Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terungkap Alasan
"Hari ini aku menemani Bapak, mengantar barang ke Sragen, Mas. Mungkin pulangnya lebih sore." Ucap Niken sambil menyuapkan sesendok nasi goreng dalam mulutnya.
"Tumben?"
"Iya, Mas Pur dinas ke Semarang. Jadi, Bapak minta tolong aku, untuk menemani. Seruni tidak bisa, karena mengurus orderan beberapa pelanggan yang janjian datang mengambil. Bagi bagi tugas, ceritanya."
"Iya. Nggak apa-apa. Kamu nyaman kerja di pabrik?" Tanya Bima sambil menatap Niken lembut.
"Sejauh ini, aku nyaman, Mas."
"Dengan ibuku?" Lanjut Bima.
Niken terdiam. Dia mengehela napas panjang, lalu membalas tatapan Bima.
"Aku berusaha berdamai dengan keadaan, Mas. Dia ibumu. Dan bagian dari dirimu. Putri kita juga mewarisi darah ibumu, aku tidak bisa mengelak semua itu. Meski pun dia terkadang membuatku tak nyaman, tapi aku yakin, Tuhan akan memberi lapang dada untuk diriku dan dapat membuat ibu dapat melunakkan hatinya."
Bima menatap Niken, lalu meraih tangan istrinya dan menggenggamnya dengan erat.
"Aku tak salah memilih istri." Ucapnya.
"Sudah, ah! Gombal melulu." Sungut Niken sambil menghabiskan sisa nasi goreng dalam piringnya.
*
"Selamat siang, Bu...!" Dapat Sarah sambil berdiri dan memasang senyum manis pada Bu Mirna saat masuk ke dalam kantor pabrik.
"Bapak di mana?" Tukas Mirna.
"Oh, Bapak sedang pergi sama Mbak Niken ke Sragen." Jawab Sarah masih sambil tersenyum.
Raut wajah Bu Mirna seketika menekuk, dan mengerutkan keningnya penuh selidik.
Membuat Sarah mendadak ciut dan khawatir, jika dia melakukan kesalahan.
"Kapan?"
"Tadi pagi, Bu. Mungkin sebentar lagi pulang." Jawab Sarah lirih.
"Seruni mana?"
"Mbak Runi, sedang mengecek di belakang, Bu." Sarah menunjuk ke arah dalam pabrik.
Bu Mirna langsung masuk, tanpa menoleh lagi pada Sarah.
"Runi...! Runi..! Seruni...!" Panggil Bu Mirna dengan suara lantang berulang kali.
"Astaga, Ibu! Ngapain sih, pakai teriak teriak segala! Nggak sekalian pakai toa saja, apa, biar tambah kenceng!" Seruni tergopoh-gopoh menuju ke arah Bu Mirna sambil mengomel.
"Mana Bapakmu?" Tanya Bu Mirna sambil menatap tajam Seruni.
"Ke Sragen sama Mbak Niken. Ngantar pesanan, Bu. Nanti juga pulang. Ini sedang dalam perjalanan pulang. Satu jam yang lalu, Mbak Niken wa aku."
Bu Mirna mendengus sambil melemparkan tubuhnya ke sofa.
"Awas kalau macam macam!" Ancam Bu Mirna.
"Awas kenapa, Bu?"
"Bapakmu itu, loh! Kenapa nggak sama kamu, kenapa harus sama Niken segala! Ibu kan jadi was was dan curiga."
"Astaga... Ibu... Nggak mungkin lah! Kebetulan langganan yang di Sragen itu, temannya Mbak Niken, dia perancang busana. Punya butik di Jakarta."
"Halah.... Ngawur! Nggak mungkin! Lha kuliahnya saja nggak jelas di mana, kok punya teman seperti itu." Sergah Bu Mirna, sambil mencibir.
"Lah emang harus kuliah di mana biar punya teman yang keren, Bu?"
"Kayak, Mas mu itu, punya teman yang kerja di kedutaan. Terus kamu, temenmu yang ikut idol idol itu, terus Dewa, temannya banyak artis penyanyi top. Paling temannya dia itu cuma kasihan sama istri Mas mu."
Seruni hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Loh, ada ibu?" Niken terkejut, saat melihat Bu Mirna sedang duduk di sofa bersama Seruni.
"Kenapa? Kaget kamu ya?" Bu Mirna tersenyum sinis.
"Nggak, Bu. Kalau tau ibu mau mampir, saya beli dawetnya lebih." Ucap Niken pelan.
Bu Mirna melengos sambil melipat kedua tangannya di depan dada sambil menoleh ke arah lain.
"Silahkan, Bu."
Niken meletakkan semangkuk dawet, dan sepiring gorengan di depan Bu Mirna.
Bu Mirna hanya melirik.
"Loh, ibu nyusul ke pabrik? Tumben? Kangen bapak, ya?" Pak Widodo tersenyum sambil mendekati istrinya itu.
Niken meletakkan semangkuk lagi dawet untuk Pak Widodo.
"Puas kamu, Pak? Aku menunggu lamaaaa sekali, sampai make up ku luntur. Terus kamu seneng seneng sama anak itu di luar sana!"
Bu Mirna mulai merajuk.
"Lah. Bapak kan bekerja. Mengantar kain ke pelanggan. Tau nggak? Pelanggan itu ternyata sahabatnya, Niken. Perancang busana yang namanya Vio. Seminggu yang lalu habis ikut pagelaran busana di Prancis. Nah, rencananya, tiga bulan lagi dia mau ikut pagelaran busana di Milan, temanya kain tradisional Indonesia. Nah... Kain kain dari pabrik ini, yang akan dibuat pakaian oleh dia." Bapak bertutur panjang lebar dengan bangga pada Bu Mirna.
"Kenapa nggak nganter sendiri?" Tukas Bu Mirna sewot.
"Kan yang dapat customer, Niken. Apalagi sahabat semasa sekolah dulu. Ya, nggak masalah, kan, jika Niken juga ikut ngantar."
"Genit!"
"Loh, kok, genit? O... Aku tahu, kamu musti cemburu ya sama aku?" Goda Pak Widodo sambil menjawil dagu Bu Mirna.
"Huh...!" Bu Mirna menepis tangan suaminya dengan cepat.
"Nggak Sudi, cemburu! Huh..!" Elak Bu Mirna sambil melengos.
"Loh, Ibu, di sini?" Bima masuk ke ruang kantor.
"Tumben ke sini?" Tanya Bu Mirna.
"Mau jemput Niken, Bu."
Bu Mirna diam sambil menatap putranya itu.
"Bim, Minggu depan Rima akan menikah." Ucap Bu Mirna memecah kesunyian di antara ibu dan anak itu.
"Ohh... Syukurlah, Bu." Sahut Bima singkat.
Bu Mirna menghela napas dalam-dalam.
"Dia masih mencintaimu, Bim. Masih setia menunggumu, sampai lima tahun lebih. Tapi kamu benar-benar nggak punya perasaan sama sekali padanya! Di mana hati nuranimu, Bima?"
"Bu, aku tidak mencintainya. Dan aku mencintai Niken. Wanita yang sampai saat ini, masih menjadi istriku. Sekarang telah menjadi ibu dari anakku, cucu ibu juga. Hati nurani ku, ya tentu aku akan memilih keluargaku, Bu."
"Bima, kamu sadar telah menyakiti hati ibumu ini?"
"Kenapa, Bu? Kenapa ibu selalu mengatur hidupku? Kenapa bukan Dewa yang ibu suruh menikah dengan Rima saja?" Tanya Bima dengan nada suara yang lebih keras.
"Berani kamu membentak ibumu?"
"Bu... Sudahlah... Aku telah bahagia dengan Niken dan keluarga kecilku. Mengapa ibu tidak bisa sedikit membuka hati ibu untuk Niken?"
"Bima. Kamu ingat, keterpurukan keluarga kita dulu itu dimulai dari kamu memilih wanita itu! Bapak memang tidak pernah cerita ke kalian semua, dan hanya menyimpan dalam hatinya. Pak Wijaya menuntut ganti rugi, dan bisnis yang akan dibangun langsung dibatalkan oleh Pak Wijaya. Bapak mengambil semua simpanan keluarga untuk membayar hutang dan membangun kembali tempat ini. Dan kamu? Apa yang telah kamu lakukan? Meminta menikahi wanita itu di saat keluarga sedang susah dan terpuruk! Ibu tak Sudi merestui kalian sampai kapan pun!"
Sorot mata Bu Mirna berkilat penuh amarah.
Bima terdiam. Baru kali ini dia mendengar kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh orang tuanya.
"Tapi, Bapak tidak pernah menceritakan padaku, Bu."
"Heh, bapakmu, apa, ya, akan cerita ke kamu. Dia benar-benar butuh kamu untuk membantu saja, tak akan pernah mau meminta secara terang terangan." Tukas Bu Mirna sambil tersenyum sinis.
Bima terdiam. Ada rasa bersalah dalam hatinya saat mendengar kenyataan itu.
Di balik pintu, Niken tercenung, saat mendengar percakapan Bima dan Bu Mirna.
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘