Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Dunia Ivy yang Runtuh
"Noah, kamu bisa jelaskan ini?"
Tepat dua hari setelah Ivy menemukan amplop di nakas Noah, suaminya itu kembali. Noah terlihat diam, tetapi hatinya berkecamuk. Dia tak tahu lagi apa yabg sedang menantinya di depan sana.
"Aku tanya, jawab! Jangan cuma diam!" Ivy menggebrak mejanya dengan dada kembang kempis karena amarah.
"Aku hanya berusaha membantumu, Vy." Suara Noah terdengar begitu dingin, tetapi terselip rasa bersalah di sana.
"Memangnya aku butuh bantuanmu, No?" Mata Ivy terlihat merah dan urat sekitar penglihatannya semakin menonjol.
Noah menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia mengusap wajah kasar sebelum akhirnya menanggapi ucapan Ivy. Sebenarnya dia hanya ingin diam, tetapi kali ino dia harus lugas dan mengatakan apa yang ada di hatinya.
"Begini, Vy. Aku heran sama kamu. Aku ino suamimu, aku ada buat kamu jika kamu butuh. Tapi, di saat genting dan butuh bantuan begini kenapa kamu justru lari pada lelaki lain untuk mendapatkan pertolongan? Kamu anggap aku ini apa?"
"Pria yang sudah menyewaku." Jawaban yang keluar dari bibir Ivy singkat, tetapi berhasil menusuk Noah.
Noah menarik napas dalam-dalam. Dia masih berusaha mengatur emosinya yang hampir meledak. Dia menahan semuanya agar hubungan dengan Ivy tidak semakin memburuk.
"Aku hanya ingin memperlakukanmu sebaik mungkin selama masa kontrak, Vy. Aku nggak mau kamu merasa hanya dimanfaatkan. Dalam hubungan ini aku ingin memberikan timbal balik yang pantas untukmu."
"Tunggu, Noah! Kenapa kamu berubah secepat ini? Dulu aku rasa kamu bukan lelaki yang berpikir demikian? Kamu hanya memanfaatkan aku dan menekanku karena seakan hanya aku yang membutuhkan uangmu. Tapi, kenapa sekarang sikapmu berbeda? Jangan-jangan ...." Ivy menyipitkan mata sambil melangkah mendekati Noah.
Noah terdiam. Jakunnya naik turun ketika menanti kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Ivy. Tatapan mata Ivy masih tajam ketika pandangan mereka beradu.
"Kamu melakukannya karena kasihan kepadaku setelah tahu kondisi ibuku yang buruk?"
"Ha?" Noah menaikkan kedua alisnya dan bibirnya terbuka lebar.
"Asal kamu tahu, No! Aku paling tidak suka dikasihani!" Ivy balik kanan hendak keluar dati kediamannya.
Akan tetapi, Noah segera mencekal pergelangan tangan sang istri. Ivy menatap tajam Noah dan melirik jemari sang suami yang masuh melingkar pada tangannya. Rahang Ivy mengeras.
"Bukan itu alasanku, Vy. Aku melakukannya karena aku mencintaimu," ucap Noah dengan suara yang begitu tenang.
"Apa?" Ivy terbelalak dan kembali bertanya untuk memastikan pendengarannya tidak salah.
Noah menggenggam jemari sang istri. Lelaki tersebut menatap lekas kedua mata Ivy. Jantungnya berdetak semakin kencang.
"Vy, aku tidak bisa menghindar lagi. Aku sangat mencintaimu. Jika bisa, aku ingin mengakhiri kontrak pernikahan itu sekarang juga."
Ivy terdiam sambil terus menatap mata Noah. Dia sedang mencari kebohongan di sana. Namun, semua terasa begitu tulus dan jujur.
"Vy, ayo kita menikah sungguhan. Aku ...."Belum sempat Noah melanjutkan ucapannya, ponsel Ivy berdering.
Percakapan mereka terjeda. Ivy merogoh saku celananya. Dia menatap layar sekilas kemudian mengerutkan dahi.
"Rumah sakit?" gumam Ivy.
Ivy menempelkan ponsel pada telinganya. Dia mulai mendengarkan apa yang sedang diucapkan oleh sang perawat. Kakinya mendadak lemas.
Tubuh perempuan tersebut hampir tersungkur ke atas lantai jika Noah tidak menangkapnya. Tatapan mata Ivy kosong. Dia tidak menangis tetapi hal itu justru yang membuat Noah semakin sakit.
"Ivy, apa yang terjadi?" Noah mengguncang tubuh Ivy.
Ivy hanya menoleh sekilas. Tatapan perempuan tersebut masih kosong dengan bibir yabg tampak bergetar. Noah memeluknya selama beberapa detik, barulah Ivy histeris.
Noah tak lagi bertanya. Dia segera mengambil ponsel Ivy dan di ujung telepon langsung ada jawaban. Perawat yang tadi menghubungi Ivy masih ada di sana dan menjelaskan situasinya.
"Baik, kami akan segera ke sana." Noah mengakhiri telepon dan kembali memeluk erat Ivy.
Noah langsung membantu Ivy berjalan. Keduanya melaju cepat membelah jalanan menuju rumah sakit. Rumah sakit malam itu tampak begitu sunyi.
Akan tetapi, keheningan itu justru memekakkan telinga Ivy. Langit mendung menggantung rendah seolah turut merasakan duka yang tengah menyelimuti langkah mereka. Noah menggenggam jemari Ivy dengan erat saat mereka melangkah cepat di lorong rumah sakit, menyusuri koridor menuju ruang ICU.
Langkah Ivy terasa ringan, tetapi bukan karena tenang. Sebaliknya, tubuhnya seperti melayang, tidak berpijak pada realita. Pikiran Ivy kosong, dadanya sesak, dengan mata sembab meski belum meneteskan air mata lagi.
Saat pintu ruang ICU dibuka oleh seorang perawat, Ivy langsung terpaku. Di balik jendela kaca yang dibatasi tirai tipis, dia melihat ibunya terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya dipenuhi selang dan alat bantu napas. Nafas Ivy tercekat.
“Ibu,” bisik Ivy pelan, seperti tak percaya bahwa sosok yang selama ini menjadi sumber kekuatannya kini terbaring tak berdaya.
Noah berdiri di belakangnya, meletakkan tangan di bahu Ivy. "Kamu tidak sendirian, Vy. Ada aku di sini."
Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan. Wajahnya muram, dan berjalan dengan langkah berat. Ivy langsung mendekat, wajahnya penuh harap sekaligus takut.
“Dok, bagaimana kondisi Ibu saya?”
Dokter itu menatap Ivy dengan empati yang dalam. Dia menunduk sedikit sebelum menjawab, “Kami sudah melakukan semua prosedur terbaik. Namun ... tumor di otak beliau sudah menyebar luas dan memicu komplikasi. Jantung beliau berhenti satu jam yang lalu. Kami mohon maaf.”
Dunia Ivy runtuh dalam sekejap. Tak ada tangisan yang langsung meledak, hanya keheningan yang mencekam. Ivy berdiri kaku. Mata Ivy menatap ke arah ruang ICU, tetapi penglihatannya mulai kabur. Kemudian, tubuhnya limbung.
“Noah ...,” bisik Ivy sebelum akhirnya pingsan dalam pelukan Noah.
Pemakaman dilangsungkan di Malang, kota kelahiran ibunya. Di tanah itu, tempat ibunya tumbuh, tertawa, dan mencintai, Ivy harus merelakan kepergian orang yang paling dia sayangi. Langit abu-abu mengiringi suara takbir dan doa yang mengalun lirih.
Tanah merah perlahan menutupi pusara sang ibu. Ivy berdiri mematung, tanpa air mata. Seakan tangisnya telah habis terkuras sejak malam pengumuman duka itu tiba.
Noah tak beranjak dari sisi Ivy. Dia memayungi perempuan itu meski hujan hanya gerimis. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Ivy, tetapi genggaman tangannya pada lengan Noah begitu erat seakan itu satu-satunya pegangan agar dia tidak hancur.
Satu per satu orang yang melayat pergi. Ivy masih berdiri di situ, di depan gundukan tanah yang belum sepenuhnya padat. Dia menatap nisan kayu sederhana yang baru saja ditancapkan.
Noah menatap Ivy dengan iba, lalu berkata pelan, “Vy ... kita harus pulang. Hujan mulai deras.”
“Aku janji bakal bahagiakan Ibu ... tapi belum sempat ....” Suara Ivy pecah.
Noah menarik tubuh Ivy ke pelukannya, memeluknya erat. Di bawah hujan, di atas tanah basah yang baru tertutup bunga, Noah menjadi satu-satunya tempat Ivy berlabuh.