Turun Ranjang
Fawwas, seorang dokter ahli bedah tidak menyangka harus mengalami kejadian yang menyenangkan sekaligus memilukan dalam waktu yang bersamaan. Saat putrinya dilahirkan, sang istri meninggal karena pendarahan hebat.
Ketika rasa kehilangan masih melekat, Fawwas diminta untuk menikahi sang adik ipar. Dia adalah Aara, yang juga merupakan seorang dokter kandungan. Jelas Fawwas menolak keras, belum 40 hari istrinya tiada dia harus menikah lagi. Fawwas yang sangat mencintai istrinya itu bahkan berjanji untuk tidak akan menikah lagi.
Tapi desakan dari keluarga dan mertua yang tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang lain membuat Fawwas terpaksa menerima pernikahan tersebut. Terlebih, itu juga merupakan wasiat terakhir dari sang istri meskipun hanya tersirat.
Bagaimana Fawwas menjalani pernikahan nya?
Apakah dia bisa menerima adik iparnya menjadi istri dan ibu untuk putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IB 16: Cantik
Fawwas keluar dari ruangan sang ayah, dia memikirkan semua yang dikatakan oleh Bisma. Satu hal yang membuatnya sangat terkejut yakni mengetahui bahwa Aara mengalami trauma. Dan dia merasa bersalah karena tidak mengetahui hal tersebut. Ia terus mendesak Aara untuk menjawab pertanyaan yang membangkitkan rasa traumanya.
" Seharusnya aku memeriksakan Aara. Faizal, aku harus minta tolong padanya untuk berbicara kepada Aara. Tapi sebelumnya, aku harus mengajak Aara berbicara lebih dulu."
Fawwas memantabkan untuk mengajak Aara bicara dari hati ke hati. Satu hal yang melintas dalam pikiran Fawwas adalah, jika Aara masih berkutat dengan traumanya maka dia tidak akan bisa kembali lagi menekuni profesinya. Fawwas jelas tidak mau, sekali lagi, dia tidak ingin Aara terbelenggu di rumah saja. Fawwas ingin Aara bebas melakukan apa yang dia mau.
Saat itu juga Fawwas ingin berbicara kepada Aara, mumpung masih ada di kediaman kedua orang tuanya. Ini kesempatan, karena ia bisa berbicara dengan serius dan intens kepada Aara degan menitipkan Neida kepada Amma dan Appa nya. Tapi sebuah pemandangan di depannya membuat jantung Fawwas berdegup lebih cepat. Ia melihat Aara tertawa bersama Erka, sang teman. Tawa yang tidak ia lihat semenjak dirinya menikahi wanita tersebut.
" Cantik," gumam Fawwas lirih. " Apa yang kau pikirkan Fawwas, dia adalah adik iparmu. Tapi, mengapa dia bisa tertawa begitu lepas dengan Erka, apa yang mereka bicarakan sehingga Aara bisa tertawa begitu menyenangkan?" ucap Fawwas lagi. Dia menjadi urung untuk menghampiri Aara. Ia tidak ingin mengganggu tawa Aara yang menurutnya sangat cantik itu. Baru sekarang ia menyadari hal tersebut.
Hari mulai senja, Fawwas memutuskan menginap di rumah kedua orang tuanya. Dan temannya itu juga sudah pulang dari siang. Sebenarnya Aara tidak masalah menginap, hanya saja ada satu hal sekarang yang menjadi PR bagi keduanya. Mereka harus berbagi kamar, seperti yang sudah disepakati bersama bahwa mereka harus menampilkan keluarga yang harmonis, maka tidak mungkin Fawwas meminta mereka untuk tidur di kamar yang berbeda.
" Kamu tidurlah di Kasur, aku akan tidur di sofa," ucap Fawwas yakin. Malam itu suasana kamar dipenuhi dengan kecanggungan. Bagaimana tidak, dengan berada dalam satu kamar, maka mau tidak mau Aara harus menyusui Neida dihadapan Fawwas. Meskipun Fawwas juga akan tahu diri untuk tidak memerhatikan hal tersebut.
" Tidurlah di tempat tidur Kak, ukuran kasur ini king size. Masih banyak space yang bisa digunakan. Kakak besok harus bekerja, aku tidak ingin kakak kesulitan tidur ataupun tidak nyaman. Eeh ... jangan salah sangka. A-aku sama sekali tidak punya pikiran macam-macam. A-aku hanya tidak ingin kakak merasa tidak nyaman saat tidur."
Aara merutuki dirinya sendiri dalam hati. Sungguh, dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ia benar-benar tidak punya pikiran lain selain mengkhawatirkan kenyamanan tidur Fawwas.
" Baiklah, aku akan tidur di kasur," ucap Fawwas menyetujui saran Aara. Dalam pikiran Fawwas, mereka tidak ada perasaan ini. Bukankah tidak akan ada masalah jika tidur bersebelahan. Tidak akan ada hal yang terjadi nantinya.
Dan malam itu, mereka tidur bertiga. Fawwas memposisikan dirinya tidur di tepi ranjang. Dan Aara juga Neida di sisi yang lainnya. Awalnya Neida diletakkan di tengah, tapi Aara merasa sedikit khawatir kalau saja nanti Neida tertindih Fawwas. Selama ini Fawwas tidak pernah tidur bersama Neida, jadi Aara merasa harus hati-hati.
Lagi pula itu pilihan tepat. Dengan membelakangi Fawwas, Aara bisa menyusui Neida dengan bebas tanpa bisa dilihat Fawwas.
Jika Aara lebih cepat untuk tidur maka tidak dengan Fawwas. Hingga pukul 23.00 malam, matanya masih terjaga. Awalnya dia ingin mengajak bicara Aara seperti rencana semula, tapi melihat Aara yang lelah dan sudah tertidur ia pun urung karena tidak tega.
" Ini adalah kamar yang pernah aku pakai juga bersama Aira, dan kini aku membawa Aara tidur di sini juga. Haah, sebenarnya mengapa kehidupan pernikahanku menjadi seperti ini. Menikahi kakak adik secara berurutan dalam kurun waktu satu tahun saja. Aku terlihat seperti orang yang serakah bukan? Maka dari itu aku ingin membiarkanmu bebas Ra. Aku tidak ingin membelenggumu. Sebelum bersama ku kau adalah burung camar yang cantik yang bebas berterbangan di alam liar. Tapi sekarang, kamu tidak bisa melakukan ini."
Seperti itulah yang ada dalam hati dan pikiran Fawwas. Dia selalu merasa bahwa tidak seharusnya Aara menjadi istrinya dan tertahan di sampingnya. Fawwas merasa bahwa Aara seharunya bisa melakukan banyak hal tanpa terikat olehnya. Tapi Fawwas lupa menanyakan keinginan Aara sendiri. Semua itu hanyalah asumsinya. Semua itu adalah pikirannya dan juga keputusannya sendiri. Seharusnya tidak seperti itu, seharunya Fawwas membicarakan ini dengan Aara. Sikap acuhnya kepada Aara karena memang dia tidak ingin Aara terlalu terkait dengan dirinya.
" Maafkan aku Ra, maafkan aku yang hanya bisa sejauh ini bersikap padamu," lirih Fawwas.
Lambat laun akhirnya Fawwas memejamkan matanya. Ia mengarungi alam mimpi dalam waktu yang singkat. Di dalam mimpinya itu dia melihat sang kekasih hati yang sudah meninggalkannya. Aira, dia tersenyum cantik saat menatapnya dari kejauhan. Dan di sisi sebelahnya ada Aara juga bersama Neida. Kedua orang itu terlihat bercengkrama dengan sangat bahagia. Tawa renyah terdengar dari Aara dan Neida.
Saat Fawwas ingin mendekat ke arah Aira, istrinya yang sudah tiada itu langsung menggeleng cepat. Aira bahkan memundurkan langkahnya lebih jauh lagi. Ia kemudian menggerakkan tangannya dan menunjukkan ke arah Aara dan Neida. Fawwas awalnya tidak mengerti, tapi ia mencoba mendekati Neida dan Aara lalu sebuah relasi tidak terduga Aira perlihatkan kepada Fawwas. Aira tersenyum lalu mengangguk, dan lambat laun ia pergi meninggalkan Fawwas yang berdiri tepat dibelakang Aara dan Neida.
" Apa arti mimpi ku kali ini. Aira datang, tapi dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun " lirih Fawwas yang langsung terbangun saat Aira pergi. Tapi keterkejutan sesungguhnya adalah saat ini, dimana ia memeluk Aara dari belakang. Bahkan Fawwas bisa mencium wangi rambut Aara.
" Ini ... mengapa aku bisa memeluk Aara. A-apa yang aku lakukan!"
TBC
kita pasti bisa...
memang betul trauma seseirqng akan susah untuk di lupakan...memakan waktu...
itu juga ku alami sendiri,sampai skrng masih harus pergi kaunseling..untuk menyembuhkan rasa trauma yg sdh 2 thn lbh...hhuuuffzz.../Sweat/
skrng tugasmu untuk memulihkan keadaan...