Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang Bayang Semalam
“Kau terlihat lebih lelah hari ini. Apa semalam kau begadang?” tanya Kenzo dengan nada perhatian saat mereka berjalan beriringan di koridor kantor, membawa berkas-berkas di tangan. Ayla tersenyum kecut, menahan lelah yang menyeruak di wajahnya. Memang benar, malam tadi ia tak cukup tidur, bukan karena alasan mulia, tapi karena kegiatan kotornya bersama Leo, sepupunya sendiri.
“Ah, iya, Pak. Saya harus menjaga adik saya yang sedang dirawat di rumah sakit,” jawab Ayla sambil sedikit menggeleng, menyembunyikan kebohongan yang baru saja ia lontarkan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kenzo jika mengetahui kebenarannya—bahwa ia telah menghabiskan malam bersama Leo dalam cara yang tak seharusnya.
“Ah, begitu ya. Saya turut prihatin. Semoga adikmu segera diberikan kesembuhan,” ujar Kenzo dengan tulus. Ayla pun membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum yang kali ini terasa lebih jujur.
“Tapi tunggu dulu.”
Kenzo tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Ayla refleks ikut berhenti. Tatapannya yang mendadak serius membuat Ayla sedikit terkejut.
“Ada apa, Pak?” tanyanya, bingung.
Kenzo menyilangkan tangan di dada, ekspresinya setengah protes namun ada nada menggoda dalam suaranya. “Bukankah panggilan ‘Pak’ terlalu tua untukku? Saya masih sangat muda, tahu.”
Ayla menghela napas sambil tersenyum tipis. Dia sempat mengira ada sesuatu yang serius, tapi ternyata hanya ini.
“Lalu, saya harus panggil apa?” tanyanya, memilih pasrah.
Kenzo mengangkat dagunya sedikit, berpikir sejenak seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang penting. “Emm… panggil saya Mr. Kenzo,” ujarnya dengan nada yakin, seakan nama itu membuatnya terdengar lebih berwibawa.
Ayla menunduk sedikit, menahan tawa yang hampir meledak. Bibirnya mengulum senyum, matanya memancarkan geli.
Jujur saja, antara Kenzo dan Leo, perbedaan mereka sangat mencolok—seperti langit dan bumi. Leo dikenal dingin, cuek, dan sangat tegas, nyaris tak pernah menunjukkan emosi berlebihan. Sedangkan Kenzo… ia justru sebaliknya. Terbuka, banyak bicara, kadang humoris, dan lebih hangat dalam menyikapi orang lain. Sikapnya terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan Leo yang selalu membawa aura tegang.
“Baiklah, baiklah… Mr. Kenzo,” sahut Ayla akhirnya, masih dengan senyum di bibir.
Tawa keduanya pecah pelan, ringan, seperti dua rekan kerja yang mulai merasa nyaman satu sama lain.
Beberapa detik berlalu, dan Ayla mendadak terlihat sedikit lebih serius. Matanya menatap lurus ke depan, seolah mencoba menenangkan pikirannya sebelum berbicara. Langkah mereka kembali berjalan pelan menuju ruang kerja setelah mengantarkan berkas.
“Hm… sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan,” ucap Ayla pelan, namun cukup terdengar.
Kenzo menoleh sedikit. “Apa itu?”
Ayla menggigit bibirnya sebentar sebelum akhirnya membuka suara. “Wanita di pesta malam itu… yang bersama anda. Dia… kekasih Mr. Kenzo?” tanyanya, terdengar ragu. Ada bayang-bayang dalam ingatannya—tentang wanita itu, dan tentang ciuman panasnya dengan pria lain, bukan Kenzo.
“Oh, maksudmu Siska?” Kenzo dengan mudah menebak siapa yang dimaksud Ayla.
Ayla hanya mengangguk pelan, meskipun sejujurnya ia tak tahu siapa nama asli wanita tersebut.
“Hm, masih calon sih… Kenapa memangnya?” balas Kenzo dengan gaya santainya yang khas.
Ayla menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal, bingung harus memulai penjelasan dari mana. Tapi sebelum ia sempat berbicara, matanya menangkap sosok yang familiar berjalan ke arah mereka.
Leo.
Dia baru saja memasuki kantor. Dengan jas rapi, wajah tampan yang selalu terlihat segar dan berwibawa, serta langkah tegap penuh keyakinan. Sosoknya membuat udara di sekitar Ayla mendadak terasa sesak.
Ayla menahan napas. Sosok itu… adalah lelaki yang semalam berhasil membuat tubuhnya remuk tak bersisa. Bukan hanya karena tampangnya, tapi juga karena cara Leo memperlakukannya. Ia bukan hanya lihai di kantor, tapi juga… di ranjang.
Kenangan semalam menyeruak begitu cepat, membuat Ayla nyaris kehilangan fokus. Tangan kirinya tanpa sadar meremas berkas yang ia bawa.
Leo terus berjalan mendekat dengan ekspresi datar, seolah tidak ada satu hal pun yang perlu dijelaskan. Ia berhenti tepat di hadapan Kenzo dan Ayla. Tanpa menoleh ke Kenzo, tatapannya langsung menusuk ke arah Ayla.
“Kamu. Ke ruangan saya sekarang,” perintahnya dingin, tegas, tanpa basa-basi.
Lalu begitu saja, ia berbalik dan melangkah menuju ruangannya.
Ayla tercekat. Tubuhnya tetap berdiri mematung, bahkan setelah Leo menghilang di balik pintu.
Kenzo menatap Ayla sebentar, heran dengan perubahan ekspresinya. Tapi ia tak bertanya apa-apa.
Ayla tahu… ini akan menjadi hari yang panjang.