Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lorong Pelatihan
Malam itu, Getot bergegas menuju lorong kelelawar, tempat ia berharap menemukan petunjuk jalan kembali ke pintu rahasia yang telah ia buka. Dari sana, ia berniat mengambil barang yang sebelumnya ia gantungkan di dahan pohon. Sesampainya di lorong, tampaklah para kelelawar telah menanti janji yang Getot berikan.
"🔊🔊"
"Maafkan aku, kawan-kawan," ujar Getot, "ada sedikit kendala. Namun, aku tak pernah mengingkari janji. Apa yang kalian inginkan sudah kusiapkan tak jauh dari pintu rahasia itu. Sekarang, tunjukkanlah lagi jalannya. Aku masih belum hafal."
Tanpa ragu, kawanan kelelawar itu kembali memandu Getot menuju pintu rahasia. Sambil berjalan, Getot berusaha keras mengingat setiap detail jalan yang mereka lalui, agar kelak ia tak lagi tersesat.
Setibanya di pintu rahasia, Getot segera menghampiri pohon tempat ia menyimpan barangnya. Setelah memeriksanya dengan cepat, ia mendapati beberapa buah naga telah membusuk. Namun, sebagian besar masih segar dan tuaknya pun utuh.
Dengan dua karung buah naga dan tiga kendi di tangannya, Getot kembali ke dalam gua. Melihat kedatangannya, ratusan kelelawar langsung mengerubungi bungkusan yang ia bawa.
"Hei... sabarlah... biar kubuka dulu... hih...!" seru Getot sambil mengibas-ngibaskan tangannya menghalau kelelawar yang terlalu dekat. Setelah mereka sedikit menjauh, ia pun membuka bungkusan itu.
"Nah, makanlah. Aku selalu menepati janjiku," katanya sambil tersenyum.
"🔊🔊🔊"
"Sama-sama. Silakan kalian nikmati. Aku juga berterima kasih, karena berkat kalian aku bisa merasakan tuak lagi."
Ratusan kelelawar itu memang jarang sekali mendapatkan buah naga. Hanya segelintir petani yang menanamnya, sehingga mereka sangat gembira mendapatkan rezeki tak terduga ini.
Sambil mengamati kawan-kawannya melahap buah naga dengan lahap, Getot membuka botol tuaknya dan meneguknya beberapa kali.
Glekk glekk glekk
"Wuaahh, mantap betul tuak ini. Setelah kemarin seharian mendekam di perut Udhet... huh... dasar binatang tak berperasaan!" gerutunya.
"🔊🔊🔊"
"Haha, bagaimana kawan-kawan? Enak kan buah naganya? Buah ini sangat mahal, tapi kubelikan juga demi kalian. Nah, nikmatilah. Habiskan!"
"🔊🔊🔊"
"Hah, apa?"
"🔊🔊"
"Apa aku tidak salah dengar? Kalian juga mau tuak ini?"
"🔊🔊🔊"
"Oh, jangan. Nanti kalian mabuk semua."
"🔊🔊🔊"
"Sudahlah. Minuman ini tidak bagus untuk kalian. Kalau sampai ketagihan, bisa bahaya."
"🔊🔊"
"Sedikit saja? Ah, kalian ini memang keras kepala. Baiklah."
Getot pun menuangkan sedikit tuak ke telapak tangannya yang cekung. Beberapa kelelawar langsung menghinggap dan mencicipinya. Namun, begitu mereka menelannya, mereka langsung berterbangan menjauh dengan gelisah.
"Waahaha... Tidak enak ya? Sudah kubilang tidak cocok untuk kalian," ejek Getot sambil tertawa.
"🔊🔊🔊"
"Kalian puyeng? Ya, itu akibatnya."
"🔊🔊"
"Hah?? Tapi enak?? Ah, kalian sudah gila."
Mendengar beberapa kelelawar mengekspresikan rasa suka pada tuak, kelelawar lainnya pun ikut penasaran dan ingin mencobanya.
"🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊🔊"
"Hah, kalian benar-benar sudah gila. Tapi baiklah. Aku akan berikan satu kendi untuk kalian semua."
Kemudian, Getot bangkit dan mencari batu besar yang memiliki cekungan. Tak lama, ia menemukannya. Lalu, ia menuangkan seluruh isi kendi ke dalam cekungan batu itu.
Ratusan kelelawar langsung mengerumuninya. Dan seperti yang bisa ditebak, setelah mereka menenggak tuak itu, mereka langsung terkapar di tanah.
"Wuahahha... kalian memang teman yang bodoh! Mau-maunya saja mabuk bersama pecundang sepertiku... hahaha!" Getot mulai mabuk dan meracau tak jelas.
Tak lama kemudian, Getot pun ikut tergeletak di lantai karena pengaruh tuak yang kuat. Namun, ia masih bisa meracau lirih.
"Kalian tahu... aku ini pecundang. Tapi aku masih beruntung bisa belajar bela diri walau tanpa guru. Sebenarnya aku tak betah di sini. Tapi rasa dendamku ini masih membara."
"Aku akan tetap di sini, belajar sampai tuntas. Walau mungkin ulat laknat itu akan terus menyiksaku."
"Tapi aku tak peduli. Aku akan menjadi pendekar sakti dan akan kuhabisi orang-orang yang telah membunuh ayah ibuku."
"🔊🔊🔊🔊"
"Haha, kalian sudah mabuk. Sudah tepar saja bersamaku."
Maka, malam itu di lorong kelelawar, semuanya terkapar di lantai. Termasuk Getot. Bahkan kelelawar yang seharusnya bergantung di atap gua, kini teler dan bertebaran di samping Getot.
Sungguh sebuah pertemanan yang luar biasa.
Keesokan paginya, Udhet mencari Getot ke kamarnya, namun ia tak menemukannya. Dengan rasa ingin tahu, Udhet merayap menuju lorong dinding berukir, menduga Getot mungkin sudah berada di sana.
Sayangnya, lorong itu pun kosong. Udhet kembali merayap menuju kolam mata air, tetapi Getot juga tidak ada di sana. Kegelisahan mulai menyelimuti Udhet.
Pencarian Udhet berlanjut hingga akhirnya ia menemukan Getot di lorong kelelawar, masih tertidur pulas dengan dengkuran halus. Pemandangan yang lebih mengejutkan adalah ratusan kelelawar yang tergeletak tak berdaya di lantai.
Udhet mendekat dan segera menyadari penyebab keanehan itu. Aroma tuak yang menyengat memenuhi udara lorong. Udhet pun merasa jengkel.
"Hoaaaarghhh grookk grokkk!!!"
Raungan amarah Udhet yang menggelegar sontak membangunkan semua yang ada di sana. Ratusan kelelawar yang ketakutan melihat Udhet mengamuk langsung berhamburan kabur tunggang langgang.
Getot yang terkejut pun dengan sigap bangkit dan menutup kedua telinganya yang sakit akibat raungan Udhet yang memekakkan.
"Hentikan... Udhet, heyy... gendang telingaku mau pecah...!!!" protes Getot.
Udhet menghentikan raungannya dan bertanya dengan geraman tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Grokk grokk," tanya Udhet.
"Hah?? Entahlah, Udhet," jawab Getot bingung, "aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Lalu mereka membawakanku tuak. Jadi, ya... kami minum bersama di sini."
"Grokkk grokk," geram Udhet tak percaya.
"Tidak... aku tidak gila. Dan aku tidak berbohong. Merekalah yang membawakan tuak, entah dari mana," Getot berusaha meyakinkan.
"Grokkk grokk," balas Udhet.
"Ya, aku mengerti. Tubuhku pagi ini sudah pulih dan segar. Aku akan mulai latihan hari ini. Mari kita ke lorong dinding berukir," ajak Getot, merasa lega Udhet mau mempercayai penjelasannya. Jika tidak, mungkin pagi itu juga Udhet akan menelannya bulat-bulat seperti kemarin.
"Tak mau lagi aku berada di perut itu. Huh... selamat hari ini," gumam Getot dalam hati.
Sebelum memulai latihan, Udhet memberi kesempatan kepada Getot untuk makan dan mandi. Setelah itu, Getot kembali ke lorong dinding berukir dan mulai membacanya kembali.
"Latihan keempat... Membangkitkan panca indra..."
"Hah? Bukannya dari kemarin semua lorong itu adalah ruang untuk pelatihan? Lalu kenapa ini namanya lorong pelatihan?" tanya Getot heran.
"Kesannya biasa saja gitu. Padahal begitu kita masuk, ternyata adalah lorong penyiksaan. Begitu kan, Udhet?" tebak Getot.
"Grokkk grokk...!!!" jawab Udhet dengan geraman kesal.
"Hey, jangan cepat marah begitu. Nanti kamu cepat tua, tahu? Aku hanya bercanda... hehe..." Getot mencoba meredakan suasana.
"Ya sudah, mari kita ke sana. Aku sudah siap menghadapi segala latihan. Dan aku akan menjadi pendekar sakti mandraguna. Kamu dengar itu, Udhet? Hahaha," Getot tertawa sambil berkacak pinggang dan bergaya layaknya jagoan kesiangan.
"Grokk," balas Udhet datar.
"Hah, tidak percaya ya sudah. Aku akan membuktikannya," tantang Getot.
"Grokk grokk," sahut Udhet.
"Apa? Pembangkitan panca indra adalah latihan yang paling berat? Lebih berat mana ketimbang berminggu-minggu aku di lorong lahar?" Getot membandingkan.
"Grokk grokk," jawab Udhet.
"Oke, siapa takut??" tantang Getot lagi.
Lalu, mereka pun menuju lorong pelatihan. Getot mengikuti dari belakang dengan rasa penasaran yang besar. Namun, ia yakin jika ia bisa melalui latihan-latihan sebelumnya, maka latihan ini pun pasti bisa ia taklukkan.
"Hmhhh... aku sudah merasakan latihan yang paling berat. Jadi, untuk yang ini aku pasti bisa... hahaha," sugesti Getot dalam hatinya.
Setelah melewati beberapa lorong, akhirnya mereka tiba. Getot maju ke depan untuk melihat bagaimana rupa ruang pelatihan itu. Namun, ruangan itu justru membuatnya menggaruk-garuk kepala kebingungan.
"Hey, Udhet, kamu sedang tidak bercanda kan?" tanya Getot curiga.
"Grokk," jawab Udhet singkat.
"Baiklah kalau kamu serius. Tapi mengapa ruangan ini kosong? Aku tidak melihat apa-apa?" Getot semakin bingung.
"Grokk grokk," jawab Udhet.
"Ke tengah ruangan? Baiklah," Getot menurut.
Getot pun mengikuti ucapan Udhet dan berdiri tepat di tengah ruangan yang tampak kosong itu.
"Nah, aku sudah di tengah. Lalu apalagi? Jungkir balik? Lompat-lompat? Hah? Atau bergu........"
"Waaaaa!!"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tanah tempat Getot berpijak ambrol, menciptakan sebuah lubang persegi empat yang cukup dalam di bawahnya.