu menyimpannya kembali ke dalam laci.
Melangkah perlahan ke tepi kasur, berupaya menenangkan Mala yang masih menangis. Putrinya itu membenamkan wajah ke bantal. Meredam suara isak yang sebenarnya telanjur terdengar hingga keluar kamar. Mala sudah tak peduli apa pun, pastinya orang-orang akan mengira wajar jika sebagai anak, Mala masih terbawa tangisan penuh emosi.
Ayah Mala menepuk bahu Mala yang bergetar. Mengusapnya pelan, berusaha menyajikan kasih sayang seorang ayah untuk Mala. Di mana ayahnya tahu, sekian lama ini ... kendati sering bertemu, bahkan Mala rutin memberikan uang bulanan, tetapi hubungan mereka sama sekali tidak dekat.
Sudah lama, putrinya itu tidak tersenyum tulus pada kedua orang tua. Acapkali berwajah cemberut jika sedang memberikan uang atau dimintai uang. Seakan itu beban maha berat yang dipikulnya karena ia adalah anak satu-satunya.
Ayah Mala bermaksud baik, mengingat beban Mala selama ini. Mengingat hampir tak ada lagi yang sanggup diberikan orang tua untuk Mala, kecuali warisan hutang. Untuk itu, ayah Mala bermaksud menunjukkan polis asuransi kematian istrinya. Jika setelah masa berduka ini, Mala cepat mengurusnya ... maka ia akan punya simpanan uang yang cukup besar sebagai ganti dari membiayai ini semua. Terlebih jika nilainya dapat menutup hutang bank yang mengatasnamakan nama Mala. Bukankah selama ini, utang piutang yang membuat Mala marah dan kecewa pada orang tua?
Sayangnya, Mala tak memahami maksud baiknya. Ia larut dalam tangis. Kini ayah Mala hanya bisa duduk terpekur di tepi ranjang. Menunggu reda tangis Mala.
Netra tuanya menatap foto istrinya yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, adalah moment terbaik yang dimiliki sang istri. Masa dimana bisnis mereka masih berjaya. Di foto itu, ibu Mala mengenakan blazer biru, bergincu tebal merah merona khas tahun 1990-an. Di lehernya berhias kalung mutiara yang tidak murah harganya.
Ayah Mala meringis menahan kenangan yang menyeruak. Mengingat kembali wujud terakhir istrinya ketika maut menjemput. Badan kurus dan kalung mutiara telah lama lenyap dari lehernya. Setelah semalaman ia terus melamun, tidak mau makan tidak mau minum, mengeluhkan bagian belakang kepalanya yang terasa makin berat. Akhirnya menyerah setelah sekuat tenaga mengatakan sebuah pesan.
Ayah Mala pun menyimpan kata-kata terakhir istrinya yang simpan sendiri, yaitu;
Jangan pernah merepotkan Mala lagi. Kita turut menyumbang kehancuran dalam dirinya.
Sebuah pesan yang tak lekas ayah Mala pahami. Soal putrinya yang disebut hancur, dia berumah tangga dan mempunyai anak-anak yang cantik. Apa lagi? batin ayah Mala bertanya-tanya.
Mala menghentikan tangisnya, kini ia bangkit dan duduk. Melakukan tindakan yang sama dengan sang ayah, yaitu memandangi bingkai foto Mama di dinding. Foto Mama paling segar, masa ia belum mengetahui pengkhianatan suaminya. Mala jadi melihat ke dalam dirinya sendiri.
Kapan, ya? foto terakhirku sesegar itu ... Sejak kapan aku melihat diriku sendiri layu dan tak mau melihat cermin. Rasanya telah lama sekali. Apa itu artinya kebejatan ayahnya masih lebih baik ketimbang kebejatan Bram suami Mala? Atau apa itu artinya, masa dimana orang tua merintis bisnis, masih lebih baik ketimbang Mala yang menjadi sandwich generation.
"Yah, apa dalam perjalanan pernikahan kalian ada satu hal yang kau sangat sesali melakukan itu pada Mama?" Mala menanyakan itu dengan hati-hati. Memikirkan suatu hal, entah apa ayahnya sanggup menangkap maksud dari suatu hal itu—yang dimaksud Mala.
"Aku tidak pernah menyesali semua yang terjadi, termasuk pernikahanku dengannya!" ujar ayah Mala percaya diri.
Mata Mala nanar melihat pria tua di sampingnya ini yang tidak mengerti arah ucapannya.
Tentu saja kau tidak menyesal menikahi Mama, karena Mama yang tidak beruntung menikahimu.
"Selama ini kau mengandalkannya, apa yang bisa kau lakukan sekarang?" tanya Mala lugas.
Ayah Mala seperti orang bingung. Dia juga tak menduga mendapat pertanyaan itu. Dirinya sendiri pun tidak tahu ... bagaimana hidup yang dijalaninya nanti. Tetapi, setidaknya ia masih punya Mala. Juga cucu-cucu yang ia cintai.
"Sekarang ini, Ayah hanya punya kamu, Mala! Usiaku juga makin menua. Siapa lagi yang bisa menemaniku selain anak dan cucu."
Mala mengembuskan napas, lemas. Memang sudah menduganya, tapi pemikirannya ayahnya yang hanya mencari pengganti tempat bergantung setelah kematian istrinya membuat Mala benar-benar lemas.
Bukan, bukan karena Mala nantinya akan menanggung kehidupan Ayah. Tidak, biasanya juga begitu. Ini bukan soal uang. Ini lebih kepada soal ...bahwa Mala harus menghadapi kenyataan, tinggal dengan dua NPD dalam satu rumah.
Apakah kepalaku akan pecah? Apakah nantinya mentalku akan baik-baik saja?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...