Lingkaran Cinta Kita
Katanya, kembaran itu harus selalu bersama dan selalu serupa. Berjalan berdampingan, tertawa bersamaan, memakai pakaian senada, seakan dunia hanya bisa menerima satu versi dari dua jiwa.
Tapi, kami hanya kembar fraternal. Kembar sepasang yang sejiwa tapi sangat berbeda. Sejak kecil aku harus seperti putri dalam dongeng karena aku perempuan. Dan kembaranku adalah pangeran yang harus berjalan setapak lebih jauh Dariku.
Pakaian kami selalu berpasangan, dari piyama malam hingga gaun pesta dan kaus piknik. Kami seperti sepasang merpati. Terbang beriringan, tapi tak selalu searah. Karena kami bukan kekasih, kami adalah saudara.
Dan aku percaya pada satu hal.
Aku percaya bahwa kembaranku adalah bagianku yang lain yang harus kuikuti, harus kucopy, karena kami lahir bersamaan, maka kami harus tumbuh dalam langkah yang sama. Jika dia berlari, aku pun harus mengejar. Jika dia berhenti, aku ingin berdiri di sisinya.
Buatku, menjadi kembar artinya menjadi satu. Aku ingin seperti dia. Kuat, pintar, tangguh, dan... tak tergantikan. Tapi Ray…
...tidak pernah melihatku begitu.
Baginya, aku bukan cerminnya. Aku adalah adiknya. Dan sebagai abang, dia merasa harus menjaga jarak, bukan karena tidak sayang, tapi karena ia ingin aku tumbuh sebagai diriku sendiri.
Dia tak ingin aku mengekori bayangannya, karena bayangan tak pernah punya pijakan sendiri. Dia ingin aku punya langkah, bukan sekadar meniru langkahnya. Dia ingin aku bersuara, bukan hanya menyanyikan lagu yang dia mulai.
"Jadilah dirimu, Zara," katanya suatu hari.
"Tapi abang adalah duniaku," bisikku dalam hati.
Dan mungkin…
Di situlah letak perbedaan kami. Aku ingin selalu bersamanya, sementara dia ingin aku belajar berdiri sendiri. Meski begitu, Kami saling menjaga, saling menyembuhkan luka, karena kami keluarga.
Dan dalam hatiku, mungkin aku tak butuh siapa-siapa, selain abang Ray yang membuatku merasa utuh adanya. Dia begitu cerdas dan begitu dewasa, menyayangiku dengan cara yang tak bisa kugenggam sepenuhnya.
Seiring waktu, caranya berubah.
Semakin kami tumbuh, semakin banyak pintu yang ia tutup rapat untukku. Dia mulai membatasi langkahku, menyuruhku berteduh di dunia yang katanya ‘milikku sendiri’.
Tapi aku tak pernah betah tinggal dalam bayang. Aku bandel, terlalu keras kepala untuk mengerti kata "jangan". Aku selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi, karena sesungguhnya, duniaku adalah dia.
Inilah kisah kami...
"Sudah kubilang kamu jangan ikut, Zara."
"Enggak! Aku mau ikut!"
"Ini bahaya. Ini urusan cowok, bukan buat kamu."
"Nggak masalah."
"Aku carikan mobil online deh buat jemput kamu cepat, biar kamu pulang aja."
"Aku nggak mau pulang, Bang Ray! Aku nggak mau di rumah sama Oma. Ikut abang lebih menantang, tau nggak!"
Ray menghela napas panjang, menatap Kembaran perempuannya yang berdiri dengan tangan terkepal dan mata membara, penuh perlawanan. Sudah berulang kali ia melarang Zara ikut. Tapi gadis itu tetap bersikukuh, seolah keberanian dan kenekatannya lebih besar dari rasa takut.
"Bang Ray… Aku ikut ya?"
"Ugh! Kamu tuh bandel banget. Kebal perintah, nempel terus kayak perangko!"
Perdebatan ini tidak akan ada habisnya jika diteruskan sampai satu bab penuh. Akhirnya, dengan pasrah, wajah Ray yang sudah tersembunyi separuh itu membuka pelindung leher dan mulutnya, lalu memasangkannya ke wajah Zara.
Ia menarik rambut panjang adiknya dan menyelipkannya seperti memakai ciput, lalu menjejalkan topi hitamnya ke atas kepala Zara.
Matanya menyipit. Menilai penampilan si gadis. Jelas masih kelihatan cewek meski memakai celana bergo, apalagi crop-top dan wajah bulat yang terlihat terlalu manis.
"Ini masih kelihatan banget Zara-nya." Ray menggerutu, lantas melepas jaketnya dan memakaikannya ke tubuh Zara.
"Nah! Sekarang baru kayak cowok. Walau... cowok semeter tak sampai. Ini bikin gue heran, kita ini kembaran tapi kamu tuh mungil banget. Huh!" Ia menepuk kepala Zara iseng.
"Namanya juga cewek," timpal Zara.
Ray menunjuk wajahnya. "Denger ya, kamu boleh ikut. Tapi diem. Jangan banyak gerak, jangan bikin ulah, dan jangan jauh-jauh dari aku. Kita cuma ngintelin mahasiswa yang dicurigai terlibat judi online. Prof. Rui minta aku bantu, secara aku satu kelas sama dia di matematika."
"Yokai, abang!" Zara mengangguk mantap.
Setelah menyempurnakan penyamaran, Ray hanya menyisakan masker di wajahnya. Mereka melangkah masuk ke sebuah bar kecil yang tampak sepi dari luar, meskipun jam menunjukkan sore.
Lorong remang menyambut mereka dengan bau alkohol dan suara musik samar.
Tiba-tiba, dari arah dalam, suara panik terdengar.
"Ray! Sial! Dia kabur!" seru teman Ray dari kejauhan.
"Apa?!"
"Itu! Dia ngelewatin elo barusan! Gebl*k!"
"Ah! Sh*t! Gue nyusul!" Ray bersiap mengejar, tapi tangan Zara justru menahan lengannya.
"Bang! Mau ke mana?!"
Ray mendesah tajam. "Zara! Ini yang bikin aku pusing! Aku nggak bisa ninggalin kamu di sini juga." Ia menarik tangan adiknya keluar dan menyeretnya ke pinggir jalan.
"Duduk di halte ini. Jangan ke mana-mana. Aku kejar Danish. Tunggu di sini. Diam. Manis. Paham?!"
"Tapi—"
"Zara. Taat dulu!"
Ray lalu berlari menghilang. Tapi tentu saja, Zara tak tinggal diam. Ia berlari pelan, mengikuti arah yang sama. "Ish! Abang larinya kayak dikejar jin!"
Zara terus berlari hingga saat berbelok di sebuah tikungan...
Bruk!
Tubuhnya mental seketika ke belakang dan jatuh terduduk. "Owawawaw bok*ng comelku... Sakit..."
"Ups! Sorry!" ucap pria di hadapannya. Jelas tubuh pria tinggi dan tegap mengalahkan tenaga Zara yang menubruknya.
"Bisa nggak sih elo hati-hati!" Zara berseru.
Pandangan pria itu menyipit, memperhatikan wajah Zara dari balik topi. "Ray?" Dia heran sambil mengulurkan tangan membantu Zara berdiri. "Elo ngapain di sini?"
Tapi begitu menyentuh tangan Zara, ekspresinya berubah. Telapak tangan itu... kecil dan halus. Bukan seperti tangan cowok.
"Elo Rayyanza, kan? Tapi… kok bisa nyusut begini? Apa yang terjadi sama tubuh lo?"
Zara panik. "Ma—maaf!"
Dia mencoba kabur. Dan tanpa sengaja tubuh Zara malah terhantam ke dadanya. Kontak yang terlalu dekat membuat pria itu membeku.
Kaget.
Saat ia merasa asing ketika menyentuh bahu yang terasa kecil. Bahu yang tak seharusnya dimiliki oleh seseorang bernama Rayyanza.
"Siapa dia sebenarnya?" pria itu menatap ke arah Zara yang telah kabur. Hanya satu hal yang ia yakini saat ini. Insiden kecil itu... mungkin akan mengubah seluruh takdirnya.
[POV] Zara
Benturan pertama, dan dunia bergeser sedikit.
Aku berlari dan tikungan sempit seolah memanggilku
untuk berpetualang tanpa alasan. Tubuhku tiba-tiba terhempas ke belakang seperti layang-layang putus tali. Dan bumi menyambutku dengan keras.
Aku terjatuh.
Seketika pria itu mengulurkan tangan. Dan aku yang bodoh ini menyambut uluran itu. Lupa kalau kulitku tak bisa bohong. Tangan ini... Jauh dari tangan Ray. Darahku seolah melompat ke ubun-ubun.
Panik.
Refleks mau kabur. Tapi justru... Tubuhku malah nabrak dadanya. Detak jantungku seperti genderang perang. Sementara dia? Membeku. Seperti patung hidup yang baru sadar: Bahu yang disentuhnya ini... bukan milik laki-laki.
Dan saat aku kabur, aku tahu, pandangannya masih tertinggal di punggungku. Dia belum tahu siapa aku.
Tapi aku yakin… aku baru saja menyentuh masa depan. Yang lebih menakutkan dari ketahuan menyamar, adalah kemungkinan bahwa...
...aku baru saja bertabrakan dengan takdirku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Cakrawala
yg ditbrak siapa? Yg lg diburu Ray kah?
2025-06-06
1
Zuri
aduhh namanya.../Facepalm//Facepalm/
mana namaku Z juga keduanya/Facepalm//Facepalm/
2025-06-08
1
R 💤
Hai kak, selamat atas karya barunya semangatt truss... sudah ku subscribe biar gak ketinggalan /Drool/
2025-06-06
1