NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:770
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16

Gara-gara

Malam Senin Kliwon, tanggal empat belas bulan Suro.

Langit berselimut sinar bulan purnama yang bulat sempurna, seakan menjadi cermin alam yang menatap bumi dengan mata keabadian. Di sekelilingnya, bintang-bintang bertaburan, kelap-kelip bagai mata-mata kecil yang mengintip rahasia malam.

Di sebuah lapangan desa tetangga, digelar pentas wayang kulit. Sebuah pakeliran agung yang dipersembahkan oleh Ki Ratmoyo, sang dalang yang malam itu kembali memenuhi panggilan, job yang ditawarkan Pak Gondo minggu lalu.

Langgam gamelan mengalun lirih, menggema bersama desir angin malam yang menyusup lewat sela-sela kelir. Wangi kemenyan dan bunga kenanga samar tercium, menambah suasana mistis yang melekat erat pada malam bulan Suro.

Ki Ratmoyo membuka pentasnya dengan tembang suluk yang sarat makna, dibalut bahasa romantik dan filsafati. Suaranya mengalun tenang, menghipnotis penonton yang duduk bersila di tikar bambu, menyimak dengan mata berbinar.

Namun di balik layar, tak semua tenang seperti alunan gender.

Asmarawati, sang putri dalang, duduk bersimpuh mengenakan kebaya oranye yang membalut tubuhnya anggun, serta kerudung merah yang dililitkan dengan rapi. Namun kecantikannya malam itu tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang mengendap di wajahnya.

Ia resah. Matanya terus menyapu sudut demi sudut kerumunan penonton.

Namun ia tak menemukan satu pun bayang yang ia cari.

Wiji—pemuda yang selalu ia rindukan—tak tampak di mana-mana.

Beberapa kali Asmarawati meraih ponsel di balik selendangnya, lalu mengetik pesan pendek lewat WhatsApp. Jemarinya ragu-ragu, hatinya gemetar. Namun pesan-pesan itu tetap tak berbalas, seakan lenyap ditelan malam.

Waktu bergulir, pagelaran telah masuk lakon utama.

Namun balasan dari Wiji belum juga datang. Kecemasan mulai merambat ke dadanya. Bukan sekadar rindu, melainkan tanya-tanya yang tak diundang: Apakah Wiji sengaja menghindar? Apakah ia sedang bersama orang lain? Ataukah sesuatu yang buruk telah menimpanya?

Pikiran Asmarawati mulai dipenuhi bayangan-bayangan yang tak pasti.

Ia menunduk. Bibirnya komat-kamit mengucap doa, berharap malam Suro ini bukan menjadi pertanda buruk bagi cintanya.

Sementara di panggung, Ki Ratmoyo terus menghidupkan wayang dengan suaranya, tak menyadari putrinya tengah berperang dengan sunyi dan harap yang menganga.

Tapi Asmarawati berusaha menenangkan resahnya. Ia menatap layar ponsel seperti hendak membaca tanda-tanda langit dari huruf-huruf kecil. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia kembali mengetik,

"Sampean di mana, Mas?"

Lima belas menit seperti lima musim yang lewat tanpa kabar. Hingga akhirnya, sebuah notifikasi kecil berbunyi lirih—dan hatinya yang sempat layu kembali mengembang.

"Maaf, Dek. Aku agak telat. Ban motorku bocor di tengah jalan."

Asmarawati menarik napas lega. Senyumnya merekah pelan, menyembunyikan kecemasan yang sempat menyentak dadanya.

"Oh, iya sudah... Sekarang sudah ditambal belum?"

"Iya, ini baru saja selesai. Aku langsung mau nyusul kamu."

"Aku tunggu."

Layar ponsel dikuncinya, suara gamelan kembali ia selami. Tapi di balik irama saron dan suara gong, hatinya mendadak ringan. Seperti angin sepoi-sepoi yang mengusap pipinya—menyampaikan kabar bahwa pria idamannya tengah mendekat.

Dan benar saja, dari kejauhan, sosok Wiji tampak melaju sendiri di atas motor CB oranyenya. Tak bersama Tejo, tak pula Untung. Hanya sendiri, namun cukup untuk membuat dada Asmarawati hangat.

Ia menepi, duduk tenang di teras rumah warga. Tak ingin mengusik jalannya pertunjukan, tapi cukup dekat untuk sekadar menjadi bayang yang menentramkan hati.

Asmarawati mengintip dari sela tirai panggung, lalu mengetik:

"Tumben sendirian, Mas?"

"Untung dan Tejo ndak ada yang mau diajak. Jadinya aku berangkat sendiri."

"Nekat juga, Sampean?"

"Iya dong, lanang kok eg."

"Emang boyeh, se-belagu itu?" Tambahnya dengan emoji menangis tertawa.

"Hehehe..." Wiji membalas ringan.

Malam terus berjalan, seperti wayang yang digerakkan takdir. Iringan gamelan mengantar kisah Arjuna, sementara dua insan ini melanjutkan kisahnya dalam sunyi, lewat layar dan tatapan dari kejauhan.

Asmarawati kembali duduk timpuh, menyanyikan tembang pewayangan, sesekali menoleh ke arah teras itu—memastikan lelaki yang diam-diam mencuri hatinya masih di sana, masih setia menemaninya meski dari jarak jauh.

Hingga tiba pesan di ponselnya:

"Aku cabut dulu, iya?"

Asmarawati mengetik cepat:

"Ndak boleh. Di sini saja dulu. Temani aku sampai akhir."

Dan Wiji pun hanya bisa pasrah. Malam semakin dalam, wayang telah memasuki pathet sanga, adegan gara-gara yang riuh. Tapi Wiji masih di sana—duduk di teras rumah asing yang entah milik siapa—sebagai satu-satunya yang diam, namun paling tulus dalam menemani.

Dan bagi Asmarawati, kehadiran Wiji malam itu bukan sekadar tentang siapa yang datang… tapi siapa yang tak pergi.

"Sangsaya dalu araras abyor

lintang kang kumedhap

titi sonya tengah wengi

lumrang gandane puspita, o.......

karengwaning pudyanira, oooong......

sang dwijawara brengengeng, e.....

lir swaraning madu brangta

manungsung sarining kembang."

Senandung suluk dari Ki Ratmoyo itu membuat Wiji terasa seperti di nina bobo.

"Petis manis

pupus tebu sak umpama..

(kepiye werdine)

aja ngucap,

ora teges tanpa guna..

(kepiye karepe)

Petis manis,

sarta langking sak umpama..

(kepiye werdine)

aja ngucap,

yen to amung samudana..

(damar mancung)

Nyupet rasa kang samar

(samar)

gagar wigar pikolehe..

(mula)

teja bengkok ngirup toya

(trima luwung)

kanggo kanca jroning sepi..

(muna muni)

Petis manis,

yen ngucap sing ati ati..

(tansah tak enteni)

dadi kanti,

nyata bebrayan sejati"

Ayam jago sudah tiga kali berkokok, menggema lirih menembus kabut dini hari. Langit mulai menipis dari gelap, menandakan malam sudah hampir habis. Tapi Wiji masih bertahan. Ia tetap duduk di teras rumah warga itu—dengan mata sembab, punggung bersandar pada tiang kayu yang dingin, dan selimut embun mulai membasahi lengan bajunya.

Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan. Asapnya mengepul bersama pikiran yang bergelut antara ingin pulang atau tetap tinggal. Tapi setiap kali keinginan itu datang, bayangan wajah Asmarawati seolah hadir, menggenggam lengan hatinya dan berkata: “Jangan pergi dulu, Mas…”

Ia tak kuasa. Ia takut Asmarawati kecewa. Takut jika perempuan itu merasa ditinggal—merasa tidak cukup berharga untuk ditemani hingga akhir. Ia tahu betul watak Asmarawati: keras kepala, namun sangat lembut jiwanya.

Sebenarnya ia sudah letih. Tubuhnya ingin rebah, matanya ingin terpejam. Tapi cintanya seperti janji yang belum selesai dibaca. Maka ia pasrah saja. Duduk dalam diam, menahan kantuk yang menyerbu seperti prajurit tak bersenjata. Tak ada yang ia pegang selain kenangan semalam dan ponsel yang tak kunjung bergetar lagi.

Di dalam sana, pertunjukan nyaris usai. Wayang tinggal menyisakan sabet-sabet terakhir, suluk-suluk perpisahan. Dan di luar panggung, Wiji adalah satu-satunya penonton paling setia—bukan pada lakon pewayangan, tapi pada getar-getar hati seorang pesinden yang ia cintai diam-diam.

Ia masih ditemani pemilik rumah yang sudah dua kali menguap di sampingnya. Tapi Wiji tetap duduk. Seperti penjaga sunyi. Seperti lilin terakhir yang enggan padam sebelum matahari benar-benar datang.

Dan mungkin, dalam diamnya, Wiji sedang meneguhkan hati: “Cinta bukan tentang hadir di saat bahagia saja, tapi tentang siapa yang bertahan meski malam terasa tak kunjung selesai.”

"E, e, e, e, bregegek ugek-ugek sadulito, hmel.. hmel. Lae.... Lae.... Manungso urip kuwi sing penting sregep nandur karo pinter syukur. (Manusia hidup itu yang penting rajin menanam dan pandai bersyukur)" Kata Ki lurah Semar. Tokoh wayang Punakawan yang sedang di mainkan oleh Ki Ratmoyo di atas pakeliran. Yang sedang pentas di tempatnya pak Sungkowo kepala desa Wonosari. Ki Ratmoyo menancapkan ujung gapit wayang Semar itu di ujung paling kanan.

"Opo Mar, Bubur? Ndi njaluk! (Apa Mar bubur? Sini aku minta!)" Jawab Bagong yang oleh Ki Ratmoyo ditancapkan tepat di hadapan Semar.

"Hih, kupinge ra ngrungokke. (Hih, kupingnya tak mendengarkan)." Semar memukul Bagong.

"Hihihihi, rasakno kowe. (Hihihi rasain kamu)" Senyum Petruk yang oleh Ki Ratmoyo ditancapkan di ujung paling kiri.

"Pancen bocah kupinge ketutupan utang. (Emang dasar anak kupingnya tertutup banyak hutang)" Umpat Gareng yang ditancapkan persis di belakang Bagong di depannya Petruk. "Bacutke Pak, ngendikane bapak bacutke! ora usah nggagas guneme tong bolot iki. (Lanjutkan Pak, lanjutkan kata-kata bapak! Tak usah pedulikan omongan tong berdaki ini.)" Lanjut Gareng dengan nada emosi.

"Sabar reng!, iseh sore ojo kesusu esemosi. (Sabar reng!, masih sore jangan terburu terbawa emosi)." Petruk menenangkan Gareng.

"Kowe ki nyampo to Gar? Anggere ono wong caturan darah tinggimu mesti kumat, suntikke iye?. (Kamu ini kenapa sih Reng? Setiap ada orang ngobrol kok darah tinggimu selalu kumat, di suntik dulu atau gimana)" Kata Bagong sambil menoleh ke Gareng, menunjukkan bola matanya yang sebesar planet mars.

"Wes Gong, wes! Bapak arep ngendiko. Sawetawis Aku Kowe lan Kang Gareng tutup mulut dulu, Mirengake ngendikane bapak. Mergo opo sing dadi ngendikane bapak kuwi mesti penting kanggene awak dewe. Paham?. (Sudah Gong, sudah! Bapak mau bernasihat. Sementara Aku Kamu dan Kang Gareng tutup mulut dulu. Mendengarkan nasihat dari bapak. Karena apa yang menjadi nasihat bapak itu pasti penting untuk diri kita. Paham?" Tegas Petruk sambil tangannya di lambai-lambaikan oleh Ki Ratmoyo.

"Siap boss!" Ucap Bagong sambil tangannya memperagakan hormat kepada Petruk yang berbadan jangkung itu. Tak sengaja ia nyampluk mukanya Gareng tepat mengenai matanya yang juling.

"Matane, ra nyawang opo, ono wong neng kene?. Bocah ra aturan. (.Matannya, tak melihat apa, ada orang disini?. Anak ndak punya aturan)?"

"Sorry, sorry Reng. Tak pikir codot kimau. Lha wong, raimu persis codot loh. (Sorry, sorry Reng. Kupikir kamu tadi kelelawar. Soalnya wajahmu mirip kelelawar loh)"

"Hehehehehe" Petruk tertawa.

"Heeeeeeeeeeeh, Urip iki sing penting sregep nandur lan pinter syukur (Hidup ini yang penting rajin menanam dan pandai bersyukur) Semar mengulang kata-katanya. "Ono tetembungan sopo sing nandur bakal ngundhuh. (Ada pribahasa siapa yang menanam akan menuai)" Sambung Ki lurah Semar kepada anak-anaknya.

"Lire pripun, Pak? (Maksudnya bagaimana, Pak?) Gareng minta penjelasan.

"Lire. Wong sing seneng tetanduran mesti bakal ngunduh opo sing tau di tandur. Bebasan wong sing seneng nandur pari thukule iyo pari. Wong sing nandur suket teki thukule iyo teki. Yen nandurmu suket teki iyo ojo di angen-angen bakal thukul pari. Wong sing nandur pari wae sok-sok iseh kethukulan teki. (Maksudnya. Orang yang suka bertanam pasti akan menuai apa yang pernah ditanamnya. Seumpama orang yang suka menanam padi tumbuhnya pasti padi. Orang yang suka menanam rumput teki tumbuhnya iya rumput teki. Kalau yang kamu tanam rumput teki iya jangan di harapkan akan tumbuh padi. Karena orang yang menanam padi saja terkadang masih ketumbuhan teki) Jelas Ki lurah Semar. "Mulo jroning urip nanduro pakarti sing apik, supoyo thukule keno dipangan tumrape wong bebrayan. Lan ojo lali di akehi syukure. (Oleh karena itu, dalam hidup ini bertanamlah perbuatan yang baik. Agar apa yang kita tuai dapat dimakan buat jalannya kehidupan. Dan jangan lupa di perbanyak rasa syukurnya)" Ki lurah Semar menambahi nasihatnya. "Lah, Saiki ayo dho ngetutke aku sowan neng kasatrian Madukara. Kae sawangane bendaramu Raden Janaka sajake lagi susah penggalihe. (Nah sekarang semua ikut aku ke kesatrian Madukara. Itu majikanmu Raden Janaka (Arjuna) sedang susah hatinya." Kata Ki Ratmoyo melalui tokoh wayang Semar.

Lalu dijawab melalui tokoh wayang Gareng. "Oh, ngono yo, pak. Iyo wes, ayo dho sowan mrono yo! (Ah, begitu ya pak. Iya sudah, ayo kita kesana)"

"Iyo ayo. Lan aku njaluk di iringi tembang Santi Mulya. (Iya ayo. Dan aku minta di iringi tembang Santi Mulya.)" Pungkas Ki Ratmoyo lewat tokoh wayang Semar.

Setelah itu para wiyaga mulai menabuh alat-alat gamelan. Para presiden juga bersiap-siap menembang.

"Santi mulya, santi mulya

luhur mulyaning negara Indonesia mesthi jaya..

tarlen saking golonging sedya tama

manunggal mrih santosa cipta rasa budi karsa

gumelare memayu hayuning bangsa

basuki yuwana sirna papa sangsaya

sampurnaning bebrayan gung Pancasila

mangambar gandanya rum

Indonesia langgeng mardika"

Tembang Santi Molya mengalun lirih dari panggung wayang. Suara para presiden Ngudi Laras yang menyanyikannya mengalir pelan, bagai doa yang menyusup ke sela-sela angin dini hari. Suara itu sampai ke telinga Wiji yang duduk bersandar di tiang teras, seperti lantunan tembang dari langit yang menghantar sukma pulang pada sunyinya.

Lagu itu bukan hanya irama; ia semacam mantra. Pada rasa kantuk yang sejak tadi menari di pelupuk mata Wiji. Tak lama, kelopak matanya mulai menutup perlahan—bagai daun jati yang rebah karena embun. Napasnya melambat, tubuhnya melemas, dan dalam kesunyian itu, ia pun terlelap.

Tertidur dalam posisi duduk, bersandar pada tiang tua berwarna kusam. Kepalanya miring sedikit ke kiri, bibirnya masih menyisakan puntung rokok mati terakhir yang belum sempat ia buang. Di sampingnya, sang tuan rumah tak berkata apa-apa. Hanya melirik sejenak, lalu membiarkannya saja.

Mungkin sang tuan rumah mengerti:

Bahwa ada lelah yang hanya bisa diobati oleh tidur.

Bahwa ada cinta yang sedang dijaga dalam diam.

Dan ada seorang pemuda yang tak sedang menunggu pagi, melainkan bertahan demi seseorang gadis sinden di bawah sorot lampu blencong.

"Saji siswa ramane dewe

arane basa nawala, gones.

nadyan lamong.

nadyan lamong, nyalamong tanpa ukara."

Usailah sudah adegan gara-gara—tawa para Punakawan memudar bersama langit yang makin kelam. Pertunjukan pun beranjak ke babak berikutnya, merambat perlahan menuju puncak lakon: pathet manyura. Di sinilah puncak dari segala alur, simpul dari segala konflik. Adegan-adegan ketegangan meletup seperti bara yang disiram angin. Pedang saling beradu dalam bayang-bayang kelir, tombak menari dalam gemuruh irama gamelan.

Suara Ki Ratmoyo terdengar makin berat dan dalam. Nafasnya tertata, namun sesekali terselip lelah tubuhnya. Tetapi jiwanya masih menyala. Pathet manyura menguras seluruh daya, tapi justru di situlah darah seni sang dalang membuncah.

Penonton? Tak banyak yang masih bertahan. Waktu sudah merangkak menuju subuh, ketika embun mulai menetes di ujung ilalang. Hanya beberapa orang saja yang masih duduk berselimut sarung, setia di balik layar: sang tuan rumah dan keluarganya, kerabat dekat, serta segelintir tetangga yang matanya masih sanggup membuka. Sisanya telah pulang, larut dalam mimpi masing-masing.

Lampu blencong menggantung sayu, temaramnya seolah ikut memahami: bahwa pentas ini bukan untuk keramaian, melainkan untuk yang mengerti. Untuk mereka yang tahu bahwa wayang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan.

Dan di balik teras itu, di antara dinginnya angin subuh dan bau tembakau yang telah padam apinya, seorang pemuda masih terlelap. Wiji—yang sejak semalam menjaga kehadirannya demi seseorang. Ia tertidur bersandar, sementara pathet manyura terus mengalir. Wayang masih bicara, dan semesta masih menyimak.

Pathet manyura pun ditabuh—mengantar pertunjukan menuju ujung malam yang memerah. Di sela gemuruh gendhing dan gemulai adegan, hati Asmarawati justru dirundung gelisah. Sejak tadi tak ada satu pun pesan balasan dari Wiji.

Pelan ia menoleh, menatap ke arah bangku bambu di sudut arena. Di sana Wiji masih duduk, diam seperti patung malam. Tak bergeming, seakan waktu menidurkannya dalam pelukan angin dini hari.

Dengan harap cemas, ia mencoba membangunkannya lewat dering ponsel. Satu kali, dua kali, tiga kali—tetap sunyi. Tak ada gerak. Tak ada tanda. Ia ingin beranjak, menghampiri, mengguncang bahunya. Tapi panggung masih memanggil, dan tanggung jawab belum selesai.

Dan akhirnya, babak pamungkas usai. Lampu-lampu mulai redup, penonton perlahan bubar, dan angin dini hari membawa dingin yang lebih nyata.

Seorang kakek—penjaga malam yang diam sejak tengah pertunjukan—menepuk pundak Wiji dengan lembut.

“Mas... Mas, wis rampung,” gumamnya lirih.

“Oh... nggih, Mbah,” jawab Wiji, bangun dengan mata sayu. Tanpa banyak kata, ia berjalan pulang. Tanpa mengecek pesan, tanpa menoleh ke belakang.

Sampai rumah, saat baru saja ia masuk ke dalam rumahnya. Dari balik jendela ia melihat bapaknya yang baru pulang, yang entah dari mana. Wiji sempat bertanya dalam hati, tapi dibiarkannya menggantung tanpa jawaban. Ia hanya melenggang masuk ke kamar, merebahkan letih dan diam di atas kasur.

Di sisi lain, Asmarawati baru saja turun dari panggung. Keringat masih menempel di kulit, tapi hatinya terbang mencari Wiji. Ia menyusuri pelataran, menghampiri bangku bambu itu. Kosong. Hampa. Yang tertinggal hanya malam, embun, dan pertanyaan yang menggantung di udara. Ia menoleh ke kanan, ke kiri—namun Wiji telah tiada.

Akhirnya, Asmarawati kembali mengetik pesan. "Mas... Sampean wes bali ta?"

Tak lama, lima menit berlalu. Sebuah notifikasi muncul—jawaban dari Wiji. "Aku wes tekan omah, Dek."

"Tadi sampean klayah, iya?" tanyanya lagi, hatinya masih belum tenang.

"Iyo, Dek. Aku tadi ketiduran. Maaf, iya?" balas Wiji.

Lama Asmarawati menatap layar sebelum akhirnya membalas: "Harusnya aku yang minta maaf, Mas. Aku seperti sudah memaksa sampean, kaya wong terlantar..."

"Oh, ndak kok, Dek. Biasa wae." tulis Wiji, mencoba menenangkan. Lalu pesan lain menyusul, "Aku rehat sek, iya."

"Oh iya, Mas. Maaf banget, jadi nyusahin sampean." balas Asmarawati lembut.

"Ndak papa, Dek. Santai wae!" Itulah pesan terakhir dari Wiji malam itu.

Pertunjukan pun benar-benar usai. Wayang-wayang digulung, gamelan diringkes, diusung masuk ke mobil engkel satu per satu. Suasana berubah pelan. Hiruk-pikuk yang semula ramai, kini tinggal debu-debu dan napas lelah.

Asmarawati dan para sinden lainnya berganti pakaian. Make-up yang semula menawan kini dihapus, digosok pakai tisu—wajah-wajah yang tadi bercahaya berubah pucat dan luntur, seperti jelmaan kuntilanak yang hendak melahirkan.

Sanggul dilepas, rambut awut-awutan. Kebaya dan kemben yang tadi sedhet-singset diganti daster longgar motif bunga, memperlihatkan tubuh yang lelah dan lekuk tubuh yang mbedodong amber. Tapi justru di balik tampilan itulah, mereka bisa benar-benar bernapas lega—menjadi manusia, bukan tontonan.

Maaf-maaf... penulis semasa kecil memang kerap mencuri pandang di balik pohon mangga saat pentas kelar. Dan dari sanalah tahu, betapa beratnya jadi seorang sinden—bukan hanya bersuara indah, tapi juga menanggung lelah yang tak selalu terlihat di atas panggung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!