Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesawat Kertas
🌸
🌸
“Mas?” Seorang perempuan yang sejak dia sadari keberadaannya dalam rapat direksi dihindari akhirnya menyapa saat berpapasan, membuat Alendra sejenak menghentikan langkahnya ketika keluar dari ruangan.
Banyaknya peserta rapat menjadikannya punya alasan untuk tak bertemu muka secara langsung meski kerap kali menemukan kesempatan untuk melihat. Dialah Silvia yang sejak hampir delapan bulan terakhir tidak pernah ditemuinya setelah perceraian.
Alendra hanya mengangguk untuk menanggapi, selebihnya dia mengacuhkan. Bukan apa-apa, rasanya malas saja ketika harus kembali terjebak dalam kenangan masa lalu yang cukup menyakitkan baginya. Bertemu dengan sang mantan setelah sekian lama takut membuat hatinya yang belum benar-benar pulih kembali cedera. Apalagi di depan gedung sudah ada lelaki yang telah merenggut pernikahan impiannya. Sepertinya pria itu akan menjemputnya.
Ya, hubungan antara mereka bertiga yang awalnya adalah rekan kerja harus berubah 180 derajat karena perselingkuhan. Dan kabarnya Silvia dan Randi hampir saja dipecat secara tidak hormat karena skandal itu telah sampai ke telinga atasan. Namun karena salah satu dari mereka mengalah dan memilih mundur, akhirnya perusahaan memberi kesempatan. Dengan catatan, silvia harus rela jabatannya diturunkan menjadi staf biasa, mendampingi seorang manager baru pengganti Alendra.
“Mas, apa kabar?” Silvia bertanya saat sang mantan suami sudah melewatinya, membuat pria itu menghentikan langkah. Dia tertegun sebentar lalu sedetik kemudian memutar tubuh.
“Seperti yang kamu lihat, aku … baik-baik saja.” jawabnya, dingin dan datar seolah mereka tidak pernah terlibat hubungan asmara sebelumnya.
“Syukurlah. Aku sempat khawatir karena Mas mengundurkan diri, dan memilih pindah ke cabang di Bandung. Aku —”
“Tidak usah, terima kasih. Yang harus kamu khawatirkan justru adalah dirimu sendiri. Kandunganmu semakin besar tapi kamu masih tetap bekerja seperti ini. Sedangkan setauku perusahaan punya kebijakan sendiri untuk karyawan yang sedang hamil.” Alendra beralih menatap perut Silvia yang sepertinya sudah menginjak usia krusial di trimester akhir. Perempuan itu bahkan seperti mengalami kesulitan untuk berjalan. Tampak sekali dari caranya berpegangan pada pilar di luar lobi kantor sedangkan Randi, pria selingkuhan yang kini telah resmi menjadi suaminya hanya menunggu saja di dekat mobil, sibuk dengan ponsel pintarnya dan sesekali tertawa karena apa yang ditonton.
Pria itu memang tiidak perna berubah.
“M-mas … aku —”
“Permisi, aku masih ada keperluan setelah ini.” Alendra melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.30 siang, dan ini sudah waktunya membuka bekal buatan Asyla tadi pagi. Tapi sayang sekali harus terlambat karena rapat direksinya cukup alot. Pimpinan perusahaan ingin membuka cabang baru dari toko retail mereka di tempat lain di area Bandung.
“Tapi Mas, aku mau minta maaf —”
“Permisi, Silvia.” ucap Alendra lagi yang setelahnya segera pergi tanpa menghiraukan apapun lagi. Ingatannya hanya tertuju pada bekal karena perutnya juga memang sudah keroncongan.
***
“Tirta, kok belum mau jalan sih? Kan udah satu tahun?” Asyla meraup tubuh putranya yang seperti biasa bermain di lantai. Beberapa wadah plastik yang kerap kali dia mainkan berserakan dan Tirta memang tampak menyukainya. Dia betah lama-lama bermain seperti itu daripada bergerak ke sembang tempat.
Makanya dia tidak terlalu kesulitan untuk membawanya sambil bekerja, sehingga pada menjelang sore pekerjaannya sudah selesai. Anaknya sudah mandi dan dirinya sendiri pun sama. Kebiasaannya adalah membawa Tirta bermain di teras sambil menunggu kepulangan majikan untuk membuka kan pintu gerbang.
“Belajar dong, Nak. Jangan malas!” Dia terus saja berceloteh sementara Tirta hanya tertawa-tawa.
“Malah ketawa terus ih!!” Lalu Asyla mencium pipi gembilnya sehingga anak itu terus tertawa kegelian.
Namun suara nyaring klakson mobil dari luar pagar menjeda interaksi itu sehingga Asyla berhenti menggoda anaknya. Dia segera berlari ke arah pintu gerbang sambil menggendong Tirta.
“Bapak pulang ….” ucap balita itu sambil melambaikan tangan kecilnya ke arah mobil yang Alendra kendarai. Kacanya perlahan turun dan wajah pria itu tampak sumringah.
Kendaraan beroda empat itu langsung masuk carport dan si empunya segera turun begitu mesin dimatikan.
“Hari ini nggak macet?” Asyla segera menghampirinya.
“Tidak terlalu.” Sedangkan Alendra menyodorkan tas kerja untuk dibawa oleh wanita itu, seperti biasa. “Lagian saya izin pulang lebih awal tadi.” Lalu dia tertawa sambil melangkah menuju ke arah pintu masuk dan Asyla berjalan di belakang.
“Lho, kenapa? Bapak sakit?” Wanita itu agak terkejut.
“Tidak.”
“Terus? Ada masalah?” Seperti seorang istri Asyla tampak penasaran. Dan kedua bola matanya terlihat jenaka saat Alendra menoleh.
“Tidak juga.”
“Terus?” Dan wanita itu terus saja bertanya hingga mereka masuk ke dalam rumah.
“Mau saja. Lagian kerjaan saya sudah beres.”
“Oh ….”
“Kamu masak apa hari ini?” tanya Alendra sambil melepaskan jasnya. Lilitan dari diurainya, lalu keduanya disampirkan di pegangan sofa, kemudian dia berjalan mendekati meja makan sambil melipat lengan kemejanya.
“Tadi ada tukang sayur lewat, kebetulan si Mamang nya bawa buntut sapi. Jadi saya bikin sop buntut.”
“Begitu? Memangnya bahan masakan masih ada ya?” Alendra segera duduk di kursi terdekat.
“Ya tinggal wortel sama kentang. Saya bikin sop sama perkedel.” Dan dua wadah berisi makanan yang Asyla sebutkan pun sudah rapi di atas meja. “Tapi buntutnya cuma dapat setengah kilo.”
“Kenapa? Tukang sayurnya hanya bawa segitu?”
Asyla menggelengkan kepala.
“Lalu?”
“Uangnya cuma cukup untuk beli setengah, hehehe.” Wanita itu tertawa.
“Oh ya? Uang dapurnya sudah habis ya?”
Kini Asyla mengangguk.
“Baik, besok saya kasih lagi.”
“Iya.”
“Jadi isi kulkas juga sudah habis?” tanya Alendra yang menatap wajah asisten rumah tangganya itu lekat-lekat.
“Iya, paling besok Bapak hanya sarapan roti. Nggak tau bekalnya mau bikin apa.”
“Tidak usah bikin bekal kalau gitu.”
“Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, hanya sehari lagi besok, kan? Lusa sudah libur.”
“Oh, ya sudah.”
“Baik. Sepertinya saya mah makan dulu.” ujar pria itu yang sudan siap di tempat duduknya.
“Oh ….” Membuat Asyla mengangkat tangan kanannya yang tengah memegang tas kerja milik Alendra, sedangkan rangan kirinya mendekap Tirta. “Sebentar, Pak. Saya simpan dulu tasnya.” Agak kesulitan dia memeluk Tirta yang bertingkah seperti balita pada umunya, dan itu membuatnya tampak kewalahan.
“Sebentar ….” Dan dia hampir saja pergi dari hadapan Alendra sebelum akhirnya pria itu meminta untuk menggendong Tirta.
“Berikan Tirta nya sama saya, Syl.” Kedua tangannya terulur ke arah Asyla.
“Maaf, Pak?”
“Tirta nya biar saya yang gendong sentara kamu simpan tas nya ke ruang kerja.”
“Umm ….”
“Ayo, cepat. Saya sudah lapar.” katanya lagi, dan tidak ada pilihan bagi Asyla selain memberikan putranya kepada pria itu. Lalu dia segera melakukan apa yang majikannya itu perintahkan.
***
“Ini pesawatnya mau terbang.” Alendra menggerak-gerakkan tangannya yang menggenggam sebuah pesawat yang terbuat dari kertas.
Digerakkannya benda itu di depan Tirta dan membuat balita berumur satu tahun tersebut kegirangan.
“Pesawat, pesawat ….” Kedua tangan kecilnya meronta-ronta ingin meraih mainan kertas yang beberapa saat lalu Alendra keluarkan dari saku kemejanya. Yang dia buat saat menyimak presentasi yang dilakukan oleh Silvia pada rapat tadi sebagai perwakilan dari pusat.
“Kamu suka pesawatnya?” Alendra menatap Tirta yang ada dalam dekapannya. Meski sambil dibawa duduk tetapi anak itu tampak sangat senang. Apalagi saat pesawat kertas itu dia berikan, segera saja anak asisten rumah tangganya itu memainkannya seperti yang dia lakukan.
Alendra tertawa saat Tirta menirukan suara mesin, yang dipahami sebagai bunyi mesin pesawat. Dan secara refleks dia menempelkan keningnya sendiri kepada anak itu. Dan perasaan hangat yang menyenangkan itu pun kembali hadir memenuhi dada, seolah ada bagian kosong dari hatinya yang terpenuhi saat berinteraksi seperti itu.
“Kamu suka pesawatnya, ya?” tanya Alendra kepada Tirta, yang dijawab dengan anggukkan oleh anak itu. Namun perhatiannya masih tertuju pada pesawat.
“Nanti saya bikinkan lagi, ya?”
Tirta mengangguk lagi.
“Bikin yang lebih besar mau?”
“Mau.”
Lalu Alendra tersenyum setelah mendengar suara kecilnya yang terdengar lucu, sementara Asyla yang menatapnya dari pertengahan tangga hanya bisa terdiam. Entah, rasanya ada rasa yang begitu hadir setiap kali dia melihat interaksi seperti itu. Apalagi akhir-akhir ini sang majikan sering kali mendekati putranya.
🌸
🌸
Duh 🤭🤭
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.