menceritakan tentang seorang gadis mantan penari ballet yang mencari tahu penyebab kematian sang sahabat soo young artis papan atas korea selatan. Hingga suatu ketika ia malah terjebak rumor kencan dengan idol ternama. bagaimana kisah mereka, yukkk langsung baca saja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon venn075, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pagi itu, Jihoon tak bisa tenang. Sepulang dari jadwal latihannya, pesan dari Daniel masih terngiang jelas di benaknya. "Hyung... kau harus cek IG Cassi. Ini sudah di luar batas. Komentar-komentar itu... ada yang menyeret-nyeret nama mendiang Soo Young." Daniel mengirimkan beberapa tangkapan layar, dan Jihoon yang membacanya langsung merasakan dadanya sesak.
Tanpa pikir panjang, Jihoon segera mengganti pakaiannya dan bergegas keluar, tak peduli pada panggilan sang manajer yang masih memanggil namanya dari belakang. Mobil pribadinya melaju cepat menembus jalanan kota Seoul, pikirannya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Cassi. Ia tahu benar seperti apa rasanya dihujani komentar jahat dari dunia yang bahkan tak mengenal dirinya seutuhnya. Tapi kali ini... berbeda. Komentar itu tak hanya menyerang Cassi, tapi juga menyeret nama Soo Young—seseorang yang memiliki arti besar bagi keduanya.
Jihoon menghubungi Alexa, sang asisten pribadi Cassi, namun hanya mendapat jawaban singkat, "Nona sedang di sekolah balet... sepertinya ia sedang tidak ingin diganggu." Tapi Jihoon tak peduli. Ia harus memastikan sendiri, harus melihat langsung kondisi Cassi.
Mobilnya berhenti di depan gedung megah sekolah balet milik keluarga Seaggel. Dengan langkah panjang, Jihoon melewati lorong-lorong sepi sebelum menemukan sosok Cassi di salah satu ruang istirahat. Gadis itu duduk diam, mematung di sudut ruangan, dengan ponsel masih tergenggam di tangannya. Wajahnya pucat, matanya kosong menatap layar yang kini telah gelap.
"Cassi..." suara Jihoon terdengar berat, seolah menahan amarah dan kekhawatiran sekaligus. Gadis itu terkejut, menoleh perlahan.
"Kenapa kau di sini?" suaranya nyaris berbisik, lemah.
Jihoon mendekat, menatap Cassi dalam-dalam. "Aku tidak akan diam saat orang-orang mulai melewati batas. Kau tahu itu kan? Aku tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkanmu... apalagi dengan menyeret nama Soo Young."
Cassi terdiam, menunduk. Untuk pertama kalinya, ia merasa rapuh di hadapan Jihoon. Namun ada sedikit kelegaan... karena pria itu datang. Karena di saat dunia seolah menjadikannya musuh, Jihoon berdiri di hadapannya—tak sebagai seorang idol, tapi sebagai pria yang peduli padanya.
Jihoon menatap Cassi yang masih terdiam, kedua tangannya mengepal erat di atas pangkuan. Suasana hening menyelimuti ruangan hingga akhirnya Cassi membuka suara, suaranya terdengar pelan namun jelas di telinga Jihoon.
"Aku berencana mengunjungi makam mendiang Soo Young," ucapnya lirih, menunduk dalam. "Aku juga ingin beristirahat sejenak dari media sosial dan segala pemberitaan yang semakin tidak terkendali. Aku rasa, aku membutuhkan waktu untuk sendiri."
Jihoon terdiam, matanya mengamati raut wajah Cassi yang tampak lelah. Kekhawatiran perlahan menyelimuti benaknya, ia memahami bahwa beban yang dipikul Cassi akhir-akhir ini terlampau berat.
"Apakah keputusan ini sudah kau pertimbangkan matang-matang?" tanya Jihoon pelan. "Aku hanya khawatir... situasi di luar sana semakin sulit dikendalikan."
Cassi mengangkat kepalanya perlahan, menatap Jihoon dengan mata yang tampak sembab namun penuh ketegasan.
"Untuk kali ini... aku tidak peduli. Aku lelah harus berpura-pura kuat. Soo Young pasti akan marah jika tahu aku begini. Maka dari itu, aku ingin menemuinya... meski hanya berdiri di depan makamnya."
Jihoon menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah... aku akan menemanimu."
"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri," sahut Cassi cepat. Namun Jihoon menggeleng dengan tegas.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri, Cassi. Jika kau ingin ke sana, maka aku yang akan mengantarmu."
Cassi terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Terima kasih, Jihoon."
Jihoon membalas dengan senyum tipis, meski kegelisahan masih tersisa di hatinya. "Setidaknya... biarkan aku berada di sisimu, jika sewaktu-waktu kau membutuhkan seseorang untuk menemanimu diam."
----
Di Tempat Pemakaman
Cassi adalah sosok yang selama ini dikenal kuat dan tegar menghadapi berbagai serangan, baik dari media maupun opini publik yang tak henti menggempur namanya. Ia terbiasa berjalan di antara tatapan sinis dan komentar pedas, seolah kebal dengan segala bentuk hinaan yang diarahkan padanya. Baginya, dunia ini sudah sejak lama mengajarkan bahwa tidak semua orang akan berpihak kepadanya, dan Cassi menerima kenyataan itu dengan kepala tegak.
Namun, ada satu hal yang mampu meruntuhkan semua pertahanan diri yang selama ini ia bangun rapat—ketika nama mendiang sahabatnya, Soo Young, diseret-seret dalam pusaran kebencian yang tak berujung.
Bagi Cassi, Soo Young bukan sekadar sahabat, melainkan bagian dari dirinya yang paling rapuh. Kenangan mereka terpatri dalam setiap sudut hidupnya, menjadi alasan mengapa Cassi terus melangkah sejauh ini. Maka, setiap kali publik mulai mengaitkan dirinya dengan kematian sahabatnya itu, seolah seluruh luka lama yang selama ini dikubur dalam-dalam kembali menganga, menyesakkan dadanya hingga sulit bernapas.
Cassi kuat, namun tidak untuk bagian ini. Bukan karena ia takut akan rumor atau tuduhan, tetapi karena ia tahu, Soo Young adalah satu-satunya orang yang tidak pantas dikotori oleh kejamnya dunia luar. Dan untuk itu, Cassi rela berjuang sekuat tenaga—meski harus hancur di dalam diam.
Di bawah langit mendung yang seolah turut berduka, Cassi berdiri dalam diam di hadapan pusara sahabatnya. Angin musim gugur berhembus pelan, menggoyangkan bunga-bunga segar yang baru saja ia letakkan di atas makam Soo Young. Tatapannya kosong namun penuh makna, seolah segala beban yang selama ini dipendamnya kini perlahan terlepas di tempat itu.
"Soo Young... aku datang lagi," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Kau tahu... rasanya berat sekali. Aku tidak pernah membayangkan akan berdiri di sini, menghadapi semua ini sendirian. Tapi... kau pernah bilang kan, jika suatu hari aku lelah, aku harus datang ke tempat ini dan mengadu padamu?"
Cassi tersenyum kecil, getir. Matanya sedikit memerah menahan perasaan yang mengganjal di dadanya. Ia tahu tak akan ada jawaban, tapi tetap saja ia terus berbicara, seolah Soo Young benar-benar mendengarkannya.
Tak jauh dari sana, Ji Hoon berdiri dalam diam, mengamati sosok Cassi dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia sengaja menjaga jarak, membiarkan Cassi larut dalam kenangannya bersama mendiang sahabatnya. Bagi Ji Hoon, pemandangan itu lebih dari cukup untuk membuatnya memahami satu hal—betapa besar luka yang selama ini Cassi sembunyikan rapat-rapat dari dunia.
----
Sore itu kembali terulang di benak Ji Hoon saat ia duduk termenung di sudut kamarnya. Ingatan tentang Cassi yang berdiri di depan makam Soo Young, dengan suara lirih bertanya padanya, "Apa kau pernah mencintai Soo Young...?" terus terngiang di kepalanya.
Pertanyaan sederhana namun menohok itu membuat Ji Hoon terdiam lama. Bukan karena ia tak tahu jawabannya, tapi karena sorot mata Cassi saat itu—penuh keraguan, luka, dan harapan—seolah meminta kejujuran yang tak bisa sembarangan ia ucapkan.
Jihoon sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu karena bagi nya itu bukan berarti apa namun ji hoon lebih memilih untuk menyimpannya sampai saat nya tiba.