NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecurigaan Haidar

Emily menoleh, lalu mengerutkan keningnya. "Biarin aja, Ris. Gue udah gak ada hubungan apa pun. Gue gak peduli." Jawab Emily santai.

"Oh, memangnya lo udah putus?"

"Gue lebih sayang keluarga gue. Mereka yang ada saat gue jatuh. Mau teman atau pacar, udah gak peduli lagi. Mereka menjauh juga silahkan, bukan urusan gue."

Riska mengangguk pelan, tapi hatinya seperti ditampar. Ia memandangi Emily yang kini terlihat lebih dewasa dan kuat dari sebelumnya. Tak lagi mudah tersulut emosi, apalagi soal Rafael.

"Lo bener, Ly. Kadang kita terlalu sibuk mikirin orang yang gak mikirin kita." Gumam Riska pelan.

Emily tersenyum tipis. “Kita hidup bukan untuk membuat semua orang senang, Ris. Gue cuma lagi belajar buat nyenengin diri sendiri dulu.”

Suasana di antara mereka seketika menjadi lebih tenang. Riska merasa bersalah, tapi juga bersyukur karena Emily tidak menyalahkannya secara langsung. Justru dari ucapan Emily, Riska merasa banyak belajar.

“Gue minta maaf ya, Ly. Kalau kemarin-kemarin gue sempat menjauh atau percaya sama omongan orang.”

Emily menoleh, menatap mata Riska.

"Gak apa-apa, Ris. Yang penting lo sadar dan balik lagi jadi temen gue yang dulu."

Riska tersenyum lega. “Gue janji nggak akan kemakan omongan orang lagi.”

Bel berbunyi, pertanda kelas akan segera dimulai. Emily membalik badan ke arah papan tulis, tapi hatinya terasa jauh lebih ringan.

***

Waktu istirahat tiba. Siswa-siswi berseliweran ke kantin, lapangan, atau sekadar duduk di tangga dengan gawai masing-masing. Haidar berdiri di lorong lantai dua, bersandar di dekat pagar pembatas, mengamati halaman sekolah dari atas. Kebiasaannya sejak dulu, mengamati sekitar sambil memikirkan hal-hal yang tak bisa ia ucapkan.

Tapi hari ini pandangannya terhenti pada sesuatu yang tak biasa.

Di pintu belakang sekolah, dekat taman kecil yang jarang dilewati siswa, Haidar kembali melihat Disa sedang berdiri bersama seorang pemuda asing. Wajah lelaki itu tidak terlihat jelas karena mengenakan hoodie hitam dan masker medis.

Haidar menyipitkan mata. Jaraknya cukup jauh, tapi cukup dekat untuk melihat gestur mencurigakan.

Disa terlihat berbicara dengan nada tinggi, tangannya sesekali menunjuk ke arah pemuda itu. Seperti sedang beradu argumen. Sementara si pemuda terlihat lebih tenang, tapi dari bahasa tubuhnya, ia tidak kalah mengintimidasi.

Kemudian, Haidar melihat Disa merogoh sesuatu dari tasnya. Ia menyerahkan sebuah benda kecil ke tangan pemuda itu. Seperti amplop. Atau... paket kecil?

Haidar menegakkan tubuhnya, semakin serius mengamati. Tapi dari lantai dua, ia tak bisa memastikan isinya.

Pemuda itu menerima benda itu, lalu dengan cepat berbalik dan berjalan menjauh. Disa tampak menoleh ke sekitar, lalu buru-buru masuk kembali ke dalam sekolah, wajahnya tampak gelisah.

Haidar mengepalkan tangan. Ada sesuatu yang tidak beres.

"Kenapa Disa terlihat seperti menyembunyikan sesuatu?" gumamnya pelan.

Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu sebelum masuk kelas. Tanpa berpikir panjang, Haidar langsung menuruni tangga dan berjalan ke arah pintu belakang.

Namun saat sampai di sana, hanya ada udara kosong dan jejak samar langkah kaki.

Pemuda ber-hoodie itu sudah menghilang.

Haidar berdiri sejenak, matanya menyisir sekeliling. Lalu pandangannya jatuh pada kamera CCTV kecil di pojokan dinding sekolah.

"Semoga kamera itu merekam sesuatu," ujarnya dengan nada curiga.

Ia tahu, apa pun yang sedang terjadi, ini bukan urusan sepele. Dan Disa... tampaknya menyimpan rahasia besar yang bisa menimbulkan masalah.

Haidar melangkah cepat ke ruang kontrol CCTV yang ada di lantai bawah gedung utama. Setelah meminta izin kepada kepala TU dan menyampaikan bahwa ini berkaitan dengan keamanan sekolah, ia diizinkan untuk melihat rekaman yang baru saja terekam beberapa menit lalu.

Petugas membuka tayangan CCTV dari sudut pintu belakang sekolah.

"Berhenti di sini," ucap Haidar sambil menunjuk layar saat melihat Disa muncul di frame.

Rekaman diputar ulang dalam mode lambat. Tampak jelas Disa datang dengan wajah gelisah, lalu seorang pemuda berjaket hoodie dan memakai masker menghampirinya.

Haidar memperhatikan dengan saksama setiap gestur, ekspresi, dan benda yang ditukar.

Sayangnya, karena posisi kamera yang terlalu tinggi dan sudutnya tidak tepat, wajah pemuda itu tetap tidak terlihat.

"Apakah ada kamera dari sudut taman belakang?" tanya Haidar.

Petugas menggeleng. "Tidak ada, Pak. Cuma satu kamera ini untuk area itu. Sudah sering kami usulkan untuk pasang tambahan, tapi belum disetujui."

Haidar mendesah pelan. Ia kembali menatap layar.

Perdebatan itu tampak cukup panas, walau tanpa suara. Dan benda yang diserahkan Disa tetap tidak bisa dikenali dengan jelas.

"Sudah, Pak?" tanya petugas.

"Ya... Sudah. Terima kasih." Haidar bangkit, menahan kecewa.

Ia meninggalkan ruang kontrol dengan langkah gontai. Tak ada bukti konkret. Hanya rasa curiga yang menggantung dan semakin menumpuk di kepalanya.

***

Sore harinya

Haidar sedang duduk di ruang tamu rumah sambil membuka laptop ketika Emily menghampirinya dengan ekspresi antusias.

“Mas… nanti sore aku mau ke rumah bunda ?” ucap Emily pelan.

Haidar menoleh. “Ke rumah bunda?”

Emily mengangguk cepat. “Iya. Aku kangen banget. Udah lama gak ngobrol sama bunda. Lagian besok juga libur sekolah, jadi bisa lebih santai.”

Haidar menatap Emily sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh. Tapi kita pamit dulu ke mama, ya.”

Emily mengangguk. Kemudian mereka bersiap.

Di meja makan, Soraya sedang menyusun piring-piring kecil untuk makan malam. Haidar menghampirinya sambil menjinjing tas Emily.

“Mama, kami mau ke rumah bunda ya. Rencana nginap juga, sekalian besok libur.”

Soraya menoleh dan tersenyum. “Iya, nggak apa-apa. Sampaikan salam ke bunda, ya. Hati-hati di jalan.”

Emily memeluk Soraya sebentar. “Makasih ya, Ma. Nanti aku bantu kirim oleh-oleh juga.”

Haidar hanya mengangguk sopan, lalu mengajak Emily menuju mobil.

Di dalam mobil

Mobil melaju pelan keluar halaman rumah. Sore itu langit sedikit mendung, tapi udara cukup sejuk.

Emily duduk di kursi penumpang dengan posisi menyandar. Ia tampak tenang namun sesekali mencuri pandang ke arah Haidar yang menyetir dengan ekspresi serius.

“Ada yang Mas pikirin?” tanyanya sambil membuka kaca sedikit agar angin sore masuk.

“Nggak, cuma... ada hal yang bikin aku penasaran,” jawab Haidar singkat.

"Tentang apa?" tanya Emily, kepo.

"Tentang cinta kita..."

"Ish... Gak cocok bercanda," Emily mencebikan bibirnya.

Baru saja Haidar ingin membalas ucapan Haidar, tiba-tiba Emily meminta Haidar berhenti.

"Eh, rumahnya kelewat." Seru Emily.

Haidar melirik ke samping. "Kenapa bisa?" gumamnya.

Kemudian Haidar mundur dan menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang.

Begitu turun dari mobil dan pintu rumah dibuka, Emily langsung memeluk Indira dengan erat. Wangi tubuh Indira yang familiar membuat dada Emily terasa hangat.

“Bundaaa…,” lirihnya. “Baru seminggu tinggal di rumah bapak guru batu, tapi rasanya udah kangen banget sama Bunda.”

Indira tertawa terbelalak mendengar panggilan Emily. "Kok manggilnya?"

"Udah, biarin, Bunda." Emily gak mau di bantah.

"Kamu harus sopan, ya." tegur Indira kemudian mengusap kepala Emily penuh sayang. “Baru seminggu, ya ampun... kayak udah sebulan aja kamu nggak kelihatan.”

“Di sana memang nyaman, tapi pelukan bunda tuh tetap nomor satu,” jawab Emily manja.

Indira mencubit pipi anak gadisnya yang kini sudah menjadi istri orang. “Anak gadis bunda udah jadi nyonya besar, tapi tetap aja kayak anak kecil.”

Haidar hanya tersenyum melihat kehangatan keduanya sebelum akhirnya dia diajak masuk ke ruang tengah oleh seorang pria muda.

“Masuk yuk, Nak. Kita ngobrol di dalam,” ucap Rakha, yang juga ikut menyambut anak dan mantunya.

Haidar mengangguk dan masuk ke dalam rumah menyusul Emily.

***

Semua sudah duduk di ruang tengah. Emily duduk di antara Indira dan Haidar. Rakha membuka percakapan dengan nada lebih serius.

“Emily, ada sesuatu yang harus kamu tahu. Dan kamu juga, Nak Haidar.”

Emily langsung menatap Rakha dengan dahi mengernyit.

“Jadi… benar kata Disa waktu itu,” lanjut Rakha. “Rumah lama, perusahaan utama, dan beberapa aset keluarga... semuanya disita.”

Emily membelalak. “Disita? Sama siapa?”

Indira menghela napas panjang sebelum menjawab, “Sama kakek kamu. Ayah dari Papa kandung kamu.”

Emily terdiam, tubuhnya kaku. Emily tertegun, matanya mulai berkaca-kaca. Dia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Pantas saja kedua orang tuanya pindah rumah padahal rumah lama adalah rumah tempat kelahirannya.

“Tapi, tenang ya…” ujar Indira cepat sambil menggenggam tangan Emily. “Jauh sebelum itu terjadi, bunda dan ayah sudah antisipasi. Rumah ini kita beli sendiri, bukan dari warisan. Beberapa aset juga udah kita pindahkan diam-diam. Jadi, kita nggak mulai dari nol.”

“Anggap saja yang disita itu titipan. Kita pernah punya, dan sekarang waktunya kita relakan. Nggak semua harus kita kejar terus,” sambung Rakha dengan tenang.

Haidar menatap Emily, lalu mengusap punggung istrinya pelan. Emily hanya menunduk, mencoba mencerna semuanya.

“Yang penting kita masih punya keluarga yang utuh?” ucap Haidar.

"Lalu sekarang ayah kerja di mana?"

"Di perusahaan Papa Dani."

"Ayah..." Emily bangkit dan memeluk Rakha. Dia benar-benar merasa diperjuangkan oleh ayahnya. Rakha rela semua harta warisan yang diberikan keluarganya hilang demi keluarga yang utuh. "Terimakasih, Ayah." Emily menangis pelan. "Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semuanya?"

"Tetap menjadi anak yang baik. Menjadi istri yang taat pada suami kamu. Sehat dan jangan lupa selalu bersyukur. Ayah hanya minta itu dari kamu, Sayang." tangis Emily semakin pecah beberapa saat.

Setelah tangisan Emily berhenti, mereka kembali mengobrol dan bercanda. Tidak lama kemudian mereka istirahat di kamar masing-masing.

***

"Jangan sampai kamu peluk aku lagi, ya, bapak batu."

Cup!

Bersambung

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!