NovelToon NovelToon
Three Years

Three Years

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: yvni_9

"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mau kerja

...Happy reading...

Mendengar itu, lagi-lagi Cely dibuat terperangah, tangannya kembali reflek menutup mulut yang sedikit terbuka.

"Gue emang salah sangka banget sama lo, Zel," gumam Cely dengan nada kagum. "Lo hebat banget udah bisa kerja di usia yang segini, lah gue? Masih jadi beban keluarga njir," keluh Cely, wajahnya berubah sendu.

Tiba-tiba matanya berbinar kembali, ide cemerlang muncul di benaknya. "Eh, Zel, gue ikut lu kerja deh! Di tempat lo ada lowongan nggak?" tanya Cely antusias, nada suaranya penuh harap.

Azel menaikkan sebelah alisnya, menatap Cely. "Emangnya kamu bisa buat kopi?" tanya Azel, nada bicaranya sedikit meragukan kemampuan Cely.

"Kopi?" Cely mengerutkan dahinya, bingung. "Lo jadi barista? Kalo itu mah gue kaga bisa," jawab Cely jujur.

Azel tersenyum mendengar pengakuan polos Cely. "Nah, makanya itu," ujar Azel, jarinya telunjuknya menyentuh kening Cely. "Harusnya kamu tanya dulu aku kerjanya apa, ini malah main ikut-ikut aja. Kalo misal aku kerja jadi kuli bangunan, kamu juga mau ikut?" tanya Azel.

"Kaga lah!" jawab Cely cepat.

"Itu dia," sahut Azel sambil tertawa kecil.

Azel menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum. "Ibu aku punya toko kue," kata Azel, "Kamu mau kerja di situ aja? Emang nggak besar sih tokonya, tapi lumayan lah buat nambah uang jajan, kamu mau, nggak?" tawar Azel.

Mata Cely berbinar mendengar tawaran Azel, senyum lebar langsung merekah di wajahnya. "Eh, boleh tuh! Seriusan tokonya nyari karyawan?" tanya Cely antusias, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

"Sebenernya sih enggak, tapi kasian juga kalo ibu harus ngerjain semuanya sendiri." ujar Azel, "Nanti pulang sekolah bareng aku aja ya," ajak Azel, "Biar kita sekalian ke tokonya."

Tanpa ragu, Cely mengangkat tangannya ke dahi, membuat tanda hormat ala militer dengan gaya yang dibuat-buat. "Siap, komandan!" seru Cely riang, tawanya berderai memenuhi kelas.

"Siap?" tanya Azel, sabar menanti Cely yang sedikit kesulitan menaiki motornya. Ia menoleh ke belakang, memastikan Cely duduk dengan nyaman sebelum memulai perjalanan.

"Oke, let's go!" sahut Cely, suaranya terdengar lebih bersemangat kali ini. Ia meraih pinggang Azel sebagai pegangan, lalu mengangguk mantap.

Motor itu meraung halus, melaju perlahan meninggalkan area parkiran yang mulai ramai dengan orang-orang yang hendak pulang. Mereka menyelinap di antara pejalan kaki yang berbondong-bondong menuju rumah masing-masing setelah seharian beraktivitas.

"Eh, tapi masa gue ketemu ibu lo nggak bawa apa-apa," kata Cely tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. Dahinya berkerut berpikir, "Bawain bolu aja ya?" ide itu tiba-tiba muncul di benaknya.

Azel terkekeh geli mendengar usulan Cely, "Gimana bisa tukang bolu dibawain bolu," tanyanya, sambil melirik Cely dari kaca spion, "Udah, kamu nggak usah bawa apa-apa."

"Tapi segen," jawab Cely.

Ia merasa tidak enak jika datang dengan tangan kosong, apalagi ini pertemuan pertamanya dengan ibu Azel.

"Nggak masalah itu, santai aja. Kita sebentar aja kok di rumah, soalnya aku mau lanjut kerja lagi," jelas Azel, mencoba menenangkan kekhawatiran Cely. Ia mengingatkan Cely bahwa tujuan utama mereka bukan kunjungan resmi, melainkan hanya mampir sebentar.

"Oh, iya lupa," Cely menepuk dahinya pelan, sedikit malu karena sempat melupakan jadwal kerja Azel. Ia mengangguk tanda mengerti dan kembali terdiam.

Merasa bosan dengan kesunyian yang kembali menyelimuti mereka, tiba-tiba ide jahil terlintas di benak Cely. Matanya berbinar nakal, dan ia mendekatkan bibirnya ke telinga Azel.

"Zel ... coba standing!" bisik Cely dari belakang.

Azel menyeringai mendengar permintaan tak terduga Cely.

"Mau? Pegangan yang kuat," suruh Azel balik menantang, sambil mempererat genggamannya pada setang motor. Ia mulai bersiap untuk sedikit mengangkat roda depan motornya.

Namun, melihat keseriusan Azel yang langsung menanggapi tantangannya, Cely justru panik minta ampun. Matanya membulat, dan ia mencengkeram erat jaket Azel dari belakang.

"Eh eh Zel, Zel, gue cuma bercanda, beneran suer! Jangan beneran njir! Gua... gua nggak mau mati dulu, gue belum pernah pacaran, tolong Zel!" rentetan kalimat meluncur deras dari bibir Cely. Beribu ucapan panik dilontarkan Cely agar Azel mengurungkan niatnya. Suaranya bergetar menahan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak.

Azel terkekeh terbahak-bahak mendengar kepanikan Cely. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil terus tertawa.

"Tadi aja nantangin, sekalinya mau diturutin, malah ciut. Dasar cewek!" ledek Azel, masih dengan sisa tawanya.

"Ya maaf, gue kira lo nggak berani," jawab Cely membela dirinya. Ia menghela napas lega karena selamat dari aksi nekat Azel.

"Sebenernya emang nggak berani juga sih, tadi mah cuma ngetes kamu aja," sahut Azel sambil menyeringai jahil.

"LO JUGA TERNYATA SAMA AJA YA! DASAR COWOK!" teriak Cely dari belakang Azel, suaranya melengking tinggi di antara suara bising jalanan. Ia melampiaskan kekesalannya dengan memukul punggung Azel berkali-kali.

"Sorry, sorry, SAKIT ANJAY!" keluh Azel yang meringis kesakitan karena tepukan bertubi-tubi Cely. Ia tertawa lagi, merasa geli dengan tingkah laku Cely yang berubah-ubah.

...***...

Mentari pagi hari Minggu menyinari lembut teras depan sebuah kafe. Aroma kopi yang baru diseduh dan kue-kue manis memenuhi udara, bercampur dengan suara percakapan ringan dan tawa dari pengunjung lain.

Di salah satu meja kayu, duduklah seorang ayah berwibawa bersama kedua anaknya, Zein dan Cely.

"Karena kemarin Cely menang lomba nih, Cely mau minta apa sayang?" tanya Ayahnya dengan suara lembut.

Cely memang baru saja berhasil memenangkan lomba menulis tingkat kota, sebuah prestasi yang membanggakan bagi keluarga mereka. Ayahnya, yang berniat memberikan hadiah yang spesial, kembali bertanya, "Mobil mau?" tanya Ayah lagi.

Lantas Cely menggeleng sebagai jawaban. "Mobil ... ehm, kayaknya nggak usah deh yah," jawab Cely. "Tapi Cely boleh minta sesuatu nggak?" tanyanya, matanya menatap Ayahnya.

"Ya boleh dong, sayang! Kan memang Ayah mau kasih hadiah," jawab Ayah cepat.

"Ehm ... bisa nggak kalo rumah yang atas nama ibu ... pindah ke atas nama Cely?" pintanya Cely, "Cely nggak mau mereka nguasai tempat itu, Cely mau mereka pergi dari situ." lanjutnya.

Ayahnya, yang tadinya duduk dengan santai dan seketika membeku di tempatnya, terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas panjang.

"Kenapa, Sayang?" tanya Ayahnya, berusaha mencari alasan di balik permintaan Cely yang tiba-tiba. "Itu kan ... ibu kamu juga," lanjutnya.

Cely langsung menggelengkan kepalanya cepat, rambutnya yang tergerai bergerak liar mengikuti gerakan kepalanya.

"Ibu aku cuma satu, dan orang itu... dia cuma orang asing yang dengan sengaja ayah bawa ke rumah kita!" jawab Cely, dengan semua penekanan di setiap katanya. Ia tidak ingin jika ibunya digantikan, apalagi dengan ibu tirinya yang sekarang.

Zein yang duduk di samping Cely, sedari tadi hanya menyimak percakapan mereka. Senyum kecil tersungging di bibirnya mendengar ucapan adiknya. Dalam hatinya, ia berbisik bangga, "Ga perlu tes DNA lagi, ini beneran adik gue!" batinnya.

Dengan suara penuh penyesalan, Ayahnya akhirnya berucap, "Maaf ... karena Ayah sudah membawa masalah ini ke kalian," lirih ayahnya. 

Rasa bersalah dan beban tanggung jawab terpancar jelas dalam setiap kata yang diucapkannya. Cely, meskipun ia kecewa dengan Ayahnya, tetapi ia berusaha untuk ikhlas dan melanjutkan perjalananya.

"Udah lah yah! Lagi pula udah terlanjur," lanjutnya, "Ga perlu disesali lagi." 

Cely ingin ayahnya berhenti menyalahkan diri sendiri dan fokus pada solusi ke depan. Ia tahu percuma meratapi masa lalu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana mereka menghadapi dan menyelesaikan masalah ini bersama-sama. 

Zein mengangguk setuju. "Masalah sertifikat rumah, Zein setuju kok, sama apa yang Cely mau," kata Zein.

Ayah Cely kembali menghela napasnya. Ia melihat dari tatapan mata Cely yang penuh tekad, kemudian beralih ke Zein yang memberikan dukungan penuh. Ia sadar, Cely hanya ingin rumah milik ibunya, bukan masalah jika rumah itu atas namanya. "Yaudah kalo gitu ... nanti Ayah akan urus sertifikatnya ya."

Cely tersenyum lebar mendekar perkataan Ayahnya. Ia menatap abangnya dengan dengan mata berbinar. "Akhirnya bang!" 

Zein membalas tatapan adiknya dengan senyum bangga. Ia mengangguk kecil, matanya ikut berbinar melihat kebahagiaan Cely. Dalam hatinya, ia merasa kagum dengan ketegaran adiknya. Cely yang dulu tampak rapuh dan selalu membutuhkan perlindungan, kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri.

..._____________...

1
MindlessKilling
Gak sabar nunggu lanjutannya, thor. Ceritanya keren banget!
yvni_9: terima kasih
total 1 replies
Zhunia Angel
❤️ Hanya bisa bilang satu kata: cinta! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!