🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Umi Zahra Sakit
Pukul empat pagi.
Hafsa bangun dari tidur dengan keadaan perut yang luar biasa sakit, serta kepala pusing berputar-putar. Tangannya meraba meja di samping ranjang tempat tidur, membuka salah satu laci di sana. Sembari terhuyung-huyung, Hafsa mencoba menemukan obat yang tadi sore ia beli di apotek.
Aneh memang. Akhir-akhir ini sakit perutnya bukannya kunjung membaik, rasanya malah semakin parah. Bahkan meski sudah berlalu sepuluh hari sejak haid pertamanya, darah yang keluar tetap saja banyak. Padahal biasanya dia hanya haid seminggu. Karena itu, Hafsa membeli lagi obat yang sama yang diberikan puskesmas tempo hari, demi meredakan sakit perutnya itu.
Usai meminum obat dengan terburu-buru, Hafsa kembali merebahkan badannya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya sebentar untuk menetralisir pandangannya yang berkunang-kunang. Setelah dirasa agak reda, ia memiringkan badannya ke arah kiri.
Saat membuka mata, Hafsa melihat wajah Gus Sahil yang tertidur pulas di sisi ranjang yang lain. Setelah pindah ke Darul Quran, Gus Sahil memang mau berbagi ranjang dengannya, tapi itu karena memang tidak ada tempat lain untuknya tidur. Kamar Gus Sahil termasuk sempit, belum lagi ada dua lemari baju besar di sana. Meski demikian, ada dua bantal guling yang menjadi pembatas area tidur mereka berdua.
Hafsa memandangi wajah suaminya dalam diam. Kapan lagi coba dia bisa menikmati memandang wajah Gus Sahil seperti ini? Apalagi saat ini dia sedang dalam masa menjauhkan diri, tidak mungkin memperhatikan wajahnya secara terang-terangan.
Jari telunjuk Hafsa perlahan mengukir pahatan wajah Gus Sahil dari jauh. Keningnya, bulu matanya yang lentik, hidung mancung, bibir tipis, dan dagu yang sedikit terbelah. Beberapa rambut halus terlihat mulai tumbuh disekitar dagunya. Rupanya Gus Sahil belum sempat mencukur jenggot, padahal ia biasanya rajin dalam hal itu.
Entah karena pengaruh obat yang mulai bekerja atau karena memandangi wajah Gus Sahil, sakit perut yang Hafsa rasakan tiba-tiba mulai reda. Meski berusaha keras menyangkal, Hafsa tidak bisa berbohong kalau ia masih sangat menyukai suaminya itu.
"Saya cinta sekali sama njenengan Gus," Hafsa berbisik lirih.
***
Gus Sahil terlihat sedang mengawasi para santri yang sedang diajarkan beberapa keahlian oleh para anggota PPI. Ada beberapa cabang bakat minat yang diajarkan di sana. Mulai dari membuat kue, mencukur rambut, membuat dekorasi pengantin, hingga tata rias. Sesekali, ia memotret kegiatan tersebut demi diunggah ke laman media sosial. Zaman sudah berubah. Sekarang pondok pesantren pun membutuhkan medsos sebagai tempat promosi.
Hafsa sendiri juga turut mendampingi para santri yang belajar membuat kue. Benar seperti kata Gus Ihsan, kemampuan Hafsa kembali muncul saat ia memegang bahan-bahan adonan. Ia pun dengan semangat membimbing para santri untuk mengikuti langkah-langkah yang diajarkan para anggota PPI.
Di sisi lain, Abah Baharuddin dan Umi Zahra juga ikut melihat-lihat. Merasa antusias melihat para santri belajar hal baru diluar aktivitas mereka sehari-hari.
Namun, keramaian itu dalam sekejap berubah menjadi keributan. Salah satu alat yang digunakan dalam praktik salon rambut meledak, membuat lampu satu pondok pesantren mati dalam sekejap. Tapi bukan itu bagian terburuknya. Suara ledakan itu memicu penyakit jantung Umi Zahra, membuat Umi Zahra tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.
Gus Sahil yang melihat ibundanya tampak limbung bergegas berlari, melempar handphone ke sembarang arah, berseru memanggil nama sang umi. Roha yang berada di samping Umi Zahra pun berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Umi Zahra agar tidak jatuh ke tanah.
Hafsa sendiri terpaku melihat kejadian yang berlalu begitu cepat. Ia pun dengan sigap berlari menuju Umi Zahra, ingin membantu bagaimanapun caranya.
"Minggir! Minggir!" Gus Sahil tergopoh-gopoh menggendong tubuh Umi Zahra. Menyibak kerumunan para santri yang berjubel melihat.
"Brur! Mabrur!" Gus Sahil sibuk meneriaki Mabrur yang sedang menjadi kelinci percobaan para santri yang belajar cukur. Tidak peduli rambut Mabrur masih terpotong separuh. Umi Zahra harus dibawa ke rumah sakit secepatnya.
Hafsa turut berlari mengikuti Gus Sahil. Wajah Umi Zahra sudah semakin pucat. Dengan gemetaran, ia melantunkan bacaan Al-fatihah untuk sang mertua.
Mobil dengan cepat dikeluarkan Mabrur. Roha buru-buru membuka pintu mobil belakang, ia masuk lebih dulu untuk menjadi orang yang memangku Umi Zahra. Setelah posisi Umi Zahra dirasa nyaman, Gus Sahil segera menutup pintu dan duduk di kursi samping Mabrur. Mobil pun melaju dengan cepat keluar dari pelataran pesantren.
Hafsa termenung. Sesaat, ia merasa menjadi orang yang tidak dianggap. Lihatlah disana, Roha dan Gus Sahil begitu sigap membantu Umi Zahra. Tidak seperti dirinya yang masih kebingungan mau berbuat apa.
Tidak boleh begini. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengasihani diri sendiri Sa, Hafsa mencoba menguatkan dirinya sendiri. Ia lalu segera masuk ke ndalem, memasukkan barang-barang Umi Zahra yang mungkin diperlukan ke dalam tas. Tidak lupa membawakan pula baju ganti milik Gus Sahil. Untuk saat ini, dia ingin fokus melakukan apapun yang bisa membantu.
Tiga puluh menit kemudian, Hafsa dan Abah Baharuddin menyusul ke rumah sakit tempat Umi Zahra dirawat. Tampak Gus Sahil terduduk di kursi tunggu depan kamar pasien. Wajahnya tampak kusut. Kemejanya lecek.
"Bagaimana Hil?" Abah Baharuddin menghampiri putranya. "Apa kata dokter tadi?"
"Alhamdulillah, masa kritis sudah lewat Bah," Gus Sahil menjawab dengan suara lirih. "Tapi Umi masih harus dirawat selama beberapa hari,"
"Alhamdulillah," Hafsa dan Abah Baharuddin kompak mengucap hamdalah.
"Mas Gus, njenengan mau ganti baju dulu apa tidak? Saya bawakan baju ganti buat njenengan," Hafsa meletakkan tas besar berisi pakaian ganti di sebelah Gus Sahil. "Ada beberapa berkas yang saya bawa juga buat melengkapi administrasi,"
Gus Sahil mengangguk. "Terimakasih Sa. Sini berkasnya, biar aku yang urus administrasinya,"
Hafsa mengeluarkan berkas yang diminta Gus Sahil dari tasnya yang lain. Dengan langkah gontai, Gus Sahil pergi ke tempat administrasi rumah sakit.
Hafsa kemudian mengangkat tas besar itu, bermaksud menaruhnya di dalam kamar. Karena jika Umi Zahra harus dirawat beberapa hari di sini, sudah pasti mereka akan menginap. Roha sudah berada di dalam ruangan itu, berdiri agak jauh dari ranjang pasien. Sementara Abah Baharuddin duduk di kursi sebelah ranjang Umi Zahra. Sibuk berdzikir mendoakan.
Melihat kedatangan Hafsa, Roha dengan sigap membantu Hafsa membawa tas-tas nya yang berat. Menaruhnya hati-hati di pojok kamar.
"Terimakasih ya mbak," Hafsa tersenyum. Matanya kemudian tidak sengaja melihat ke arah baju Roha yang kotor terkena adonan kue. Roha juga ikut kelas masak bersamanya tadi.
"Aduh, aku lupa tidak minta Mbak Zulfa ambilkan baju ganti sampeyan," Hafsa menyesali kelalaiannya. "Setelah ini sampeyan ikut pulang saja bersama Mabrur, biar aku yang gantikan sampeyan di sini,"
Roha tampak menjawab ragu-ragu. "Mohon maaf Ning, biasanya saya yang menemani Umi Zahra di rumah sakit. Saya jadi nggak tega kalau harus pulang meninggalkan Umi begitu saja,"
Hafsa terkesiap. Memang benar kata Roha. Kalau dipikir-pikir, sudah tiga tahun Roha mengabdi kepada Umi Zahra. Sudah pasti Roha selalu berada di dekat Umi Zahra yang keluar masuk rumah sakit selama ini.
"Kalau begitu, sampeyan bisa disini sampai nanti sore. Kalau malam, biar aku dengan Gus Sahil saja yang menginap," Hafsa memberikan opsi lain.
"Jangan," Gus Sahil muncul dari balik pintu. "Kamu pulang saja Sa, biar Mbak Roha yang menjaga Umi di sini,"